“Lari, Nak! Lari!”
“Tidak, Ma! Aku gak bakal tinggalin Mama!“
“Tapi kamu harus lari dari sini Maryam! Lari! Mereka semua berbahaya!”
“Gak, Ma!” Maryam malah berlari mendekat, ia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan mamanya dari tiang itu.
“Jangan pikirkan, Ma! Kamu harus pergi sekarang! Kamu gak akan bisa buka taliin.”
Tangan Maryam berdarah, ia meringis kesakitan tapi dia tidak peduli dan terus berusaha memutuskan tali yang mengikat mamanya. Aku gak bisa kehilangan mama, Maryam menguatkan hatinya.
“Tangan kamu berdarah, Dek.”
Maryam menoleh, ia melihat Zahra berdiri di hadapannya, Maryam langsung berhamburan memeluk Zahra.
“Kak, Mama, ada orang jahat yang mau celakain mama.” Maryam terisak dalam pelukan Zahra. Ia menangis melepaskan rasa takut, cemas, bingung yang sejak tadi memenuhi hatinya.
“ Jangan menangis.” Zahra melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata Maryam.
“T-tapi Kakak, Maryam takut.”
“Takut apa? “ Zahra tersenyum miring. Maryam kaget, ia berjalan mundur.
“Ada apa? Apa kamu mulai tahu sesuatu? “ Zahra berjalan mendekat, Maryam mundur ketakutan.
“K-kakak... “ Maryam menoleh. Mamanya memberi isyarat, membuat Maryam mengerti segalanya.
“Yap.” Zahra tersenyum. Ia menghentikan langkahnya, Maryam tidak mampu melangkah lagi, ia terjebak.
“Maryam, kenapa kamu takut pada kakak? Kakak hanya ingin menyembuhkan lukamu.” Zahra meraih tangan Maryam. Tangan Maryam gemetar, Maryam menarik tangannya tapi Zahra menahannya dengan keras lalu menaburkan sesuatu dilukannya dan seketika mamanya menghilang.
“Mama! “
Teriak Maryam. Ia mengerjap mata, matanya terbuka dan langsung disambut atap kamar berwarna putih seperti biasa, di kamarnya.
“Ada apa Dek? “ Zahra datang ke kamarnya. Gadis itu mengucek pelan matanya yang baru saja terbangun karena teriakan Maryam.
“A-aku mimpi buruk, Kak.” Maryam menatap Zahra, di dalam mimpinya Zahra menjadi jahat. Kenapa?
“Kamu lupa baca doa sebelum tidur ya? “
“H-hem, aku.. “
Zahra berjalan mendekat ke kasur Maryam. Maryam refleks mengeser tubuhnya ke dinding. Zahra duduk di tepi ranjang.
“K-kak, aku mimpi mama dalam bahaya. Aku takut, Kak.”
“Itu hanya mimpi. Sebelum tidur ada baiknya buat berzikir, terus baca doa minta perlindungan sama Allah dari gangguan setan.”
“Tapi mimpi itu rasanya kayak nyata, Kak.”
“Gak ada mimpi yang nyata. Mending sekarang kita salat tahajud aja, ini jam tiga.”
“H-hem, iya. Kakak duluan aja. Entar aku nyusul.”
“Ya, udah... kakak keluar ya.”
“Iya, Kak.” Itu cuman mimpi, ia harus melupakannya, Maryam menghela nafas panjang sebelum beranjak dari ranjangnya.
.
.
“Kak mau pergi? “ Maryam berdiri di ambang pintu kamar Zahra. Zahra baru saja hendak membuka pintu kamarnya.
“Iya, ada kajian di masjid depan.”
“Oh, ada kak Kerly sama kak Sarah di ruang tamu, nungguin kakak.”
“Iya. Kita mau pergi ke sana bertiga.”
“Kak, mau ikut.”
“Ya udah, siap-siap gih, kakak tungguin di ruang tamu.”
“Iya.”
Maryam bergegas masuk ke dalam kamarnya, ia buru-buru mengambil gamis berwarna pink dari dalam lemarinya, memakainya dengan cepat lalu memilah jilbab yang senada. Maryam sudah selesai dalam hitungan dua menit.
“Selesai.” Maryam memutar sekilas penampilannya di depan cermin. Ia tersenyum puas, penampilannya sudah pas.
Maryam meraih tas punggung kecilnya, mengambil note book, pulpen dan beberapa jarum pentul untuk jaga-jaga jika jarumnya hilang saat mengambil wudu.
“Maryam udah selesai, belum? “ panggil Zahra.
“Iya, Kak. Udah nih,” jawab Maryam.
Ia berbalik hendak pergi, tapi ia sadar bahwa wajahnya terlihat pucat. Maryam merogoh lipblam dari nakas lalu mengambil cermin kecil di dalam nakas. Ia akan memoles bibirnya sembari berjalan menuju ruang tamu.
“Maryam....”
“Iya, Kak.” Maryam memoles bibirnya dengan bantuan kaca kecil sembari berjalan.
“Untung ada kaca dari kak Ilham.” Maryam tersenyum sumringah. Kaca itu baginya bagai sebuah benda penting yang akan ia bawa untuk memantau wajahnya yang terlihat pucat karena tidak tidur semalaman. Maryam memutar-mutar kaca itu, dan baru menyadari satu hal. Maryam kaget. Kaca itu tanpa sengaja terlepas dari tangannya.
Brak
“Kemana luka yang ada di sini?” Maryam memandangi punggung telapak tangannya. Ia membolak-balik dengan bingung, dua hari yang lalu, luka itu masih ada di tangannya. Maryam tidak memberi obat apapun pada luka itu.
“Tapi kenapa hilang? “
Maryam teringat mimpinya semalam. Ia menggeleng-ngeleng, tidak percaya atas jawaban yang disampaikan otaknya.
“Pasti udah lama sembuh tapi akunya aja yang gak sadar.” Maryam bergumam pelan.
“Maryam, udah belum Dek? Buruan! Keburu telat nih.” Suara Zahra membuyarkan lamunan Maryam. Maryam buru-buru membersihkan pecahan kaca itu, ia menemukan sebuah card foto seseorang. Maryam tidak kenal siapa gadis yang ada di dalam kaca yang sudah pecah itu. Di belakang card foto itu terdapat semua tulisan yang Maryam tidak mengerti, entah itu tulisan, lambang atau kode, Maryam tidak pernah melihatnya, ia jelas tidak tahu apa itu.
“Maryam....” panggil Zahra lagi.
“Eh, iya, Kak. Bentar.” Maryam segera menyimpan foto itu di dalam tasnya.
“Maaf ya kakak-kakak semua. Lama ya tunggu aku? “ Maryam tersenyum lebar.
“Iya. Lama banget dek.” Zahra memutar bola matanya.
“Maaf, kakak.. “
“Udahlah, gak masalah, Zahr.” Kerly menengahi kedua sepupu itu.
“Ya udah kita langsung pergi aja yuk. Udah telat lima menit nih,” kata Zahra. Yang lain mengangguk setuju.
“Kita naik mobil gue aja yuk.. “ Sarah mengeluarkan kunci mobilnya.
“Gak perlu, Sar. Masjidnya dekat sini, kalo bawa mobil sulit parkirnya entar. Mending jalan aja, gak masalah telat sepuluh menit,” kata Zahra.
“Iya benar juga sih. Ya udah jalan yuk.”
“Yuk.”
“Zahr, tema kajian ini apa ya? “
“Tentang ibadah horizontal .”
“Ha? Ibadah apa tuh? “
“Ibadah dengan membantu sesama. Jadi ibadah itu gak meluluh soal ibadah vertikal kepada Tuhan aja, tapi juga penting adanya ibadah horizontal, contohnya kayak membantu sesama, saling mengasihi sesama, saling menjaga. Mau itu hewan atau manusia, kita harus saling membantu. Hablum minal Allah, dan Hablum minannas.”
“Gue juga pernah dengar katanya ada p*****r yang masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan.”
“Oh iya, gue dulu juga pernah denger gitu tuh. Tapi enak banget ya kalo gitu, dia p*****r yang banyak dosa karena zina tapi bisa masuk surga cuman karena kasih anjing minum?”
“Kita sebagai manusia tidak bisa menghakimi orang lain, Sar. Mungkin karena dia memberi minum pada anjing itu, maka Allah bukakan pintu hidayah atasnya, Allah bimbing dia untuk dekat dengan-Nya. Semua itu mudah banget bagi Allah. Kadang kalo kita lagi biat dosa, Allah mudah aja buat supaya kita berpaling dari dosa itu, tapi kenapa Allah biarin kita berbuat dosa? Itu mungkin karena dosa kita yang menghalangi apa yang Allah beri supaya kita terhindar dari dosa. Kita buat dosa, hati kita jadi gak peka dengan sinyal-sinyal dari Allah buat menghindari dari dosa.”
“This rigth ya..kok gue baru kepikiran.”
“Jadi mungkin aja, karena perbuatan baik wanita itu, Allah jadi lembutkan hatinya dari pekatnya dosa, sehingga bisa menerima sinyal hidayah dari Allah. Atau mungkin, meski ia seorang pendosa tapi jauh di lubuk hatinya, selalu merintih memohon ampun Allah. Kita gak pernah tahu apa yang ada di hati manusia. Maka dari itu kita diperintah untuk selalu husnuzon kepada sesama manusia.
Matahari sebenarnya tidak terlalu panas tapi cahayanya sangat menyilaukan mata Zahra, beberapa kali ia menutupi matanya dengan telapak tangannya agar menghalau sinar matahari dari matanya. Zahra memilih berjalan di bawah rindang bayangan pohon. Berjalan pelan di belakang Maryam, Kerly dan Sarah. Ketiganya nampak sangat antusias dan sibuk berbincang sepanjang jalan hingga tidak terlalu menghiraukan sinar matahari yang terik.
“Meow...”
Zahra menoleh, di sebrang jalan terlihat seekor kucing yang berada di atas pohon yang tinggi dan kebingungan untuk turun.
“Tenanglah, saya akan membantu.”
Zahra menajamkan matanya melihat siapa orang yang berdiri di bawah pohon itu.
“Kelvin? “ Zahra memastikan sekali lagi dan kedua kalinya dia yakin itu Kelvin.
“Meow...meow...”
“Iya tenang.” Kelvin menoleh ke kanan lalu ke kiri, dia tidak menyadari ada Zahra di seberang jalan. Setelah memastikan sesuatu Kelvin lalu bergerak sangat cepat, hust... seperti angin. Pohon-pohon di sana berhembus kencang karena aksi Kelvin barusan, menghasilkan seperti badai angin yang terjadi sekejap mata lalu menghilang.
“Astagfirullah, itu apa? “ Maryam kaget dan baru sadar.
“Iya apa tuh, angin ributkah? “
“Tapi masa cuman di situ aja.”
“Alhamdulillah, Kerl. Lo pengen di sini juga kena? Lo pengen kita kena angin ribut? “
“Ckck, Bukan gitu maksudnya.”
“Udah yuk buruan lari, takut entar angin kencang kena kita. Kan gak lucu entar kalo jilbab kita terbang karena angin itu. Ihhh.... takut.”
Kelvin menurunkan kucing itu ke bawah, Kelvin tersenyum saat kucing itu mendengkur, mengusel pada kaki Kelvin. Zahra yang memperhatikan itu refleks ikut tersenyum.
Kelvin menyadari sepasang mata melihat ke arahnya, Zahra tidak membuang muka saat Kelvin menangkap basah dirinya tengah melihat ke arahnya. Zahra malah mengangkat satu jempol tangannya seraya tersenyum manis.
“Masyallah, hebat.” Zahra mengatakan itu tanpa suara. Kelvin mengerti kalimat Zahra. Ia juga memberikan jempol, karena Zahra lah yang selalu mengajarinya mengenai semua kebaikan ini.
“Kak, ngapain? “ Maryam mengernyit melihat jempol tangan Zahra di udara.
“Eh.” Zahra tersadar, dan langsung memalingkan wajahnya pada Maryam.
“Liat apa sih? “Maryam menoleh ke arah mata Zahra tadi. Dan seperti biasa Kelvin dengan gerakan cepat bersembunyi di balik pohon.
“Gak ada apa-apa.” Maryam bergumam. “Kakak buruan yuk, makin telat nih.”
“Iya.”
Zahra kembali menoleh. Kelvin tersenyum, ia menggerakkan tangan kucing, “Dadah... “ katanya dengan isyarat mulut.
Zahra tersenyum dan kembali melanjutkan langkahnya.
.
.
“Wah, Ilham mumpuni juga ya bahas soal ibadah horizontal. Gue jadi makin paham.” Sarah tersenyum lebar. “Lain kali kalo Ilham yang jadi narasumbernya, kita ikut lagi yuk, Zahr...”
“Idih, Lo mau ikut kajian karena haus ilmu atau mau cuci mata liat cogan? “ Sindir Kerly. Wajah Sarah seketika ketus.
“Menyelam sambil minum air. Apa salahnya?”
“Salahlah. Niat tuh Lillah bukan Ilham.”
“Iya, iya, tahu gue.”
“Nah gitu dong, tumben Lo gak nyolot.”
“Gue emang gak pernah nyolot keles, gue mah anak baik terhadap sesama, ibadah vertikal.”
“Masyaallah.”
“Iya dong, habis dengar kajian tentang ibadah horizontal masa berantem sama saudara sendiri.”
Kerly tertawa. “Fiks, kita harus sering ikut kajian nih.”
“Setuju.”
“Eh, aku ke warung dulu ya. Kalian duluan aja.”
“Bareng aja,” jawab Sarah.
“Iya, Kak. Bareng aja,” sahut Maryam.
Zahra memberi kode pada Kerly, Sarah mungkin lupa rencana mereka. Hari ini sebenarnya hari ulang tahu Maryam, setelah kajian mereka berencana untuk mengambil kue yang mereka pesan untuk Maryam, tapi berhubung Maryam ikut, mereka jadi harus mengatur rencana baru. Zahra harus mengambil kue sedangkan Kerly dan Sarah menyibukan Maryam di rumah.
“Iya, Zar, Lo ke sana aja sendirian. Kita langsung pulang aja,” jawab Kerly, tidak lupa ia menyenggol lengan Sarah agar ingat dengan rencana mereka.
“Oh, iya....” Sarah baru sadar, ia segera menggandeng lengan Maryam. Zahra langsung berbelok saat ada tikungan sedangkan Maryam, Kerly dan Sarah, berjalan lurus menuju ke rumah bulek.
“Kak, saya ambil kue atas nama Zahra.”
“Kue cokelat ya dek? “
“Iya Kak.”
“Oh, iya. Di atas kenya mau ditulis apa nih, Dek?”
“Hem, happy milad aja Kak.”
“Oh oke. Tunggu bentar ya, Kak.”
“Iya, Kak.”
Zahra suka toko ini karena beraroma vanila membuat Zahra merasa tenang berlama-lama di sana.
“Ini Kak kuenya.”
Zahra merasa tenang setelah mengambil kue di toko kue langganan mereka. “Terima kasih, Kak.”
‘Kue udah di tangan, sekarang siap-siap.’
Zahra mengirim pesan. Zahra tersenyum lebar mendapat balasan dari Sarah. Sarah mengirimkan gambar Maryam yang tengah mengangga, Maryam tidak sadar saat Sarah memotretnya.
“Pak, saya beli satu sosis.”
Zahra melihat Ilham berdiri di depan warung yang tidak jauh dari toko kue.
“Rasa ayam? “
“Iya, Pak.”
Terlihat Ilham menyerahkan selembar uang dan mendapatkan apa yang dibeli. Ilham pun langsung pergi dari sana, dan tidak menyadari Zahra melihatnya. Zahra juga sungkan untuk menyapa Ilham yang terlihat terburu-buru. Ilham berjalan lebar sedangkan Zahra berjalan santai.
Langkah Ilham tiba-tiba berhenti. Zahra memperhatikan. Ilham berhenti karena ada kucing yang menghampirinya. Ilham berjongkok. Ia mengamati kucing itu dengan seksama dan tiba-tiba Ilham menendang kucing itu menjauh darinya. Mata Zahra membelalak melihat hal itu, Ilham menyampaikan materi tentang ibadah horizontal dengan sangat baik tadi di kajian, lalu sekarang? Apa yang dia lakukan?
Kucing itu mengeong dan menerkab kaki Ilham dan seketika sosis yang dia beli terjatuh. Kucing itu langsung mengambilnya dan berlari.
“Ck!” Ilham berdecak keras sebelum pergi dari sana. Zahra tersenyum melihat kucing itu mengambil sosis dari tangan Ilham. Kucing yang lucu, batin Zahra.
“Kelvin lebih baik dari Ilham,” gumam Zahra pelan. “Kelvin mempraktikan apa itu ibadah horizontal meski tidak tahu, tapi Ilham dia cuman mengatakan tapi tidak selaras dengan perbuatan.”
“Zahra! “
“Stefani.”
“Jauhi Kelvin! “
“Stefani! Kamu kenapa sih, gak bosen mengulang dialog yang sama! “
“Dia jin jahat, Zahr! “
“Kamu yang jahat Stefani! “
“Zahr, saya tidak jahat! “
“Kamu tidak jahat,” Zahra tersenyum. “Tapi sangat jahat.”
“ZAHRA! “ Stefani tiba-tiba mendorong Zahra, kue yang ada di tangannya terpental dan Zahra terjatuh.
Bruk
Bersamaan dengan itu, satu batang pohon jatuh tepat di hadapan Zahra yang terjatuh. Zahra terpaku karena kaget, semua terjadi dengan sangat cepat.
“Liat ini, Zahr. Semua ini baru awalan! Ingat kata-kata saya, jauhi Kelvin! “
Stefani menghilang.
.
.
“Zahr, Lo kenapa?”
Zahra menghela nafas panjang. Sarah dan Kerly memperhatikan penampilan Zahra dari atas hingga bawah, jilbab berantakan dengan satu daun beetengger di atas kepalanya, wajah kusut, baju kotor terkena noda tanah dan tangan kosong tanpa bungkusan apa pun. Tidak ada kue di tangan Zahra.
“Habis kena angin p****g beliung di mana? “tanya Sarah, seenak jidat.
“Kenapa Zar? “
“Hem, kuenya jatuh dan rusak.”
“Emang kenapa bisa gitu? “
“Fiks ini mah, Lo kena angin p****g beliung kan, untung di sini gak kena juga.”
“Apaan sih, Sar! Ini lagi serius, kue buat Maryam rusak terus gimana mau kasih dia kejutan?”
“Hem, apa aku pesen kue lagi aja ya? “
“Emang bisa? “
“Bisa. Tapi mungkin agak lama. Kalian harus alihin perhatian Maryam supaya mau ke taman, gimana? “
“Kenapa gak di rumah aja ?”
“Aku harus ganti baju dulu. Kalo Maryam liat penampilan aku gini, entar dia nanya lagi dari mana.”
“Hem, oke. Dua menit lagi kami bakal bujuk Maryam buat ke taman, terus Lo masuk dan kasih kode kalo udah selesai.”
“Iya, nanti aku WA kalian kalo aku udah keluar dari rumah.”
“Sip. Buruan sekarang ngumpet.”
“Iya.”
Zahra segera bersembunyi di dekat pohon. Kerly dan Sarah masuk ke dalam rumah.
“Maryam ke taman yuk...”
“Ngapain Kak? Panas gini.”
“Bentar doang, liat layang-layang.”
“Ha, layang-layang? Emang di taman sini ada anak yang main layangan? Biasanya gak ada sih Kak. Sore mungkin ada. Entar sore aja Kak ke taman.”
“Duh, gak bisa gitu dong, Maryam...bisa-bisa gagal semua.” Sarah keceplosan. Kerly menatap sengit Sarah.
“Gagal apa Kak? “
“Iya, kita mau liat kira-kira jam segini banyak anak-anak main di taman gak? “
“Buat apa Kak? “
“Ya, buat... Hem, buat itu aja.”
“Ayo dong, Maryam, temenin kakak-kakak mu ini. Kitakan tamu di sini, berarti sama dengan raja. Mau iya...?”
“Hem, ya udah deh Kak, aku temenin. Tapi bentar, aku ambil novelku dulu di kamar.”
“Eh, buat apa? “
“Hem, tanggung udah mau tamat ceritanya Kak. Jadi sekalian di bawa aja, buat baca di taman.”
“Oh ya udah. Gih sana.”
Maryam langsung ke kamar dan mengambil buku di atas nakas. Maryam belum selesai membaca n****+ yang dia pinjam pada Zahra. Buku karangan abi Zahra. Ada beberapa kalimat dan kata yang sulit Maryam pahami, sehingga ia harus bertanya pada Zahra atau mencari artinya sendiri sebelum melanjut bacaannya.
“Oh, iya, bawa tas kecil yang tadi juga deh.” Maryam mencoba meraih tas kecilnya tadi yang ia letakan di atas kasurnya, tangan Maryam tidak sampai untuk meraih tas di atas kasur itu, tapi ia terlalu malas untuk berjalan ke kasur. Maryam memaksakan diri dan karena hal itu malah membuat buku yang tadi ia pegang terjatuh ke lantai.
“Tuhkan, malas. Jadi makin lama.” Maryam mengalah pada keterbatasannya, ia berjalan ke kasur mengambil tasnya lalu mengambil buku di lantai. Ada sesuatu yang terjatuh dari dalam buku itu, Maryam langsung mengambilnya.
“Foto? “ Maryam mengernyit. “Ini mirip foto tadi.” Maryam terbelalak, ia buru-buru membuka tasnya dan benar dugaan Maryam. Itu foto dari orang yang sama.
“Siapa dia? Kenapa ada di cermin dari kak Ilham dan ada di foto paman? “ Maryam terkesiap, ia kembali mengecek gambar itu berkali-kali dan semua tetap sama.
“Maryam, udah belum? “ suara Sarah terdengar dari luar. Maryam masih terkesiap, ia mencoba mengingat barangkali gadis yang ada di foto ini adalah orang yang dia kenal.
“Maryam...” Kerly menepuk pelan pundak Maryam. Maryam kaget bukan main dan langsung menyembunyikan foto yang ada di tangannya.
“Ayo, pergi.”
“Hem, Kak..”
“Ayo.” Sarah langsung menggandeng tangan Maryam, memaksa gadis itu untuk segera keluar dari rumah.
Masuk gih...
Setelah mendapat pesan itu, Zahra langsung masuk ke dalam rumah dan langsung ke kamarnya, mengganti pakaian.
“Maryam, kebiasaan gak tutup lemari baju.” Zahra tidak sengaja melihat lemari baju Maryam terbuka. “Lemari gak di tutup, pintu pun juga, “ gumam Zahra. Ia lalu masuk ke dalam kamar Maryam dan menutup lemari.
Zahra hendak pergi dari sana tapi mendadak matanya melihat sebuah foto di atas nakas Maryam.
Zahra meraihnya dan melihat foto itu. “Gadis ini.... “ Mata Zahra membelalak, ingatannya kembali berputar pada gadis yang ia temui di Castel waktu itu. Gadis yang membantunya kabur dari castel Kelvin, gadis yang meninggal karena menolong dirinya.
Zahra terduduk di lantai, perasaan bersalah merembes memenuhi hatinya. Surat yang gadis itu berikan bahkan hilang karena keteledoran Zahra. Entah apa isi surat itu, Zahra tidak mengerti apa arti gambar yang ada dalam surat itu. Waktu itu ia berencana untuk meminta bantuan Aminah, tapi ia menghilangkannya sebelum bisa memberikan surat itu pada Aminah.
“Dari mana Maryam dapat foto gadis ini?” Zahra bangkit dan segera berlari mengejar Maryam ke taman.
***