“Halo, Sya? Tadi aku udah cek ke tempat yang kamu bilang buat resepsi outdoor kit aitu.”
Arsya yang sedang mengetik laporan di komputernya sontak menghentikan gerakan jemarinya diatas keyboard begitu mendengarkan ucapan Daisy.
Ia langsung mengernyitkan alisnya. “Kamu datang kesana sendiri?”
“Iya, yang di Bekasi.”
“Dai,” Arsya langsung melepaskan kacamata yang hanya ia gunakan saat bekerja dan kemudian memijat pangkal hidungnya. “Aku kan udah bilang, kesana sama aku. Kenapa harus kesana duluan, sih?”
“Kamu kan sibuk, Sya.”
“Iya, tapi nggak sekarang, Dai. Jangan semuanya apa-apa kamu kerjain sendiri. Nanti kamu yang stress, terus berimbas marah-marah ke aku lagi kayak biasanya.” Mungkin bagi Arsya, ia hanya menasehati Daisy. Tapi bagi Daisy, ia malah merasa Arsya kesal dan tidak suka oleh apa yang dia lakukan.
“Jadi selama ini kamu merasa aku menyebalkan karena selalu marah-marah terus sama kamu? Oke, sori kalau gitu.”
Arsya langsung memejamkan matanya sembari menekan bibirnya menjadi segaris. Sial, ia salah bicara lagi.
“Nggak gitu maksud aku, Dai.”
“Maaf sudah ganggu waktu kerja kamu.”
“Dai, enggak gitu. Aku—”
Tuttt…. Suara panggilan yang lagi-lagi dimatikan secara sepihak membuat Arsya sampai menaikkan ponselnya keatas, hendak melemparnya saking kesalnya. Sampai kemudian pintu ruang kerjanya tiba-tiba diketuk dan rekan kerja sekaligus sahabatnya yang bernama Endro hanya mengangkat kedua alisnya karena heran.
“Yok, makan siang, Sya.” Ajak Endro sambil membuka pintu ruang kerjanya lebih lebar.
“Oke.” Arsya menghela napas sembari mengusap-usap dadanya. Sabar, ia harus sabar menjalani hari penuh persiapan pernikahan bersama Daisy yang mood-nya kini cepat berubah-ubah.
Ketika menunggu lift di hadapan mereka terbuka, Endro akhirnya bertanya, “tumben nggak bawa bekal dari Daisy lagi.”
“Kenapa?” Tanya Arsya sewot sambil masuk kedalam lift dan menekan tombol lantai tiga. “Makan di cafetaria aja ya, Ro.”
Endro mengangguk, dia biasa makan dimana saja. “Gue kangen sama masakan-masakan Dai yang sering lo kasih cicip ke anak-anak. Sekarang dia nggak pernah buatin lagi?”
“Hm,” Arsya bergumam sembari memasukkan tangannya ke saku celana. “Nggak ada waktu lagi dia untuk buatin bekal. Udah sibuk ngurus pernikahan sendiri.”
Endro sontak terkekeh sembari menepuk-nepuk punggung Arsya. “Jangan kesel gitu dong, ah.”
“Ya gimana nggak kesel? Tiap hari adaaa aja masalahnya. Tiap hari marah mulu loh si Dai.” Lift kemudian berdenting dan Endro serta Arsya keluar dari lift bersama.
Begitu mereka keluar, banyak karyawan yang menyapa dua petinggi perusahaan itu dengan sopan, namun juga santai. Karena perusahaan berbasis online shopping ini masih tergolong baru, banyak anak-anak fresh graduate yang bekerja disini dan peraturan kerja di perusahaan ini terbilang santai agar para karyawannya tidak begitu stress.
“Oi, sini!” Dany yang merupakan direktur HRD di perusahaan mereka mengangkat tangannya, mengajak Endro dan Arsya bergabung.
Arsya dan Endro kemudian menduduki meja itu, bersama dengan Luna yang merupakan manager pemasaran sosial media. Mereka berempat termasuk orang-orang yang menduduki posisi penting di perusahaan dan sudah berteman cukup akrab karena sudah merasakan manis-pahitnya bekerja di perusahaan start up ini bersama-sama.
“Kuyu amat dah wajah lo!” Goda Dany sambil menunjuk-nunjuk wajah kuyu Arsya dengan pisau untuk memotong steak-nya.
Sedangkan Endro tiba-tiba sudah berdiri dan memilih hendak memesan makanan dari restoran yang mana. “Lo mau makan apa, Sya?”
“Terserah.”
Endro hanya mengedikkan bahu, kemudian menuju ke restoran yang menjual soto Betawi. Sedangkan kini Arsya ditinggal oleh duo cerewet Luna dan Dany.
“Habis berantem lagi sama Daisy?” Tanya Luna sambil memakan ice creamnya.
Arsya hanya bergumam sambil menatap kearah lain. Ketiga temannya itu sudah jelas mengenal Daisy, karena Arsya kerap beberapa kali mengajak Daisy hangout bersama ketiga temannya ini.
“Yah, berantem mulu. Kalau berantem gini kan gue nggak bisa nyobain masakannya Dai lagi.” Eluh Luna dan kemudian mendapatkan dorongan pelan di kepalanya dari Dany.
“Makanan mulu yang lo pikirin.” Sahut Dany. Lalu bibir kepo-nya mulai menjalankan aksi. “Daisy kenapa lagi? Masalah persiapan pernikahan lo? Atau Daisy yang matiin teleponnya lagi secara sepihak?”
“Ya gitu lah, pokoknya.” Arsya berdecak malas. Dirinya benar-benar dibuat stress oleh tingkah laku Daisy. Arsya kemudian berdiri dari duduknya. “Gue ke pantry dulu. Mau buat kopi.”
“Sya, gue sekalian ambilin cokelat!” Luna berteriak, membuat seisi cafetaria hampir menatapnya aneh dan Dany hanya meliriknya sinis, padahal Luna barusaja menghabiskan ice cream cokelatnya.
“Lo makan manis-manis mulu tapi kok nggak gendut?” Tanya Dany dengan heran.
“Makannya rajin workout kaya gue!” Jawab Luna sambil dengan bangga memegang pinggangnya yang kecil.
Sedangkan Arsya dengan wajah kesalnya melangkah terseok ke pantry. Begitu membuka pintu pantry, langkah Arsya langsung terhenti saat melihat seorang wanita dengan rambut yang di cat secara keseluruhan berwarna pink ash. Bukannya terlihat norak, tapi rambut itu malah terlihat indah dan lucu.
Menyadari ada orang yang tak kunjung masuk, wanita dengan rambut pink ash yang bagian bawahnya di curly itu langsung menoleh. Arsya seolah terpaku, melihat seorang wanita yang penampilannya seperti barbie. Karena dengan rambut warna-warni, wajah cantik dengan make-up flawless di kulit mulusnya yang putih dan bersih, membuatnya makin cantik.
Namun Arsya berusaha tidak terlalu menunjukkan kekagumannya yang sesaat itu. Ia berdeham dan berjalan mendekati wanita itu, berdiri sejajar di meja pantry. Tanpa kata-kata, Arsya mengambil gelas untuknya dan mulai menyalakan mesin espresso, tapi mesin itu tidak kunjung menyala.
“Ini kenapa deh?” Arsya bahkan sampai mengetuk-ngetuk mesin itu.
“Belum di colokin mungkin, Pak.” Suara wanita barbie itu akhirnya terdengar, membuat Arsya menoleh sejenak menatap wajah cantiknya dan kemudian mengalihkan tatapannya lagi ke stop kontak.
“Udah nyambung kok kabelnya. Tapi kok masih nggak bisa nyala, ya?” Arsya mendesah malas, lalu berdecak. Ia hanya menatap sengit ke mesin espresso itu.
Sampai kemudian wanita yang berwajah secantik barbie itu melangkah ke kulkas yang ada di pantry. Kulkas perusahaan memang lengkap dengan berbagai camilannya. Lalu wanita itu mengambil satu cup ice cream vanilla.
Arsya hanya diam, memperhatikan wanita itu memindahkan ice cream vanilla tadi ke sebuah gelas kaca berukuran sedang. Ia lalu mengambil espresso cup dan membukanya, lalu menuangkan cairannya keatas ice cream vanilla itu.
“Affogato ala-ala, buat bapak.” Wanita itu menggeser gelasnya kehadapan Arsya. “Daripada nggak jadi minum kopi. Sama biar bikin adem.”
Arsya tertawa kecil ketika menerimanya. “Saya cobain ya? Kalau nggak enak?”
“Nanti saya traktir bapak affogato beneran.” Sahutnya.
Arsya hanya tersenyum geli. Kemudian menyendokkan affogato itu ke mulutnya. Membiarkan rasa manis dan dingin ice cream bersama cairan kopi yang sedikit pahit itu melebut di dalam mulutnya.
“Hmm… not bad lah.” Komentar Arsya, lalu menyendokkan affogato itu lagi.
Wanita itu lagi-lagi tertawa, terlihat senang karena Arsya sepertinya menikmati affogato buatannya. “Dikasih nilai berapa?”
“Delapan dari seratus.” Jawab Arsya sembari melirik wanita itu sambil tersenyum senang.
“Wah, syukur deh. Nggak usah traktir affogato beneran berarti ya?”
Arsya balas tertawa. “Enggak usah.” Ia lalu menatap wanita itu lagi. “Divisi pemasaran ya? Anaknya Luna?” Maksud Arsya adalah anak-anak dibawah pimpinan Luna.
Wanita itu terlihat terkejut sesaat. “Kok bapak tahu?” Ia lalu menunduk. “Padahal saya lagi nggak pake id card.”
“Biasa, anak-anaknya Luna di divisi pemasaran kan tampilannya nge-jreng semua. Beda sendiri.” Kata Arsya dan wanita dihadapannya hanya tersenyum salah tingkah. “Tapi rambut kamu bagus.”
“Keren nggak, Pak?” Tanya-nya semangat, membuat Arsya sedikit kaget karena sikap wanita ini yang begitu penuh energi.
“Keren.” Puji Arsya lagi akhirnya. “Pemasaran di bidang apa kamu?”
“Di bidang sosial media, Pak.” Jawabnya.
“Oohh,” Arsya hanya mengangguk-angguk sambil menikmati affogato-nya. “Yaudah, saya duluan, ya. Makasih buat affogato ala-alanya.”
“Haha, iya sama-sama.” Bahkan ketika Arsya hendak keluar, wanita itu masih tersenyum sumringah.
Senyum yang entah kenapa bisa menular, seolah wanita dengan rambut pink ash tadi menularkan energi positif dan dapat membuat orang lain ikut senang sepertinya. Dan begitu kembali ke meja bersama tiga teman dekatnya, mereka semua menatap Arsya yang kini sudah menikmati affogato-nya dengan penuh senyuman.
“Cokelat gue mana?!” Tagih Luna yang langsung membuat Arsya tersentak.
“Oh iya, gue lupa, Lun!”
“Ih!” Luna memberengut marah. “Itu lo yakin ada affogato di pantry?”
“Kalau ada gue maul ah.” Dany ikut mengomentari.
Sedangkan Endro hanya mendorong soto Betawi yang tadi ia pesankan untuk Arsya. Arsya sontak menyengir. “Makasih, Ro.”
Luna masih memberengut heran sambil menatap kearah pantry. Sampai kemudian ia melihat seorang wanita berambut pink ash yang baru saja keluar dari pantry.
“Anak lo kan itu, Lun?” Tanya Arsya. “Dia yang buatin gue affogato.”
Luna langsung menatap affogato milik Arsya, kemudian menatap Arsya. “Namanya Zola, anak pemasaran sosial media. Dia sih yang megang akun i********: utama perusahaan.”
“Wah, hebat juga ya.” Arsya terlihat kagum.
“Iya, anaknya pintar bergaul juga. Asli, asik banget tuh anak. Baik juga, suka ngirimin kopi gratis pagi-pagi ke meja divisi pemasaran.” Cerita Luna.
Dany kemudian dengan sengaja menguap. “Kok direktur HRD nggak pernah dapat kopi gratis ya pagi-pagi?”
Luna sontak mencibir. “Dih, katanya bergelimang harta, tapi kok minta gratisan.”
Seisi meja langsung tertawa, tak terkecuali dengan Arsya yang juga tertawa. Tatapan Arsya kemudian menyisir seisi cafetaria dan lagi-lagi tatapannya terhenti pada seorang wanita cantik berambut pink ash yang langsung melambaikan tangan kearahnya secara ramah. Arsya hanya tersenyum geli, kemudian menganggukkan kepalanya dengan sopan.
Zola, wanita itu memberikan kesan menyenangkan yang membekas ketika pertemuan pertama mereka.
Sedangkan Zola masih tersenyum senang ketika Arsya kembali menikmati affogato buatannya sambil berbincang bersama tiga pemimpin muda perusahaan. Sampai kemudian Risa yang merupakan rekannya menyenggol bahu Zola.
“Ngelihatin Pak Arsya nggak usah kaya gitu juga kaliii.” Godanya.
“Apaansih? Mana ada ngelihatin?” Zola seolah mengelak.
Padahal daritadi Risa juga sudah menyadari mereka sempat bertukar tatap dan salam dari kejauhan. “Yah, memang Pak Arsya ganteng banget sih. Tapi cukup mengagumi dari jauh aja kita.”
“Emang kenapa?” Tanya Zola.
“Pak Arsya sudah punya tunangan. Sebentar lagi kan mau married.” Jawaban Risa sontak menghilangkan senyuman di wajah Zola begitu mendengarnya.
Akan lebih membahagiakan bagi Zola, jika Arsya sama lajangnya seperti dirinya.