15. Cowok kuat

2069 Words
Mahesa diam sejenak sembari menarik napasnya dalam. Saat akan mulai menjawab sekaligus bercerita tiba-tiba saja makanan mereka datang. Melihat mulut Mahesa yang sempat terbuka lalu terpotong dengan kedatangan makanan pun tak ayal membuat Selina menahan tawanya. Refleks Mahesa cukup lucu di mata Selina. "Sama es teh dua kan, Mas?" tanya pemilik warteg saat meletakkan dua minuman berwarna coklat terang ke atas meja Mahesa dan Selina. Dengan malas Mahesa mengangguk dan berdehem pelan. Setelah dirasa pesanan yang diantarkan tidak ada kesalahan, pemilik warteg pun pergi. Selina terus memperhatikan Mahesa. Wajah cowok itu terlihat kesal. "Udah, sekarang yok cerita," kata Selina setengah tertawa. Mahesa melirik gadis itu lalu berdecak. "Makan dulu aja," jawabnya mulai mengaduk minuman miliknya hingga membuat suara dentingan, gesekan antara es batu dan dinding kaca gelas. "Oke deh, makan dulu." Selina melakukan hal yang sama. Mengaduk minumannya, menyesapnya sedikit lalu mulai menyentuh makanan. Keduanya makan dalam keheningan, sesekali Selina berceloteh tentang masakan yang dia makan. Mahesa tidak banyak merespon. Cowok itu lebih fokus kepada makanannya sendiri. Sampai tak lama acara makan-makan pun selesai. "Gue bayar dulu ya, Lin?" pamit Mahesa diangguki Selina yang masih berusaha menghabiskan makanannya hingga ke titik darah penghabisan alias sama sekali tak menyisakan sisa di piring. Rasanya perut Selina sangat begah. Hampir saja Selina kelepasan bersendawa yang untungnya masih bisa ditahan agar tidak malu-malu banget. Sambil menunggu Mahesa membayar, Selina memilih untuk memainkan ponselnya, iseng-iseng Selina memfoto piring bekas sisa makan mereka. Di sana juga tertangkap ponsel milik Mahesa serta kunci motor cowok itu yang sengaja ditinggal di atas meja. Melihat hasil jepretannya, Selina pun mencoba untuk mempostingnya pada fitur cerita di **. Dalam postingannya, Selina menambahkan beberapa elemen, seperti tulisan "Thanks for today" padahal jalan saja belum, masih baru makan, lalu Selina juga menambahkan beberapa stiker dan coretan abstrak sebagai pemanis. "Kenapa senyum-senyum sendiri gitu?" Suara berat Mahesa spontan membuat Selina langsung mengangkat kepalanya. Refleks Selina nyengir kepada Mahesa sambil menggeleng pelan. "Nggak kenapa-kenapa kok, Sa," jawab Selina dan Mahesa percaya-percaya saja. "Yaudah kalau gitu, ayo balik," ajak Mahesa. Cowok itu mulai mengemasi barang-barangnya diikuti Selina. Setelah dirasa semuanya beres, keduanya langsung berjalan keluar warteg. Sampai di sebelah motor, seperti biasa, Mahesa memberikan Selina helm bahkan melihat Selina yang lelet membuat Mahesa gemas sendiri. Tangan cowok itu gatal tidak sabaran melihat Selina, alhasil Mahesa mendekatkan dirinya kepada Selina, mengikis jarak antara keduanya. Selina yang terkejut karena Mahesa terlalu tiba-tiba hanya bisa menahan napasnya sampai Mahesa selesai mengaitkan pengait helm miliknya. "Gitu doang lama banget!" kata Mahesa setelah menjauhkan dirinya dari Selina. Baru setelah itu Selina bisa bernapas normal. "Tegang amat muka lo kayak mau diajak kawin aja," celetuk Mahesa menggoda yang malah mendapatkan polototan tajam dari Selina. "Sembarangan aja! Lagian siapa juga yang tegang?" Selina membentak untuk membela dirinya. Mahesa hanya terkekeh. "Yaudah iya nggak tegang cuma agak kaget aja kan?" "Mahesa!" Selina memekik dengan suara tertahan. "Gue gampol ya? Ngeledek mulu ngeselin banget!" "Iya maaf, yaudah ayo lanjut temenin cari kerja," ujar Mahesa sambil terlebih dahulu naik ke atas motornya. Setelah itu Mahesa mengulurkan tangannya untuk membantu Selina ikut naik di jok belakangnya. "Sudah?" tanya Mahesa melirik dari spion. Selina mengangguk pelan. "Sudah! Yok." "Oke berangkat!" Mahesa melajukan motornya kembali membela padatnya jalanan kota. Seperti sebelum-sebelumnya, Selina sangat menikmati dibonceng Mahesa. Jarang-jarang juga dirinya motoran seperti ini. Selina sesekali memejamkan mata merasakan angin menabraki wajahnya. Sementara itu, Mahesa sibuk menajamkan matanya, mencuri-curi pandangan ke kanan dan ke kiri mencari apa pun, toko, atau industri yang sedang membutuhkan tenaga kerja baru. Lama keduanya berputar-putar, tapi sama sekali tidak membuahkan hasil. Mahesa hampir putus asa. Namun, Selina kembali dan terus meyakinkannya. "Muter dulu lagi aja, cari ke tempat lain. Pasti ada kok, mana mungkin nggak ada yang butuh tenaga baru atau tambahan sama sekali." Begitu ujar Selina setiap kali Mahesa menghela napasnya kasar karena lelah. Ternyata ada untungnya juga mengajak Selina. Coba saja jika Mahesa mencari sendiri, pasti sudah putus asa dan berkahir dengan rebahan siang ini. Selina sudah menjadi seperti suntikan semangat tersendiri bagi Mahesa. "MAHESA! ITU ADA CARI LOWONGAN, SA!" Selina memekik sambil menunjuk ke arah seberang jalan. Refleks Mahesa menepikan motornya. Mahesa melihat ke arah mana Selina menunjuk dan benar saja, pada sebuah toko sembako, terdapat tulisan besar di depan tokonya jika toko tersebut sedang mencari karyawan, laki-laki pula. Beruntung sekali Mahesa. "Gimana? Coba tanya dulu nggak?" tanya Selina dari belakang. Mahesa mengangguk. "Nyebrang dulu," jawab Mahesa kembali membawa motornya pergi untuk mencari penyeberangan. Sampai di depan toko, Selina hendak turun dari atas motor, namun Mahesa menahannya. "Gue aja yang turun, lo tunggu sini, nggak lama," kata Mahesa. "Kenapa?" Mahesa tersenyum singkat. "Gue tau lo cape, ini yang terkahir kalau nggak dapat juga kita pulang," jawab Mahesa. Selina termenung lama hingga membuatnya tak sadar jika Mahesa telah berjalan jauh darinya. Mahesa sudah masuk ke dalam toko itu meninggalkan Selina di depan sendirian. Selina dapat melihat Mahesa berbicara dengan penjaga toko dari luar karena dinding pembatasnya terbuat dari kaca. Selina merasa kasihan kepada cowok itu. Meski Selina tidak tau kenapa Mahesa sebegitu inginnya cari kerja, tapi yang pasti terlihat dari raut mukanya, cowok itu sedang sangat butuh. Selina menipiskan bibirnya, ternyata masih ada yang lebih dari Selina. Tak terlalu lama, Mahesa keluar dari toko. Melihat itu Selina tersenyum lebar. "Gimana?" tanya Selina ceria. Namun, jawaban Mahesa diluar ekspetasi Selina. Cowok itu menggeleng. "Kerjanya bagian gudang, gak bisa ambil setengah hari. Harus jam tujuh sampai jam lima sore," ujar Mahesa membuat senyum Selina perlahan pudar. "Yang sabar ya, Sa," hanya itu yang bisa Selina katakan. Mahesa mengangguk dan kembali memakai helmnya. "Kita pulang ya?" "Nggak mau coba cari lagi?' tanya Selina. "Udah sore, lo capek, nanti gue bakal cari sendiri aja," jawab cowok itu. Selina mengiyakan saja. Setelah itu Mahesa kembali naik ke atas motornya, bersiap membawa pergi motor itu lagi. Sampai sini Mahesa sempat putus asa. Bagaimana jika dia tak kunjung dapat pekerjaan? Bagaimana dengan Mamanya? Pikiran Mahesa lumayan kacau sampai dia teringat tawaran Kaylendra tadi siang. Balapan, Mahesa harus ikut balapan itu nanti malam. Hanya itu cara satu-satunya agar Mahesa bisa dapat uang banyak. **** Perjalanan pulang kali ini cukup lama karena posisi terakhir mereka yang cukup jauh. Sekitar dua puluh lima menit perjalanan, hampir setengah jam. Setelah motor Mahesa berhenti tepat di depan rumahnya, Selina pun turun, membuka helmnya dan memberikannya kepada Mahesa. "Masuk dulu, Sa. Istirahat bentar gue buatin minum," kata Selina menawari Mahesa untuk berhenti sejenak. Cowok itu sudah berjam-jam nyetir tidak baik jika diteruskan tanpa istirahat. Mahesa juga tidak mau menolak karena merasa capek. Akhirnya dia turun lalu mengikuti Selina dari belakang untuk masuk ke dalam rumah gadis itu. "Mama lo mana?" tanya Mahesa karena melihat rumah Selina yang sepi. Selina bergumam pelan. "Emm ... Mama lagi keluar, ke rumah saudara," jawabnya cepat membuat Mahesa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Yaudah gue buat minum dulu." "Iya." Setelah Selina pergi. Mahesa langsung membuka ponselnya. Banyak pesan masuk dari grup, tapi yang pertama kali Mahesa buka adalah pesan Kaylendra. Ragu sebenernya, tapi mau bagaimana tidak ada cara lain. Kaylendra [Kirim lokasi balapan ke gue] Mahesa mengetikkan pesan itu. Di keterangannya, Kaylendra terkahir online jam satu siang tadi. Menunggu balasan Kaylendra, Mahesa memilih untuk melihat chat lain. Ada satu yang membuat Mahesa kesal hanya saat melihat namanya. Pak Irwan [Dmn km?] [Mahesa, Papa beri km 1 kesempatan untk plg] Mahesa terkekeh membaca pesan itu. Dikira Mahesa peduli? Tidak! Mahesa sudah terlanjur sakit hati. Pasti Papanya bilang seperti itu, menyuruh Mahesa pulang hanya karena Mahesa harus mengikuti pertemuan bisnis dengan rekan kerjanya. Mahesa tidak tertarik. Mahesa [Mahesa bs sndr] "Ini minumnya Sa, tadi di belakang ada roti brownis juga siapa tau lo suka, nih." Selina meletakkan minuman dan sepiring brownis di meja tepat di depan Mahesa. Melihat kedatangan Selina, buru-buru Mahesa memasukkan kembali ponselnya dalam saku celana. Cowok itu lalu meneguk minuman buatan Selina hingga tandas. "Haus banget kayaknya?" celetuk Selina menggoda. "Lumayan," jawab Mahesa setelah selesai minum. Tangannya lalu terjulur mengambil brownis dan mencobanya. "Enak nggak?" Selina bertanya dan mendapat anggukan kepala dari Mahesa. "Enak, bikin sendiri atau beli?" "Dikasih tetangga sih tadi pagi," jawab Selina cengengesan yang langsung mendapatkan wajah datar dari Mahesa. "Kirain." "Yang penting kan enak!" "Hmm." "Oh ya Sa, katanya lo mau cerita, jadi gimana?" Selina menagih jawaban dari Mahesa. Bahkan Mahesa sendiri sampai lupa. Mungkin jika Selina tidak mengingatkan, sampai besok juga Mahesa tidak akan pernah bercerita. Mahesa lalu menarik napasnya pelan. "Jadi, Papa gue, kakek gue, semua cowok dalam keluarga yang punya nama belakang Pranata, harus dan wajib tunduk dalam aturan yang ada, yaitu menjaga nama baik Pranata. Nama itu udah seperti apa ya, gue juga gak begitu paham sebenernya, cuma kalau sampai nama itu dicap buruk sama segelintir orang maka keluarga gue bakal hancur," ujar Mahesa mulai bercerita. Selina diam saja menyimak. "Dari kecil gue udah diwanti-wanti Papa buat jaga nama baik keluarga Pranata. Selama itu gue selalu nurut, gue gak pernah buat ulah yang bikin malu Papa atau Mama. Gue selalu jadi anak baik yang gak pernah bantah ucapan mereka. Sampai suatu hari, Mama divonis mengidap kanker. Waktu Mama periksa cuma ngajak gue, jadi Papa gak tau. Gue kaget banget pas Mama sakit, gue takut banget waktu itu. Gue yang gak mau Mama kenapa-kenapa akhirnya coba cari Papa dan kita ketemu di rumah. Tapi yang buat gue seketika langsung benci sama Papa, saat gue lihat Papa dengan mata kepala gue sendiri, sedang main sama cewek lain, dalam rumah gue Lin, lo bisa bayangin gimana hancurnya gue waktu lihat itu?" Selina hanya bisa terdiam. Gadis itu tak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari Mahesa, bersiap mendengarkan apa yang akan Mahesa ceritakan selanjutnya. "Papa ngelarang gue buat lakuin hal aneh-aneh, tapi dia sendiri lebih parah. Bahkan pas gue bilang Mama sakit dia malah kayak gak peduli dan lebih milih pergi sama ceweknya. Hati gue sakit banget lihat Papa gue sendiri yang kayak gitu. Gue kira selama ini Papa gue baik, tapi makin hari Papa malah makin jadi. Papa emang bayarin semua biaya rumah sakit Mama tapi di depan semua rekan kerjanya, telinga gue sendiri yang dengar, Lin, Papa bilang Mama meninggal. Katanya karena Papa gak mau punya istri menyakitan yang nanti malah bikin malu. Sekarang coba lo pikir, malu dimananya coba? Gue yang muak akhirnya berontak. Kelas sepuluh gue gabung sama Titan, gue gak peduli sama nama baik Pranata, toh Papa gue sendiri lebih parah. Jadi sekalian aja pikir gue saat itu. Gue berubah seratus delapan puluh derajat. Dan karena itu Papa selalu marah-marah sama gue. Papa ngancam gue segala macem. Sampai sekarang Papa gak main-main dengan ancamannya. Dia ngusir gue, dia juga gak mau bayarin biaya rumah sakit Mama lagi." Mahesa diam sejenak menarik napasnya dalam. Entah kenapa tiba-tiba dadanya terasa sesak. Mahesa lemah soal keluarga. Cowok itu tidak bisa bercerita kepada orang lain. Dulu saat Mahesa dipaksa cerita oleh teman-temannya juga Mahesa sampai nangis saking gak kuatnya. "Sa, gue gak tau kalau keluarga lo kayak gitu," Selina mengelus punggung tangan Mahesa agar cowok itu tenang. "Gak cuma itu aja Lin, selama ini juga gue sering dapat k*******n sendiri dari Papa, dia sering mukulin gue. Gue tau gue salah, tapi yang pancing kesalahan gue juga dia sendiri. Gue cuma mau Papa gue stop main cewek. Gue kasihan sama Mama, gak tau sampai kapan gue bisa sembunyiin perilaku b***t Papa." "Jadi sampai sekarang Mama lo gak tau kelakuan Papa lo?" Mahesa menggelengkan kepalanya. "Gue yang gak berani cerita, takut Mama kepikiran dan buat kondisinya makin turun." "Sa," panggil Selina membuat Mahesa menatapnya. "Gue tau masalah lo berat, tapi gue percaya kalau lo itu kuat. Mahesa, hal baik akan selalu datang kepada orang yang baik, kayak lo. Yang penting jangan pernah lupa berdoa dan usahanya. Ya?" ujar Selina dengan tutur kata lembut dan pandangan yang hangat. "Makasih udah dengerin gue cerita." "Gue seneng kok bisa dengerin lo. Awalnya gue pikir lo cowok urakan yang sama sekali mustahil untuk didekati, bisanya cuma marah-marah, berantem, pokonya bikin masalah deh, tapi semakin lama gue kenal sama lo, pikiran gue perlahan berubah. Lo lebih dari itu. Hati lo baik, Sa." Selina berucap serius. "Udah mau jam lima, gue balik." Tiba-tiba Mahesa bangkit. Selina pun mengikuti cowok itu, Selina sempat terkejut awalnya. "Kok buru-buru?" "Ada urusan, dan satu lagi, jangan terlalu dekat sama gue. Gue gak sebaik yang lo pikir, kalau gitu gue cabut." Selina benar-benar tidak percaya dengan apa yang dia dengar barusan. Wajah Mahesa kembali berubah dingin. Ucapannya pun ketus. Selina tidak sempat bertanya lebih karena motor Mahesa telah melaju pergi. Apa Mahesa marah karena Selina masuk terlalu dalam, ke dalam hidupnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD