Hari baru pukul setengah enam sore, namun langit sudah tampak sangat gelap. Zarah menatap langit sore dari balik jendela, ia melihat langit sudah dipenuhi awan hitam yang siap menguyur bumi. Zarah berbalik dan langsung menutup jendela.
“Kayaknya mau hujan deras, Bi, “Info Zahra. “Abi gak salat magrib di rumah aja?” tanya Zahra lagi.
“Abi kan bisa pakai payung. Abi terbuat dari tanah bukan dari kertas, jadi gak takut kalo kena air hujan.” Abi tertawa melihat wajah Zahra yang berubah karena guyonannya.
“Pria itu keutamaannya salat di masjid. Kalo gak ada udzur syar’i lebih baik salat di masjid. Beda lagi kalo perempuan. Kalo perempuan lebih baik salat di rumah atau di bilik-bilik kamarnya. Apa lagi keliatannya hujannya gak terlalu deras. ”
“Oh jadi itu alasan Abi salat di masjid.” Zahra manggut-manggut. Kali ini gadis itu bisa menerima alasan abi kekeh ke masjid meski cuaca menampakkan tidak bersahabat.
“Hem. Ada satu lagi....”
“Apa, Bi? “kepo Zahra.
“Karena kami sholeh bukan sholeha. Kalo Abi salat di rumah, Abi jadi laki-laki sholeha dong, kayak Ummi dan Zahra. “
Zahra tertawa, mendengar jokes garing abi. “Abi bisa aja deh.”
“Apa yang abi katakan itu emang abi katakan itu benar Loh Zar. Wanita sholeha salatnya di rumah, berarti laki-laki yang salat di rumah juga sama dong gelarnya.”
“Coba seluruh pemuda pemikirannya kayak Abi, auto masjid tiap hari ramai,” kata Zahra berandai-andai.
“Kayaknya Abi mau berangkat ke masjid sekarang, mumpung belum hujan.” Kini giliran Abi yang mengintip langit dari jendela.
“Kalo gitu Zahra ambilan payung ya, Bi. Biar kalo hujan, Abi gak kebasahan,” tawar Zahra.
“Masyallah, anak Abi emang paling pengertian,” puji Abi.
“Ah, Abi bisa aja, ya udah. Zahra ambil payung dulu. Abi jangan pergi dulu, ya.”
Zahra berlari-lari kecil menuju gudang belakang rumah. Gudang itu memang terpisah dari rumah, sehingga Zahra harus berlari sedikit menembus hujan untuk sampai ke gudang belakang rumahnya. Jaraknya dari rumah hanya sekitar satu meter.
Zahra masuk gudang, menghidupkan lampu dan lima detik kemudian payung sudah ada di tangganya. Zahra sangat hafal letak semua barang digudang karena bagi Zahra, gudang adalah kamar keduanya.
Gudang belakang rumah Zahra tidak seperti gudang yang sering digambarkan di film horor. Gudang dengan nuansa horor yang kental, penuh debu, berantakan plus gelap. Hal ini tidak terjadi pada gudang rumah Zahra. Gudang rumah Zahra bersih, rapi, wangi plus bercat pink. Ummi dan Abi memang tipe manusia yang sangat, sangat, suka kebersihan.
Bahkan jika Maryam—sepupunya datang, mereka lebih suka bermain di gudang ketimbang di kamar Zahra yang penuh dengan buku. Abi juga sering menulis di gudang belakang. Abi memang tipe penulis yang suka ketenangan saat menulis. Sebenarnya menulis hanya sekedar hobi Abi dalam mengisi waktu luang saat libur mengajar. Abi merupakan dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta. Kadang Zahra berpikir, gudang ini keliatan seperti kamar yang nyaman ketimbang sebagai gudang.
“Zahra....” Suara Ummi terdengar. Zahra dengan segera kembali ke rumah.
“Abi ini payu—“
Jedar.....!!!
Suara petir menghentikan perkataan Azzura. Tidaklah lama dari itu listrik padam. Zahra segera mendekatkan tubuhnya dengan Ummi. Sejak dulu Zahra entah mengapa ia begitu takut saat gelap. Bahkan saat tidur sekali pun, jika mati lampu secara otomatis Zahra akan terbangun dan langsung memanggil Umminya. Zahra juga heran, kenapa hal itu terjadi.
“Hujannya makin deras, Mas, ” kata Ummi. “Lebih baik salat di rumah aja. Takutnya hujan ini juga di sertai angin kencang.”
“Iya. Kayaknya abi salat magrib di rumah saja,” jawab Abi.
“Zar, tolong siapin sajadah di ruang tengah ya, bentar lagi azan magrib,” kata Umi.
Zahra mengangguk kaku. Ia takut, tapi mau sampai kapan ia membelegu dirinya sendiri oleh rasa takut. Saat Zahra hendak melangkah, tiba-tiba lampu kembali menyala. Zahra senang bukan main, ia langsung bergerak cepat menuju ruang tengah. Membentangkan ambal dan sajadah. Setelah itu Zahra mengambil wuduh dan bersiap shalat bersama Umi dan Abi yang sudah terlebih dahulu bersiap.
“Rapatkan Safnya.. “ kata Abi sebelum memulai salat magrib.
Azzura mendekatkan dirinya dengan Umi tidak meninggalkan celah sedikit pun untuk setan, mengganggu salat mereka.
Suara gemercik air hujan, menggiring suara lantunan ayat suci yang abi baca. Di luar hujan makin deras menggusur bumi.
“Ayat Qursi yang tadi kamu baca, bisa mengusir gangguan jin kafir dan melindungi kamu atas seizin Allah,” kata Abi saat Zahra sudah selesai membaca Al-Qur’an.
Seperti biasa, selesai melaksanakan salat magrib Zahra sekeluarga membaca Al-Qur’an bersama.
“Abi sering bilangan mengenai teori pisau? Kamu masih ingatkan? “ tanya Abi.
Zahra mengangguk. Jelas dia ingat mengenai teori itu. Ayat Qursi yang terdapat dalam surah Al-Baqoroh itu memang cukup terkenal sebagai ayat yang di takuti para setan dan jin kafir. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa ayat Qursi sering kali di temukan di dinding-dinding rumah orang, barang kali orang berharap dengan adanya ayat itu di rumah mereka maka jin kafir dan setan tidak akan menganggu mereka.
Anggapan ini memang tidak salah, tapi masih kurang tepat. Sama halnya seperti memiliki pisau di rumah. Pisau akan berguna jika mengetahui cara menggunakannya.
“Di amalkan bukan hanya sekadar di baca apa lagi cuman di tempel di dinding. Setan juga gak akan takut kalo gitu, iya kan Abi ?”
Abi mengangguk. “Pada intinya. Al-Qur’an itu pendoman hidup kita. Jadi tidak ada alasan untuk tidak membaca dan mengamalkannya jika ingin hidup selamat dunia akhirat.”
“Hem, jadi hari ini udah tambah berapa hafalan Qur’annya, Kak ? “ umi menguyel pipi cubi milik Zahra lalu menciumnya.
“Umi, Zahrakan udah besar,” protes Zahra. Zahra langsung menjauhkan wajahnya dari Umi.
“Oh, jadi gak mau umi cium ya? Malu ya. Di cium umi terus? “Umi pura-pura sedih dengan reaksi Zahra barusan.
“Ih, bukan gitu maksudnya, Umi.” Kini Zahra yang malah mengusal di ketek Umi. “Mana mungkin, Zahra malu punya umi sebaik dan sehebat, Umi.”
Umi terkekeh. “Kenapa gak mau di cium? “
“Hem... cuman kan Zahra udah besar, Mi. Hem... Jadinya.... “
“Iya, umi tahu. Lain kali umi gak cium lagi. Ini terakhir kalinya.....” Umi terkekeh. Zahra juga ikut terkekeh, dia sama sekali tidak sadar akan banyak hal. Misalnya kalimat perpisahan.
“Nak, hidup itu gak akan berkah kalo kita jauh-jauh dari Al-Qur’an. Al-Qur’an itu ibarat buku panduan buat kita menjalani hidup. Kalo kita jauh-jauh dari Al-Quran kita bisa bingung menjalani hidup yang penuh tipu muslihat ini. Jadi—“
“Jadi.... cintai Al-Qur'an baca terus tiap hari.” sela Zahra seraya bersenandung riang.
“Wah, ternyata anak umi udah pinter nih. Kalo ditinggal kita gak perlu khawatir lagi...,” sahut Abi tersenyum lebar.
“Memangnya Umi dan Abi mau ke mana? “
“Kak, di kamar kayaknya ponsel kamu bunyi deh..,” sela umi.
Zahra memfokuskan pendengarnya. Benar saja sayup-sayup ia mendengar suara nada deringnya ponsel memanggilnya di dalam kamar.
“Bi, Mi, Zahra ke kamar dulu ya... “pamit Zahra buru-buru melangkah lebar dengan mukena yang masih melekat ditubuhnya. Gadis itu sedikit kesulitan berjalan lebar dengan mukena yang ia kenakan terlebih lagi saat menaiki tangga. Kamar Zahra terletak di lantai dua.
“Lepas aja dulu mukenanya, Kak,” seru Umi.
“Gak ah, Umi. Tanggung bentar lagi salat Isya....,” sahut Zahra seraya menaiki tangga dengan hati-hati.
Umi menggeleng melihat kelakuan putri tunggalnya itu.
“Anak kita udah besar ya, Mi.”
“Iya, Bi. Gak ke rasa banget....” Mata umi berkaca-kaca haru.
Abi tersenyum menatap punggung Zahra yang semakin menjauh.
Zahra meraih ponselnya di dalam nafas. Ponsel itu masih terus berdering. Dahi Zahra berkerut saat melihat keterangan ‘nomor tidak dikenal.’
“Assalamualaikum, dengan siapa ini? “cicit Zahra. Tidak ada sahutan dari sebrang sana. Zahra menunggu sekitar 30 detik, menunggu respon si penelepon.
“Holllah, hay,yuhu....ini siapa ya ?” tanya Zahra, sedikit geram, karena sekarang semakin tidak ada jawaban jika tadi Zahra bisa mendengar suara jangkrik di serang sana. Sekarang semua seketika hening. Zahra makin tidak mengerti.
“Siapa sih,” gumam Zahra. “Maaf Kayaknya salah sambung.” Zahra langsung mematikan panggilan sepikah. Ia melirik jam, lima menit lagi adzan Isya akan di berkumandang.
Zahra hendak pergi. Tapi ponselnya kembali berdering di atas meja belajarnya. Zahra mendesah kesal. Ia lupa mematikan data seluler. Nada dering itu berhenti tepat saat Zahra memegang ponselnya.
“Hem, simpan di dalam nakas aja deh.” Zahra mematikan data seluler lalu hendak mematikan ponselnya sekalian. Tapi lagi-lagi ponselnya berdering.
“Assalamualaikum, halo, ini siapa? “tanya Zahra dengan suara masih terdengar ramah.
Tidak ada jawaban.
“Haloo, ini siapa? “Suara Zahra naik dua oktaf. Tidak ada jawaban.
“Hem....” Zahra mendengus kesal. “Oke fiks! Maaf Kayaknya kamu salah sambung deh!”
Klik
Zahra mematikan panggilan sepihak.