***
“Mau permen? “
“Kakak.. “
Senyum itu. Senyum yang selama ini Zahra rindukan. Senyum tulus dan hangat.
“Kakak, merindukan Zahra.”
“Zahra juga, Kak. Sudah lama kakak gak pulang. Sudah banyak yang terjadi. Umi dan abi...,” suara Zahra serak menahan tangis.
“Maaf karena Kakak belum bisa pulang.”
“Kenapa Kak? “ Zahra mendongkok, matanya sendu, menatap orang yang selama ini sangat ia rindukan.
“Karena, kakak harus menyelesaikan sesuatu....”
“Apa itu lebih penting dari persahabatan kita, Kak? “
“Iya, Zahr. Ini sangat penting.”
Bibir Zahra mengerucut, sedih. Matanya yang berkaca-kaca, sudah berubah menjadi tetesan air mata yang jatuh di pipinya.
“Begitukah, Kak? “tanya Zahra, getir.
Orang di hadapan Zahra mengangguk pelan. “ Kakak harus pergi. Maaf.”
“Kak....”
“Jaga diri kamu baik-baik. Insyallah, semua akan membaik. Jangan terlalu percaya apa yang terlihat dan jangan pungkiri apa yang tidak tampak. Jangan mudah terjebak, seperti dia.. jangan...”
“Apa maksud, Kak? “
“Dia... Dia terjebak.”
“Siapa yang terjebak? “
“Dia.”
“Siapa, Kak? “
“Dan kamu.”
“Astagfirullah.” Zahra mengedipkan matanya. Ia terbangun dari tidurnya.
“Ya Allah, sudah subuh,” gumam Zahra. Ia menoleh pada alarm di atas balas, yang rupanya sudah berbunyi dua menit yang lalu.
Zahra segera beranjak dari kasur. Sekelibat mimpi tadi mengiringi langkah Zahra menuju kamar mandi. Zahra tidak mengerti apa maksud dari mimpi itu. Ia hanya tahu bahwa ia merindukan Aminah. Sahabat sekaligus orang yang sudah Zahra anggap seperti kakaknya sendiri.
Selesai salat, Zahra langsung keluar kamar. Ia berniat membantu bulek membuat sarapan di dapur.
“Pak, apa bisa ditunda lagi? “ terdengar suara bulek. Rupanya Bulek sedang berbicara di telepon. Zahra tidak ingin mengganggu bulek. Ia akan langsung ke dapur.
“Entahlah, Pak. Saya rasa Zahra masih belum siap menjadi saksi.”
Zahra menoleh, mendengar namanya di sebut.
“Dia masih belum siap.. Saya mohon, bapak memberi waktu lagi, kasihan Zahra. Saya tidak terjadi hal buruk pada Zahra.”
Zahra termangu mendengar perkataan bulek. Betapa bulek sangat menyayanginya.
“Kejadian itu bukan hal kecil yang mudah dilupakan. Saya mohon. Penanggungnya, Pak. Selain itu saya juga akan minta komnas anak untuk pengajuan ini.”
Instuisi bulek terpanggil. Bulek menoleh, menyadari ada sepasang mata menatap kearahnya. Ada Zahra di sana. Untuk sesaat Bulek terdiam menatap Zahra yang berdiri tidak jauh darinya. Bagaimana bisa ia tidak menyadari kehadiran Zahra? Bulek merasa bersalah. Segera Bulek mengakhiri panggilan telepon.
Bulek langsung menghampiri Zahra dan memeluk Zahra. Zahra membalas pelukan bulek dan tersenyum. Zahra tahu bulek berusaha memberikannya kekuatan.
“Terima kasih, Bulek. Zahra beruntung memiliki keluarga seperti bulek dan Maryam. Itu sudah cukup buat Zahra.”
“Ada cosplay jadi Teletubbies ya? Kok aku gak di ajak sih? “ Maryam nguap tanpa dosa. “Ikut dong.”
Maryam membentangkan tangannya, lebar.
“Ihhh, dek... Ilernya, nempel!! “
“Itu hadiah dari pulau dream. Udah Kak, gak usah terharu gitu.” Maryam mengeratkan pelukannya.
“MARYAM.... “
***
“Kucing kecil, apa kamu lapar ? “
“Meow...” kucing berbulu putih itu mendengur pelan.
“Lucunya. Kamu gak takut sama saya?” Kelvin terkekeh. Biasanya jika ia menampikan dirinya sebagai vampire, makhluk berbulu ini akan lari ketakutan atau menggeram sangar.
“Meow...meow...meow....” kucing itu mengelilingi kaki Kelvin, mengelus dan mendengkur manja. Membuat Kelvin tersenyum geli. Hai! Dia vampire kenapa tidak ada seram-seramnya sedikit pun. Ah....Kelvin pikir tidak ada yang melihatnya di sana. Tidak ada Stefani yang akan memprotes kelakuannya itu.
“Owhh... saya akan ambil daging di toko kelontong itu. Tunggu di sini kucing lucu,” kata Kelvin, sebelum vampire itu berbalik dan menghilang.
Zahra melihat semua itu. Tanpa sadar Zahra sudah menjadi penonton ilegal di sana. Awalnya, Zahra hanya berniat jalan-jalan ke taman bersama Maryam. Mereka hendak menghabiskan waktu akhir pekan bersama. Taman cukup ramai, Maryam ingin membeli gula-gula. Dan sendari tadi Zahra sibuk mencari bangku kosong. Tapi ia tidak kunjung menemukannya, langkahnya malah membawanya ke sini, di belakang pohon ini. Zahra tidak tahu kalo jin juga suka ke taman. Ckck
“Aneh,” gumam Zahra tanpa sadar.
“Siapa Kak? “tanya Maryam, berbisik di telinga Zahra.
Bukannya terkejut, Zahra malah memicingkan mata. “Lama banget sih deh, beli gula-gulanya.”
“Iya, Kak. Ya udah mau pulang sekarangkah? “
“Eh—iya, harus pulang.”
“Eh, emang ada yang kakak tunggu di sini? “ Maryam menoleh ke kanan ke kiri. Tidak ada siapa pun. Apalagi cogan.
“Gak ada. Ya udah, yuk pulang.”
Maryam mengangkat bahu, segera menepis rasa kekinya saat Zahra menarik tangannya untuk menjauh dari tempat itu.
Sekilas Zahra menoleh. Ia melihat Kelvin kembali ketempatan tadi dan memberikan sepotong daging pada kucing itu.
Daging dari mana?—batin Zahra bertanya-tanya.
“....setuju gak, Kak? “
Zahra kaget lantaran Maryam menarik lengannya dari genggaman tangan Zahra.
“Eh, setuju ? “ bingung Zahra.
“Yang penting Kakak dah setuju. Aku bakal telepon Kak Sarah dan kak Kerly.”
“Eh, setuju apa sih? “
Maryam memicingkan matanya. “Lo gak dengarin gue dari tadi ngomong ya, Kak? “sengit Maryam.
“Ehm.. dikit.”
“Ya udah. Berarti dah dengar.” Putus Maryam, sepihak. Sepertinya stok kesal Maryam banyak hari ini. Zahra memilih mencari aman dengan tidak bertanya lagi.
.
.
“Kak, kata Kak Kerly mereka bakal datang pukul lima sore. Kita perginya habis magrib kan? Mereka masih shopping beli baju buat ke sana entar.” Maryam sibuk menatap layar ponselnya.
Zahra mengusap wajahnya dengan handuk. Zahra baru saja mencuci muka, setelah pulang dari taman agar terasa segar untuk tidur siang.
“Ih, Kakak mah. Itu loh, mau ke pondok kak Ilham.”
“Ha? Ngapain? “ Zahra menatap tajam Maryam. Maryam memutar bola matanya.
“Iss, jangan soudzon. Kakak, lupa ya.. Katanya mau ikut belajar di sana.” Maryam tidak terima merasa dituduh macam-macam melalui tatapan mata Zahra.
Zahra langsung mengubah wajah tegangnya menjadi wajah ramah dan manis. “Oh iya, lupa.”
“Ck.” Maryam berdecak. “Banyak-banyak makan kacang almond biar gak pelupa. Nyebelin deh. Biar kata gue suka ramah sama cowok, bukan berarti gue suka godain cowok. Ckck... Liat cowok aja gak berani, fyi kak, gue mah keliatannya aja kek berani. Aslinya mah putri malu. Seorang Maryam di dekat kakaknya aja jadi somplak. Kalo di depan orang mah, anggun kayak putri raja. Lo aja gak tahu.”
Maryam beringsut hendak pergi, Zahra langsung menahan lengan Maryam.
“Adikku, kesayangaku, bulan purnamaku, jangan marah dong. Maaf ya karena sudah nuduh macam-macam.
“Maaf ditolak.” Maryam melirik Zahra. Zahra sudah bersiap membuka mulutnya untuk mengeluarkan semua dalil bahwa kita tidak boleh keras hati dengan tidak memaafkan kesalahan orang. Allah saja pemaaf, lalu siapa kita yang tidak memiliki rasa maaf untuk sesama? Sombong sekali.
“Kata sandinya salah,” sambung Maryam, sebelum Zahra berhasil mengeluarkan suaranya. Wajah Zahra langsung berbinar, ia tersenyum lebar.
“Biar somplak, biar aneh, biar agak kurang dua ons, ula-ula tangga. Maafin kakak ya? “
“Oke,” jawab Maryam. Nada suaranya langsung berubah ceria. “Kak, gue pinjam baju gamis Lo ya dibeliin Mama minggu kemarin ya.....”
“Hem... gak akan.”
Mata Maryam membulat sempurna.
“Maksudnya gak akan nolak.”
“Bisa ae nih, ula-ula tangga.” Maryam tersenyum lebar, tanganya dengan centil mencolek dagu Zahra.
“Apaan sih dek. Udah sana, ambil sendiri bajunya di lemari.” Zahra langsung menepis tangan Maryam. Maryam meringgis sekilas.
“Kak, luka di tangan kakak udah kering belum sih?”
“Belum.”
“Kata dokter waktu itu apa? “
“Cuman luka biasa.”
“Dikasih saleb? “
“Iya.”
“Gue malu ih, liat, tangan gue gak kering-kering. Gue yakin sih. Ini bukan luka biasa. Terus yang gue liat waktu itu bukan mimpi tapi asli. Itu jurik alias hantu yang kurang kerjaan. Gak jelas banget! Fiks!”
“Dia bukan hantu tapi jin.”
***