“Akhirnya kamu pulang.” Mama menatap Sarah dengan tatapan tajam, seolah Sarah melakukan kesalahan.
“Ada apa Ma? “tanya Sarah bingung. Sebelum pergi ke rumah sakit untuk membesuk Kerly, Sarah sudah pamit pada mamanya sebelum ia pergi.
“Siap-siap, kita akan pergi.”
“Pergi ke mana, Ma? “
“Memperbaiki kamu. “
“Maksud Mama? “
“Kamu bukanlah kamu.”
“Maksud mama apa? “
“Jangan banyak tanya.” Mama Sarah tiba-tiba langsung menarik tangan Sarah.
“Ma, kita mau ke mana? “tanya Sarah bingung.
“Menyembuhkan kamu dari pengaruh buruk. Kamu harus membersihkan jiwa kamu. Kamu harus melakukan banyak ritual.”
“Maksud, Ma? Apa kita mau ke dukun, Ma? “
Serlly menganggukkan kecil. “Ini demi kebaikan kamu.”
“Sarah gak mau, Ma! “ Sarah menepis keras, tangannya dari lengan Serlly, mamanya.
“SARAH! “
“Ma, ke dukun itu syirik! Itu sama aja kita menduakan Allah SWT dan meminta pertolongan pada selain Allah, ini dosa besar, Ma, dosa yang gak akan diampuni Allah SWT. Sarah gak mau, Ma! “
“Sarah!” teriak Serlly murka. “Mama gak minta persetujuan kamu, mau atau gak mau kamu harus ikut keputusan, Mama! “
“Sarah gak mau, Ma! Apa pun yang terjadi Sarah gak mau! “ tegas Sarah.
Sarah berbalik hendak pergi dari sana, tapi tiba-tiba sesuatu menusuk punggung Sarah. Sarah menoleh, mamanya baru saja menusukan jarum suntik di punggung Sarah. Tubuh Sarah seketika terasa sangat lemas, tatapan matanya mulai kabur dan keseimbangan tubuhnya mulai hilang.
“Maafkan mama, Sar. Tapi ini semua demi kebaikan kamu. Mama tidak mau dogma-dogma itu menjadikanmu jauh seperti matahari yang membakar.”
Selly menangkap tubuh Sarah dan membawanya ke dalam mobil. “Benar apa yang orang itu katakan.”
Falsback:
“Bahwalah anak itu ke sini. Jangan lupa menyuntikan obat tidur ini. Orang seperti Sarah tidak akan mudah di bawa ke sini. Kamu harus menyunting ini pada Sarah.”
“Tapi kenapa harus disuntik? “Selly jelas tidak setuju. Ia takut hal itu berbahaya untuk Sarah.
“Tenang, ini tidak akan menyakitinya. Dia hanya akan tertidur selama perjalanan ke sini. Dan semua akan baik-baik saja. Sarah akan kembali seperti dulu lagi.”
“Maafkan mama. Tapi mama harus ngelakuin semua ini Sar. Mama tidak mau kehilangan kamu dalam hidup mama.” Selly meraih tali dan mengikatnya di tangan dan kaki Sarah.
.
.
Mata Sarah perlahan terbuka, kepalanya masih terasa nyeri. Satu menit berlalu Sarah baru menyadari bahwa ia sekarang berada di dalam mobil dengan posisi duduk. Kedua tangan dan kakinya diikat.
“Ma!” Sarah melihat Selly sedang mengemudikan mobil di sebelahnya.
“Kamu sadar? “ Selly sedikit terkejut, prediksi mereka Sarah akan sadar saat sudah sampai di tempat yang dukun itu katakan. Rupanya Sarah sudah bangun satu kilomater dari lokasi.
“Mama, mama mau bawa Sarah ke mana? Sarah gak mau ke dukun, Ma!!”
“Kenapa tangan dan kaki Sarah diikat?”
“Ma, lepasin tangan Sarah! “
“Ma, kenapa Mama kayak gini sih? “
“Ini demi kebaikan kamu! “
Sarah mencoba melepas tali yang terikat pada tangannya. Ia beruntung karena ternyata tali itu tidak terlalu kencang melilit tangannya.
“Ma, berhenti Ma!” Sarah mencoba mengambil alih kemudi mobil. “Ma, kita gak akan ke sana! “
“SARAH! “ Mama mencoba mempertahankan kemudi.
Terjadi tarik-menarik, berakibat mobil bergerak zig-zag di jalan raya. Beruntung jalan itu sepi pengendara.
“Sarah hentikan ini! “ teriak Selly.
“SARAH! “
Selly mendorong Sarah kembali ke bangkunya dan langsung membanting setir ke pinggir jalan. Selly murka karena Sarah tidak mendengar perkataan.
Sarah kaget. Jantungnya berdegub kencang, aksi mamanya tadi seolah mereka sedang berada di arena trek mobil.
“Sekali lagi kamu mencoba melawan mama, maka kita akan mati bersama.”
Sarah membisu.
**
“Amina, kita mau ke mana sih?” tanya Gita sejak satu jam tadi.
Amina tidak juga mengubris satu pun pertanyaan Gita. Ia terlalu fokus pada jalan di hadapannya.
“Setelah ini belok ke kanan,” kata Amina pada Ilham yang sekarang ada di belakang kemudi mobil roda empat itu.
Gita menghela nafas panjang, entah mereka mau ke mana, sampai-sampai Amina menyewa mobil rental. Sejauh mata memandang, hanya jalan aspal biasa. Tidak ada clue untuk Gita menebak sendiri.
“Itu mobilnya!” seru Amina tiba-tiba.
“Mobil siapa? “tanya Gita lagi.
“Kita harus ikuti mobil itu.” Lagi, Amina mengabaikan pertanyaan Gita.
Gita berdecak kesal.
“Apa yang terjadi, kenapa mobil itu kayak oleng? “ gumam Amina.
“Memangnya itu mobil siapa? “tanya Gita lagi, kali ini dia tidak berharap dijawab.
“Apa yang terjadi?” Amina cemas.” Ilham turuni kecepatan mobil kita, kita harus tetap di belakang mereka.”
“Mobilnya stop? “cicit Gita.
“Ilham kita harus semakin pelan, jangan sampai kita melewati mobil itu.”
“Baiklah.” Ilham menuruni kecepatan mobil.
“Kenapa mereka berhenti di situ? “gumam Amina.
“Sebenarnya ini jalan menuju ke mana, kenapa jalannya sepi banget, pada hal jalanannya mulus banget kayak jalan tol.”
“Di jalan ini banyak terjadi kecelakaan dan ada mitos yang beredar, orang banyak takut lewat jalan ini saat siang,” sahut Ilham.
“Mitos apa? “
“Mitos, kalo jalan ini minta tumbal.”
“Ck, klasik! Mana bisa jalan menentukan konsep kecelakaan.” Gita memilih menyenderkan punggungnya di kursi mobil.
“Kenapa mereka berhenti lama sekali.” Amina masih memandang lekat, mobil berwarna hitam itu.
“Kita hampir dekat. Apa sebaiknya kita berhenti atau melewati mereka? “ tanya ilham.
“Kalo berhenti kita bisa ketahuan.” Kata Gita menyela sebelum Amina.
Amina setuju, mereka memilih opsi kedua, melewati mobil itu.
“Mobilnya kembali jalan,” seru Gita.
“Tapi kita gak bisa belok di sini,” kata Ilham. “Kita harus jalan lagi ke sana buat bisa belok.”
Amina menghela nafas panjang, gusar.
**
“Zahr, Sarah kok belum datang sih ? Dia janji kemarin mau datang ke sini setelah pulang sekolah,” tanya Kerly. “Katanya mau bantu-bantu, gue pindahan.”
Keadaan Kerly sudah cukup membaik. Kerly sekarang sudah dipindahkan dari kamar single yang disi oleh dirinya sendiri, menjadi ruangan uni diisi sekitar lima orang dalam satu ruangan.
“Tuh, anak ke mana dah? “
Zahra menghentikan kegiatannya merapihkan barang-barang Kerly. “Iya, dia juga gak masuk sekolah tadi terus ponselnya juga gak aktif.”
“Tumben gak ada kabar? Gue jadi cemas.”
“Mungkin dia lagi ada urusan keluarga. Pergi ke luar kota misalnya.”
“Gak mungkin dia keluar kota tanpa persiapan, Lo tahu sendiri kan tuh anak mau pergi ke kajian aja persiapannya dua jam.”
Zahra setuju perkataan Kerly, tapi Zahra mengelak mungkin terjadi hal buruk pada Sarah. Zahra mencoba berpositif thinking meski ada perasaan tidak nyaman di hatinya.
“Hem, sepulang dari sini aku bakal mampir ke rumah Sarah deh. Biar bisa tahu dia kenapa gak sekolah.”
“Entar kabarin gue ya, chat atau telepon.” Setelah mengatakan kalimat itu Sarah terdiam, ia baru ingat kalo dirinya tidak punya ponsel lagi. Zahra tahu apa yang sedang Kerly pikirkan.
“Kemarin ulangan geografinya sulit gak?” Kerly mencoba mengubah topik pembicaraan. Ia tidak mau, selalu dalam atmosfer sedih. Tidak memiliki ponsel bukanlah hal menyedihkan bukan? Dulu saat kecil ia juga tidak punya ponsel, dan hidupnya bahagia aja. Kerly hanya perlu membiasakan diri saja.
“Alhamdulillah, gak terlalu sulit.”
“Bagi Lo gak sulit. Bagi gue pasti sulit.” Kerly terkekeh, membayangkan dirinya dan Sarah yang selalu cemas jika sudah menyangkut geografi.
“Kapan perkiraan kamu boleh pulang?”
“Hem, gak tahu. Gue mau pulang pada hal. Gue rindu kamar gue.”
Zahra tersenyum. “Udah gak papa. Mungkin bentar lagi kamu bakal dibolehin pulang. Anggap aja di sini lagi liburan.”
“Mana ada liburan di tempat bau obat gini. Ya ada liburan selamanya.” Sarah terkekeh.
“Sar, aku permisi keluar dulu ya. Mau ke toilet.”
“Iya. Gue juga mau tidur deh. Eh, btw mama sama papa kemarin bilang mau datang jam sedini. Entar kalo Lo ketemu mereka, tolong bilangi gue mau makan yang pedes. Gue gak mau makan bubur rumah sakit terus.”
“Iya.”
Saat hendak ke toilet, Zahra melihat kedua orang tua Kerly yang sedang membahas sesuatu di ujung lorong, raut wajah mereka terlihat seperti tengah membahas hal serius. Zahra jadi ragu untuk menghampiri keduanya untuk menyampaikan pesan Kerly.
“Papa gila, ya. Kenapa papa jual rumah kita?! Sekarang kita mau ke mana?”
“Ma, papa gak ada pilihan lain. Papa gak punya uang buat bayar uang rumah sakit Kerly. Cuman ini satu-satunya jalan yang bisa papa lakukan.” Papa Kerly menghembuskan nafas berat, seolah saluran pernapasannya sejak tadi tersumbat.
“Jadi, sekarang kita tinggal di mana, Pa?” lirih Mama Kerly. “Kita harus jelasin apa ke Kerly? Kita harus bilang apa ke dia?”
“Papa gak tahu,Ma. Papa bahkan gak ada uang buat kita makan sekarang.”
Zahra berbalik. Ia sulit berkata-kata atas informasi yang ia dapatkan secara tidak sengaja. Zahra segera pergi dari sana dan bergegas ke rumah makan yang kebetulan berada di seberang rumah sakit. Zahra tidak tega mengatakan pesan Kerly pada kedua orang tuanya yang bahkan tidak memiliki uang untuk mereka makan. Zahra juga membeli makanan untuk orang tua Kerly.