Cancri tersenyum saat melihat Ashura terlelap, ia menatap wajah cantik anak perempuannya dan mengelus wajah itu dari dahi sampai pada dagu, ia menatap penuh cinta dan kasih sayang. Pria itu mengembuskan napasnya pelan, membelai surai merah sang putri dan kembali mengecup lembut kening Ashura.
‘Kapan kalian bertiga akan kembali? Apa kalian tak ingin melihat putri kesayangan kalian bertumbuh dewasa? Apa waktu lima tahun masih tidak cukup untuk meratapi kepergian Felica?’
Pria itu menyingkirkan tangan Ashura yang memeluknya. Ia kemudian duduk dan menyelimuti gadis kecil itu.
“Pain, Nona Muda meminta izin untuk masuk.”
Cancri menatap Rizzel dan Selena yang ada di sudut ruangan. “Izinkan dia masuk.”
Rizzel segera menuju ke arah pintu, wanita itu membukanya dan tersenyum saat melihat Zivora berdiri tegak di sana.
“Silahkan masuk, Nona Muda.”
“Terima kasih, Aunty Rizzel.” Zivora tersenyum dan melangkah masuk, gadis itu berhenti tepat satu meter dari ranjang yang masih Cancri dan Ashura tempati.
“Daddy, apa Ashura baik-baik saja?” tanya Zivora.
Cancri mengangguk, ia tak bisa menatap wajah Zivora sekarang. Rasa benci saat mengingat Lizzy berkhianat kepadanya begitu saja terbayang, tetapi ia harus tetap menahannya demi kepercayaan Scaled. Pria itu mengangguk, ia kemudian berdiri dan menghampiri Zivora.
“Daddy, boleh Zivora meminta pelukan dari Daddy?” tanya gadis kecil itu.
Cancri segera menyetarakan tinggi badannya dengan Zivora, ia memeluk gadis kecil itu dan tidak bicara.
“Daddy, kapan Ashura akan sembuh?”
“Daddy tidak tahu,” sahut Cancri. Ia segera melepas pelukannya, menatap manik mata Zivora dan menjadi luluh. Gadis itu tidak bersalah dan tidak seharusnya ia menaruh rasa benci, bahkan Zivora tidak tahu menahu tentang kesalahan ibunya kala itu.
Pria itu sedikit menyesal telah melenyapkan kedua putrinya, tetapi ia tak bisa memutar waktu dan memperbaiki kesalahan itu lagi. Saat ini yang terpenting hanya menjalani semuanya, berbuat lebih baik dan tidak bertindak gegabah.
“Malam ini kau bisa menemani adikmu, Daddy akan kembali ke mansion selatan.”
“Apa Daddy akan kembali kesini lagi nanti?”
Cancri bungkam.
“Daddy,” panggil Zivora lagi.
“Baiklah, Daddy akan kembali. Sekarang temani adikmu, Daddy ada beberapa pekerjaan.”
Zivora mengangguk, gadis itu segera mengecup pipi Cancri dan tertawa pelan. “I love you, Dad.”
Cancri mengangkat tangannya, ia mengusap wajah Zivora dari dahi sampai pada dagu. Pria itu kemudian mengecup kening Zivora, ia tersenyum dan mencolek pipi anaknya. “I love you too, Zivora.”
Zivora tersenyum, sedangkan Cancri kembali berdiri. Rambut panjang Cancri terseret di atas lantai, dan terlihat begitu saja menyapu debu yang tersisa disana.
Pria itu menatap Rizzel dan Selena. “Jaga mereka berdua, aku akan menemui Daddy dan Mommy terlebih dahulu.”
“Pergilah, Pain. Nyonya dan Tuan menunggumu di ruang keluarga,” ujar Selena.
“Apa Revilla juga ada disana?”
“Nona Muda Revilla juga ada disana, sepertinya sedang tertidur saat aku melewati ruang keluarga.”
“Baiklah.” Cancri segera melangkah pergi, ia keluar dan menuju ke arah lift. Pria itu tak peduli saat beberapa pelayan membungkukkan tubuh, bahkan tidak membalas senyuman orang-orang itu.
Pria itu berdiri dengan tenang, lift segera turun ke lantai dasar dan pintunya kembali terbuka. Kaki Cancri melangkah perlahan, ia melewati lorong panjang mansionnya dan masuk ke salah satu ruangan.
“Cancri, bagaimana keadaan Ashura?” tanya Chaeri. Ia berdiri dan memberikan tubuh seorang gadis kecil berumur sekitar tiga tahun kepada Noir, kakinya juga segera melangkah, menghampiri putranya.
“Mom, Ashura baik-baik saja. Bagaimana keadaan Revilla?” tanya pria itu. Ia menarik tangan sang ibu, mendudukkan wanita itu dan tersenyum simpul.
“Adikmu baik-baik saja, ia hanya kelelahan setelah perjalanan panjang dan terlihat sedih saat melihat Ashura sakit.”
Penjelasan sang ibu cukup membuat Cancri senang, pria itu menatap Noir yang sedang menimang adik kecilnya. “Dad, apa kau juga memperlakukan kami seperti itu dulu?”
“Tentu, bahkan lebih dari ini.” Noir tersenyum saat melihat wajah Cancri.
“Ck ... menyebalkan.”
“Bisakah kalian berdua tidak saling melempar kalimat-kalimat aneh?” tanya Chaeri.
“Baiklah, Mom. Aku harus segera mengurusi beberapa pekerjaan di mansion selatan,” ujar Cancri lagi. Ia segera berdiri, mengecup kening Chaeri dan menghampiri Noir.
“Ada apa?” tanya Noir.
“Dad, aku ingin mencium adikku.”
“Tidak! Jangan ganggu adikmu,” sahut Noir.
‘Dasar pria sialan, asal kau tahu saja aku sangat ingin menendang bokongmu!’ maki Cancri dalam hatinya, pria itu kemudian tersenyum.
“Suamiku, biarkan Cancri mencium adiknya.”
Cancri menyeringai, apalagi saat melihat wajah masam ayah tirinya. Ia merasa menang saat pria yang sangat overprotektif kepada Revilla segera membiarkannya mencium sang adik.
“Adikku sayang, jangan sampai kau seperti Daddy. Dia benar-benar kikir,” ujar Cancri.
“Aku Daddy-mu, b******n!” maki Noir dengan suara pelan.
Cancri tak peduli, ia segera mengecup kening Revilla dan mengusap wajah adik kesayangannya, senyum terbit dibibir pria itu.
Setelah selesai dengan acaranya menggoda Noir, Cancri kembali berdiri tegak. Ia tersenyum saat Chaeri mengelus puncak kepalanya.
“Jangan terlalu lelah, kau juga perlu istirahat.”
“Aku hanya sebentar, setelah itu akan kembali dan menemani Ashura.”
“Baiklah, Mommy mencintaimu.”
“Aku lebih mencintaimu, Mom.”
Chaeri mengangguk paham, sedangkan Cancri segera melangkahkan kakinya untuk pergi.
...
Mansion selatan terlihat begitu rapi dan juga tenang, tidak banyak orang yang ada disana. Cancri melangkahkan kakinya pelan, gerakkan tubuhnya begitu teratur. Pria itu menatap Bride yang kini berdiri didepan pintu masuk, tidak biasanya pria itu akan terlihat berkeliaran diluar ruangan.
“Bride, dimana Marcus?” tanya Cancri.
“Marcus sedang pergi, apa kau perlu sesuatu?” tanya Bride.
“Ambilkan beberapa obat dari laboratorium, aku akan mengobati wanita itu.”
Bride segera melangkah, ia sudah terbiasa untuk langsung pergi tanpa permisi.
Cancri menatap jeli bawahannya, ia kemudian melangkah ke dalam dan segera menuju ke kamar yang di huni olehnya beberapa waktu lalu. Mata Cancri menatap heran ruangan tersebut, ada sesuatu yang aneh dan ia tak bisa berpikir dengan baik sekarang.
Kaki Cancri melangkah kearah kamar mandi, di bukanya pintu itu dan menatap sekitar. Tidak ada orang, bahkan ruangan itu terada sangat mati.
“Sialan,” ujar Cancri pelan. Ia segera menatap kearah ranjang, sudah terlihat rapi dan bersih.
“Clevin!” panggil Cancri.
Dari kegelapan seorang pria segera muncul, ia menatap Cancri dan menunggu pria itu mengucapkan kata-kata mutiara.
“Mana mainanku?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Pain, sebaiknya kau memikirkan hal lain daripada w************n itu.”
Cancri menatap tak percaya, semakin lama elit golden terlihat semakin berani. “Katakan apa saja yang kau tahu!”
“Kami semua bekerja sama untuk mengembalikan wanita itu pada tempatnya, sudah cukup bagimu bermain dan berhenti mengganggu wanita itu.”
Cancri tertawa kecil. “Apa yang kau katakan?”
“Jangan membuat masalah dalam hidupmu,” sahut Clevin.
“Baiklah. Dimana Marcus?”
“Marcus mengantarkan wanita itu pulang,” sahut Bride yang sudah berada didepan pintu.
“Datang ke ruanganku ketika kalian sudah berkumpul, ada beberapa hadiah yang akan aku berikan karena kalian begitu baik padaku.”
Kedua pria itu menelan ludah mereka kasar, mata mereka melirik Cancri yang pergi tanpa melakukan aksi brutal karena mereka melanggar aturan.
“Dia benar-benar tenang,” ujar Clevin.
“Tidak, dia akan segera meledak ketika kita semua berkumpul.”
“Kita harus menghubungi Marcus.”
Sementara kedua bawahannya sedang memikirkan banyak hal, Cancri sedang melangkah dengan tatapan mata yang tajam. Wajah pria itu terlihat begitu masam, bahkan langkah dan napasnya memburu menahan emosi yang memuncak.
‘Tenang, tenang.’ Batin Cancri terus membisikkan kata itu, membuat Cancri dengan mudah mengendalikan emosinya.
‘Sial!’ maki pria itu, ia berhenti dan menghantamkan kepalan tangannya pada pilar besar disebelah kiri. Beberapa ekor ular yang menempel ditubuh Cancri terlihat gelisah, mereka keluar dari balik baju pria itu dan segera menjauh.
‘Berani sekali mereka membuang bonekaku!’ tegas pria itu lagi. Wajahnya semakin masam, ia kembali memukul pilar besar yang malah retak dan segera runtuh.
Cancri yang terkena reruntuhan dari pilar itu semakin berwajah masam. Jika pilar sekuat itu saja sudah retak, bagaimana jika ia membunuh Marcus dalam satu kali pukul.
‘Pain, kau harus tenang.’ Kaki Cancri kembali melangkah pergi, ia terus mengatakan kata tenang dalam otaknya, dan berusaha menyingkirkan rasa jengkelnya.
“Menyebalkan,” ujaran itu akhirnya keluar dari bibir Cancri.