30. Sebuah Alasan

1712 Words
"MAHESA, AYO SHOOT SA!" Sesuai instruksi, Mahesa langsung berlari tiga langkah, setelahnya dia melompat setinggi mungkin dan, hap! Bola oren itu berhasil masuk dengan sangat sempurna ke dalam ring. Bahkan Mahesa masih sempatnya untuk bergelandotan terlebih dahulu pada besinya. "Good job, man!" puji Azka sebagai ketua tim basket SMA Garuda. Mahesa tersenyum bangga terhadap dirinya. Selain jago berantem, Mahesa juga jago memainkan bola basket. "OKE, ISTIRAHAT DULU NANTI LANJUT LAGI," pelatih kembali mengintruksi. Dengan tubuh bermandikan keringat, Mahesa melirik ke pinggir lapangan di mana ada seorang gadis yang sedang menunggunya latihan. Dia adalah Selina, sosok yang selama ini berhasil mengobrak abrik isi hatinya, menyisihkan segala yang ada di dalamnya, membuat Selina kini menjadi pemilik tetapnya. "MAHESA, SINI!" Begitu teriak Selina yang berhasil membuat Mahesa tertawa geli. Selina melambai-lambaikan tangan, meminta Mahesa agar mendekat ke arahnya. Sambil terus tersenyum Mahesa melangkah ke arah Selina. Mungkin memang gadis itu yang nanti akan menjadi tujuannya. Gadis yang berhasil memberi cahaya pada kehidupan gelap si monster jalanan. "Gerah banget ya pasti?" tutur Selina sambil mengusap keringat Mahesa dengan handuk kecil milik cowok itu. Keduanya duduk di tribun lapangan. Aktivitas yang terlalu mencolok membuat siapapun iri kala melihatnya. Mahesa yang dulu sangat tertutup kini berhasil luluh, siapa sangka jika orang yang berpengaruh itu adalah Selina? Selina yang berprestasi, banyak meraih penghargaan untuk sekolah, sempat menjadi pemegang beasiswa, anak baik-baik yang terkenal tidak banyak ulah, ceria, sekarang duduk bersebelahan dengan Mahesa yang notabenenya bantingan dari Selina itu sendiri. Mahesa benar-benar kebalikan dari Selina. Selalu cari sensasi, selalu memalukan sekolah, sukanya buat ulah, ribut, nggak ada kesan baik-baiknya. Bahkan guru di SMA Garuda yang mengetahui kedekatan murid emas mereka dengan Mahesa, sangat menyayangkan hal itu. "Lin," panggil Mahesa yang sontak saja membuat Selina mendongak menatapnya. "Apa?" "Gue mau tanya tapi lo jangan tersinggung," ujar Mahesa membuat Selina kebingungan. "Tanya tinggal tanya aja kali. Santai gue mah nggak gampang baperan orangnya." "Halah!" Mahesa menoel hidung Selina gemas. "Ish! Paan sih, Sa!" Mahesa tergelak, sedetik kemudian wajahnya kembali serius yang mau tak mau Selina juga harus melakukan hal yang sama. "Alasan lo mau deket-deket sama gue itu apa sih, Lin?" tanya Mahesa serius. Guratan kecil pada kening Selina tidak bisa menutupi jika Selina tengah menyimpan banyak tanya juga, termasuk kenapa Mahesa bertanya seperti itu? Melihat diamnya Selina, Mahesa jadi membuang muka. Cowok dengan jersey basket merah itu mengubah posisi duduknya jadi menghadap ke lapangan dengan kedua tangan direntangkan di belakang, memanjang mengisi gundakan tribun di atasnya. "Kalau nggak mau kasih alasannya juga nggak pa-pa," kata Mahesa. Selina yang awalnya gigit bibir langsung berdeham dan memilih untuk ubah posisi juga. Dia mengambil duduk yang lebih rendah agar bisa bersebelahan dengan Mahesa. Selina menatap Mahesa dengan lekat. "Kalau gue tanya apa alasan lo dekati gue, apa lo akan jawab juga?" ujar Selina. Mahesa menoleh sekilas, kemudian mengangguk. "Alasan gue dekati lo adalah karena gue mau tau, lo sendiri mau gue dekati karena apa." "Bentar ngelag." Mahesa memutar kedua bola matanya jengah saat mendengar jawaban itu. Setelah koneksi Selina kembali tersambung, gadis itu langsung kembali menatap Mahesa dengan intens. "Berarti mau nggak mau gue harus jawab dong?" Mahesa mengangguk pelan. "Ya." Terdengar helaan nafas kasar dan panjang dari Selina. "Okey ... yang pertama, gue penasaran sama lo." "Sama, gue juga," sahut Mahesa. "Ish! Jangan tirulah!" protes Selina. Sebelah alis Mahesa terangkat. "Kenapa? Emang iya kok, mungkin yang akan buat beda adalah alasan kenapa kita penasaran satu sama lain." "Jadi judul pembicaraan kali ini tentang alasan?" Mahesa terkekeh pelan. "Ya ... begitulah," katanya. "Dasar!" "Jadi gimana?" "Alasan gue penasaran sama lo ya? Emm karena menurut gue, lo itu orangnya unik, Sa. Beda aja gitu gue lihatnya kalau sama yang lain. Bukan maksud buat ngebandingin juga, gimana ya? Lo itu nggak gampang ketebak orangnya. Terus, mungkin sebelum gue dekat sama lo kayak sekarang, selamanya gue akan mikir kalau lo itu orang jahat, padahal lo baik." Mahesa terlihat sangat tertarik dengan apa yang Selina ucapkan. "Awalnya gue risih lo deketin, iyalah, siapa juga kan yang mau sama cowok nakal dan suka buat onar? Punya musuh dimana-mana, kadang gue suka takut, Sa. Parno aja gitu, takut jika tiba-tiba musuh lo nyekap gue kayak waktu itu. Trauma itu masih ada, Sa. Tapi setiap ketakutan itu datang, gue selalu yakinkan diri gue, kalau gue punya lo. Dan lo pasti akan menjaga apa yang sudah jadi milik lo, iyakan?" Refleks Mahesa mengangguk. "Iya." "Selain semua itu juga, gue mau buktiin sama diri gue sendiri, kalau lo itu sebenernya punya sesuatu yang nggak mau lo tunjukin ke semua orang. Yaitu kelemahan. Gue percaya jika tiap makhluk hidup punya kelemahan, bahkan superhero terkuat pun akan memilikinya. Tapi, gue nggak akan menyuruh lo buat memperlihatkan kelemahan lo, gue akan nyuruh lo buat memanfaatkan kelemahan itu untuk mengubah Mahesa menjadi pribadi yang lebih baik dari sekarang." Selina mengakhiri pernyataannya dengan senyuman manis. "Jadi sekarang gue kurang baik?" Dengan cepat Selina menggeleng, menyilangkan tangannya di depan badan. "No! Nggak ada yang bilang gitu ya! Gue bilang, mau merubah lo agar jadi lebih baik dari sekarang, lebih baik! Yang artinya sekarang lo udah baik cuma harus sedikit ditingkatkan." "Sa, dunia lo nggak akan pernah berubah kalau pemimpinnya masih stuck kayak gini. Gue yakin jika di sini," Selina menunjuk kepala Mahesa menggunakan jari telunjuknya dengan lembut. "Ada mimpi dan kemauan yang besar untuk sebuah perubahan. Dan mimpi itu, harus lo perjuangkan dari sekarang." Mahesa benar-benar terdiam tidak bisa menyangkal. "Satu-satunya mimpi terbesar gue adalah membuat Mama gue bangga sama gue, Lin." "Yang lain?" pancing Selina. Mahesa bergumam, cowok itu membuang mukanya ke arah lain. "Gue mau Papa lihat ngelihat gue. Bukan sebagai anak yang suka malu-maluin keluarga tapi anak yang membanggakan keluarga." "Bagus! Jadi mulai sekarang, lo harus melakukan perubahan!" "Tapi gue nggak bisa ninggalin teman-teman gue, Lin," kata Mahesa terdengar sendu. "Hei, yang bilang kalau lo harus ninggalin teman-teman lo itu siapa ha? Nggak ada! Justru gue mau lo tetap berteman sama mereka. Buktiin sama semua orang, kalau lingkungan yang buruk bukan berarti orang-orangnya ikut buruk juga." Mahesa tersenyum lebar. "Gitu ya?" "Iyalah!" jawab Selina dengan mantap, sebuah pondasi untuk mendirikan rasa percaya Mahesa. "Mulai besok, lo harus berubah. Oke?" Mahesa mengangguk. "Makasih ya, Lin? Nggak nyangka kalau obrolan kali akan sangat berat." "Nggak pa-pa, kita jalani bareng-bareng. Gue akan selalu mengulurkan tangan buat lo." "Sekali lagi terima kasih, lo udah mau memotivasi gue." "Sama-sama Mahesa, anything for you." **** Dalam sebuah kamar, seorang cowok tengah menatap lurus ke depan, tepatnya melihat jaket yang menggantung di depan lemari bajunya. Cowok dengan sweater biru itu tersenyum kecut. Ingatannya tertarik akan kenangan saat dulu pertama kali mengenal Mahesa. Orang yang membuat dirinya menjadi bisa merasakan apa itu memiliki teman. Entahlah, mungkin jika tanpa adanya Mahesa dalam kehidupannya, Kaylendra tak akan bertahan selama ini, dengan penyakit yang semakin lama semakin memakan sisa hidupnya. Gagal ginjal, Kaylendra membencinya. Penyakit bawaan sejak lahir yang telah bersarang dalam tubuhnya selama delapan belas tahun ini. Selama itu juga Kaylendra merasa jika hari-harinya sangat buruk. Kaylendra mungkin memiliki banyak harta kekayaan, mama papanya juga tidak kurang kalau soal materi, tapi apa gunanya semua itu jika Kaylendra sendiri sakit-sakitan? Semakin lama, Kaylendra merasa tubuhnya semakin tidak kuat. Dikit-dikit cape, dikit-dikit drop, dikit-dikit masuk rumah sakit. Kaylendra bosan. Namun, setiap ingin menyerah, Kaylendra selalu teringat akan teman-teman yang selama kurang lebih tiga tahun ini selalu ada untuknya. Kaylendra tidak ingin pergi dan membuat mereka sedih. Mahesa, Laskar, Azka, dan Rizal, keempatnya sangat berarti bagi Kaylendra. Bukan berarti Kaylendra tidak banyak bicara, Kaylendra menjadi tidak perduli. Justru Kaylendra yang sangat care dengan teman-temannya. "Kay." Suara serta decitan pintu yang terbuka berhasil menarik perhatian Kaylendra. Terlihat wanita cantik masuk ke dalam kamarnya. Mama Kaylendra. "Belum tidur, Kay?" tanya Mama dengan lembut. Kaylendra tersenyum sembari menggelengkan kepala. Kaylendra membiarkan mamanya itu untuk duduk tepat di sebelahnya. Selain teman, Kaylendra juga mempunyai mama yang selalu ada dua puluh empat jam untuknya. Mama serta keluarga yang terus meminta Kaylendra untuk bertahan. "Kenapa belum tidur hm? Ada yang sakit?" Sekali lagi Kaylendra menggeleng. Cowok itu kemudian menyandarkan kepalanya pada d**a sang mama, memeluk mamanya dari samping. Mama sendiri langsung mengusap kepala Kaylendra penuh sayang. "Ada apa Kay? Ada masalah di sekolah?" "Kay takut, Ma," ujar Kaylendra lirih. Sifat manja Kaylendra hanya hadir saat sedang berdua dengan mama. Teman-temannya mana tau jika Kaylendra serapuh ini? Kaylendra yang dikenal di sekolah sangat jauh berbeda dengan Kaylendra yang dikenal di rumah. Mama kemudian melepas pelukan Kaylendra membuat anak semata wayangnya itu mendongakkan kepala menatapnya. "Apa yang buat kamu takut? Bilang sama mama. Apa ada yang jahatin kamu?" "Enggak, Ma." "Lalu?" Kaylendra terdiam sesaat. "Kay takut kalau tidur nanti Kay nggak akan bangun lagi." Saat itu juga rasanya detak jantung mama berhenti berdetak. Ucapan Kaylendra berhasil membuat mama terdiam. "Kay takut tiba-tiba pergi dan ninggalin Mama, ninggalin Papa, temen-temen. Kay nggak mau pergi Ma, Kay masih mau buat Mama sama Papa bangga." Secara otomatis air mata mama terjatuh. Kaylendra melihat itu. Tangannya kemudian terulur untuk mengusapnya. "Maaf, Kay buat Mama sedih ya?" Mama menggeleng. "Enggak sayang, anaknya Mama ini kan kuat? Kay pasti bisa ya nak bertahan. Nggak pa-pa, kalau Kay ngerasa sakit atau cape, Kay bilang sama Mama sama Papa, biar kita berdoa sama Tuhan, siapa tau sakit sama capenya Kay pindah ke kita. Ya sayang?" "Sekarang tidur yuk, udah malam." Mama membantu Kaylendra untuk berbaring. Mama juga membenarkan letak selimut Kaylendra hingga menutupi setengah badannya. Sebelum pergi, Kaylendra sempat menahan tangan mama yang membuat mama kembali dilanda ketakutan yang sama dengan Kaylendra. "Tadi di sekolah Kay nggak bisa nyelesain soal-soal ujian, pikiran Kay tiba-tiba blank Ma, nggak bisa mikir, padahal Kay udah belajar. Maaf udah buat Mama kecewa." Sebisa mungkin Mama memaksakan senyumnya. Berusaha terlihat baik-baik saja di depan Kaylendra. "Nggak pa-pa Kay, Mama nggak masalah. Masih ada hari besok. Kamu pasti bisa di ujian selanjutnya. Oke?" "Sekarang tidur ya? Selamat malam jagoannya Mama." Cup! Mama mendaratkan kecupan pada kening Kaylendra. Cukup lama, lalu setelahnya mama berjalan pergi, tidak lupa untuk mematikan lampu kamar. Tepat setelah pintu tertutup, tubuh mama langsung merosot tak kuasa melihat penderitaan Kaylendra. Anak itu punya mimpi besar, sebesar ketakutannya saat ini. Andai mama bisa menggantikan posisi Kaylendra. Sementara itu di dalam kamar, di bawah gelapnya malam, Kaylendra kembali menangis. Merasa gagal menjadi seorang lelaki yang harusnya bisa membuat orangtuanya bangga. Kaylendra sakit, rasanya ingin menyerah, tapi dia takut akan kematian.

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD