Zahra membuka matanya, kepalanya makin terasa sakit begitu ia mengangkat kepalanya untuk merubah posisi menjadi duduk.
“Zahra, jangan dipaksa kalo masih belum bisa bangun,” cegah Amina.
“Kak Amina, kakak ada di sini?”
Zahra baru ingat kalo dia tadi ada di pemakaman dan sekarang ia sudah ada di rumah pohon. “Kak, apa aku pingsan tadi? ”
“Iya tadi kamu pingsan di sana,”sahut Amina.
“Ya Allah, maaf ya kak, aku pasti ngerepotin banget.Kakak bawa aku ke sini sendirian? ”
“Gak. Tadi ada Ilham dan Gita. Ilham sekarang lagi salat dzuhur di masjid dekat sini. Terus kalo Gita, dia pulang ke pondok karena ada urusan mendesak.”
“Hem….”Zahra berusaha untuk duduk dan kali ini ia berhasil untuk duduk. “Kakak, udah salat dzhur ?”
“Kakak lagi gak salat. Kenapa kamu mau salat? ”
“Iya, Kak. Tapi Kayaknya salat di rumah aja. Aku takut Maryam cemas karena aku tadi izin pulang sebelum pulang sekolah.”
“Kamu udah bisa jalan emang? Kepala kamu gak pusing lagi?”
“Masih pusing dikit, Kak. Tapi bisa kok pulang.”
“Ya udah, biar kakak anterin.”
“Iya, Kak.”
Keduanya turun dari rumah pohon, bertempat dengan itu Ilham baru saja datang dengan wajah yang berseri, bekas air wudu.
“Sudah sadar ?” Pertanyaan itu refleks Ilham keluar saat melihat Zahra turun dari rumah pohon.
“Iya baru mau pulang sekarang. Mas Kaca, terima kasih tadi sudah bantuin saya tadi.”
“Mas Kaca? ” Sudah lama rasanya Ilham tidak mendengar panggilan itu.
“Bolehkan saya panggil mas Kaca lagi?”
Ilham mengangguk pelan. “Terserah.”
Amina memperhatikan keduanya dari jauh, diam-diam ia tersenyum simpul. “Rencana berhasil.”
“Maaf, tapi tolong pergi dari sini saat saya pergi. Lari dan cari tempat aman dari sini.”
“T-tapi, tapi itu apa? “ Tubuh Gita gemetar, ia masih shock karena kejadian yang baru saja terjadi dua menit yang lalu, saat tiba-tiba ada yang berusaha menyerangnya dari belakang lalu mas Fatir datang, menghentikan hal itu. Mereka berkelahi, lengan mas Fatih terkena kapak. Sosok itu berlari saat merasa akan kalah.
“Mas, tangan kamu berdarah,” cicit Gita. Lututnya terlalu gemetar untuk menopang tubuhnya, berlari menghampiri calon Fahri yang kini berada satu meter darinya.
“Tenang saja, semua akan baik-baik saja.” Pria itu bangkit.
“Mas, mau pergi ke mana? “
“Saya harus ...”
“Mengejar itu? “
“Iya.”
“T-tapi...”
“Tenanglah, insyallah semua akan baik-baik saja. Pergilah dari sini, cari tempat ramai dan aman!”
“T-tapi mas.... “
“Mas! “
Mata Gita berkaca-kaca, peristiwa itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu tapi sampai detik ini ia tidak pernah melupakan barang sedetik pun. Semua kejadian itu tersusun rapi dalam kenangan dan luka di hati Gita.
Gita masih ingat bagaimana semua kejadian itu dan dia hanya bisa menutup mulut dan menangis, tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan diri di antara pepohonan. Gita menyesali segalanya, seharusnya waktu itu ia berlari menolong Fahri, bukannya egois memikirkan diri sendiri dengan bersembunyi karena takut mati, secara fisik ia selamat tapi secara jiwa Gita mati berulang kali. Kapak itu memang tidak mengenai ragamnya tapi bayangan kapal itu berkali-kali mengenai hatinya, Gita memang tidak di kubur dalam tanah tapi ia terkubur dalam pilu amarah.
Gita mati meski ia hidup.
Gita selalu merasakan mati setiap kali kenangan itu datang menyapanya, Gita merasa mati saat terbesit senyum terakhir Fahri yang menoleh ke arahnya. Gita mati, setiap ingat detik-detik menyakitkan yang Fahri hadapi saat kemautan datang menjemputnya. Itulah mati yang harus Gita hadapi.
“Kenapa tidak mengucap salam saat masuk?” tanya Gita begitu melihat Amina masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun. Gita sudah terbiasa menyembunyikan segala luapan hatinya, ia sudah berlatih bertahun-tahun, memang tidak terlalu baik, tapi ia cukup mampu menekan suaranya agar terdengar normal tidak parau atau sumbang.
“Aku hanya tidak ingin menganggu kesedihanmu,” jawab Amina sembari berlalu.
“Tidak ada alasan, Amina! Ucapakan salam saat masuk ke dalam ruangan, rumah atau kamar ! Jangan berikan celah bagi setan untuk masuk.”
“Afwan, lain kali aku akan mengingatnya.”
“Bagaimana keadaan Zahra? “
“Dia sudah lebih baik. Tadi aku dan Ilham mengantarnya pulang ke rumah.”
“Hem...” Gita bergumam pelan.
Amina mengeluarkan sesuatu dari kantong kresek yang luput dari penglihatan Gita.
“Apa yang kamu beli?” tanya Gita.
“Sekantong permen karet.”
“Buat apa? “
“Buat orang yang sedang sedih. Ambilah.”
“Buat aku? Dari mana kamu tahu aku sedang sedih? “
“Hem, hanya menebak saja.”
“Kamu hanya membeli permen karet ini untuk aku? “
“Lalu, apa harus beli pabriknya juga? “
“Bukan, maksud aku, kenapa kamu hanya membeli makanan untuk aku, tidak untuk kamu juga.”
“Tidak ada uang.”
“Terus kenapa kamu malah beliin saya permen sebanyak ini!? Seharusnya kamu simpan uang itu buat keperluan mendadak kamu, bukannya malah di habisin buat beli permen karet!”
“ Uang tidak seberapa, kebahagiaan yang utama. Uang bisa di cari, tapi kebahagiaan tidak mudah di dapat. Orang berlomba mendapat uang, mereka berpikir uang bisa membawa kebahagiaan yang mereka cari. Mereka bukan gila mencari uang tapi mereka gila ingin bahagia, dan uang dianggap bisa melakukan itu.”
“Uang dan kebahagiaan seolah saling bertaut, padahal kebahagiaan tidak hanya terletak dari secarik kertas, rasanya terlalu naif jika mengukur kebahagiaan dengan keterbatasan uang, kebahagiaan tidak bisa di ukur dengan apa pun.”
“Sejak kapan Amina berubah menjadi sang pemikir dalam, sedalam lautan tinta di atas kertas.” Gita terkekeh.
“Tidak perlu menjelaskan diri kita pada orang yang tidak menyukai kita, karena itu sia-sia. Dia tidak akan peduli pada seribu kebaikan kita, baginya seribu kebaikan akan tetap kalah pada satu keburukan,” jawab Amina santai. Bukannya tersinggung, tawa Gita makin mengudara, begitulah cara mereka berkomunikasi, tidak ada pujian atau sejenisnya.
“Syukron khatsiro ya ukhti. Semoga Allah membalas kebaikanmu,” kata Gita setelah tawanya mereda.
“Na’am.”
**
Kerly mengernyit membaca selembar kertas putih yang diberikan pihak sekolah padanya tadi saat pulang sekolah.
“Spp belum di bayar selama tiga bulan?” gumamnya bingung. Kerly memang tidak pernah membayar uang spp sendiri. Orang tuanya lah yang biasanya menghandle hal ini.
“Apa Papa lupa transfer ke rekening sekolah? Atau papa salah masukin nomor rekening? Gak papa nunggak gini, pasti papa salah kirim deh.” Sarah buru-buru membawa kertas itu menuju ruang kerja papanya.
“Kita harus apa sekarang? Hutang kita numpuk dan semua uang kita dibawa kabur.”
Langka Kerly terhenti mendengar suara tangis namanya yang sayup-sayup tertangkap indra pendengarannya, tangan Kerly yang semula hendak meraih knop pintu berhenti diudara, Kerly membatalkan niatnya untuk masuk dan memberikan kertas uang sop sekolahnya.
“Kita pasti bisa hadapi semua ini, Ma. Mama jangan takut.”
“Gimana mama gak takut, Pa. Ini masalah serius, kita bahkan gak punya sepeser pun uang buat memasukan kasus ini ke kantor polisi.” Mama terisak.
Tubuh Kerly rasanya seperti membeku. Ia mengenggam erat kertas yang berisi nominal angka yang harus segera dibayar.
“Papa akan lakuin apa pun, supaya kita bisa keluar dari masalah ini.” Papa mencoba menghibur hati mama. Terdengar suara tangis Mama lagi.
“Jangan sedih.” Papa membimbing mama ke dalam pelukannya.
Kerly menahan tangisnya untuk tidak pecah. Ada kesulitan yang orang tuanya hadapi dan ia tidak bisa apa-apa kecuali menangis dan menambah beban mereka.
Pintu terbuka tiba-tiba.
Kerly terperanjat kaget, namun sebaik mungkin ia berakting seolah baru saja berada di depan pintu itu dan tidak mendengar apa pun.
“Kerly sayang, ada apa? “tanya papa lembut.
Kerly gagap. Buru-buru ia menyembunyikan kertas di tangannya, beruntung mama dan papa belum melihat apa yang ada di tangan Kerly.
“H-hem, Kerly cuman mau ketemu mama sama papa. Kerly kangen kalian.”
Alis mama terangkat mendengar pernyataan anaknya barusan, Kerly bukan tipe orang yang akan mengatakan rindu secara blak-blakan seperti ini.
“Iyakah? Tapi ini beneran Kerly Adilah, putri mama kan? “ Kerly melihat senyum mama yang berusaha terukir seolah tidak ada yang terjadi. Seolah mereka selalu bahagia. Kerly salut pada kedua orang tuanya yang mampu menahan air matanya hanya karena tidak ingin ia juga merasa sedih.
Kerly mengangguk kaku. Ia tidak sehebat mereka untuk menyembunyikan air matanya. Kerly langsung memeluk keduanya.
“Kerly, sayang kalian,” ucap Kerly sebelum suaranya parau atau sumbang karena menahan tangis.
“Kita juga sayang sama kamu. Tetap bahagia ya, nak, mama dan papa akan selalu berusaha buat kamu bahagia.”
Kerly hanya mengangguk pelan, suaranya serak untuk keluar. Kerly buru-buru menghapus air matanya sebelum kedua mama dan papanya melepaskan peluknya.
“ Kalo gitu, Kerly balik ke kamar dulu , Ma, Pa.” Kerly segera berbalik, tidak membiarkan kedua orang tuanya melihat matanya yang memerah karena bendungan tangis ini.
“Ya Allah...” Kerly langsung menutup pintu kamarnya. “Ya Allah, apa ini? Kenapa di dalam proses ini ada banyak pilu dan duka yang datang? “
“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabut : 2 )
Kerly jatuh dalam tangisnya. Ia mengangkat tangan seraya memohon lirih pada sang Maha Kuasa, memohon pertolongan dalam menghadapi sesuatu yang Kerly yakini sudah Allah anggap Kerly dan kedua orang tuanya bisa hadapi.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (Al-Baqarah : 286)
Kerly menghapus air matanya, ia bangkit, menatap dirinya di depan cermin. “Jangan bersedih jika dunia diuji, yang penting Allah ada di sisi.”
“Ayo, Kerl, jangan cuman ngeluh ! Ayo bangkit!” Kerly berorasi untuk dirinya sendiri. Menatap lekat manual matanya di cermin. “Allah sudah titipan raga yang lengkap, terus apa lagi alasan buat ngeluh? Selama ini Allah sudah kasih banyak kenikmatan, gak malu mau ngeluh karena satu cobaan? Malu, Kerly. Malu ih... “
Kerly menarik nafas dan menguatkan dirinya berkali-kali. “Gue harus bantuin mama dan papa!”