Selama di dalam mobil, Arsya memang tidak pernah tahan dengan kondisi mobil yang hening. Ia selalu menyalakan musik untuk menemani dirinya dan karena lagu di dalam mobil juga dapat mencairkan suasanana. Seperti saat ini, lagu baru terputar dengan petikan gitar yang lembut. Zola yang hanya duduk tenang sambil melihat jalanan, wajahnya mulai berekspresi ketika mendengar lagu ini.
Awalnya Arsya hanya bersenandung pelan mengikuti lagu, sampai kemudian dia tak tahan lagi dan mulai sedikit bersenandung lebih keras.
“But will you still love me when nobody wants me around?” Arsya mulai menyanyikan lagu dari Rex Orang County yang berjudul Happiness.
Dan ia sedikit terkejut ketika Zola melanjutkan lirik dengan suaranya yang merdu. “When I turn eighty one and forget things will you sill be proud?”
Arsya dan Zola kemudian saling lirik dan tertawa kecil. Tanpa mereka sangka, mereka mulai menyanyi bersama di dalam mobil. Walaupun di kantor mereka adalah seorang yang dipisahkan antara jabatan atasan dan bawahan, namun ketika di dalam mobil seperti ini seolah tidak ada Batasan diantara mereka. Mengalir dengan santai begitu saja.
Zola benar-benar pribadi yang menyenangkan, membuat Arsya terasa langsung menyambung dengan Zola. Hingga kemudian nyanyian mereka berdua diakhiri dengan tawa bersama sebelum lagu terganti ke lagu berikutnya.
“Wah, Zola… saya nggak nyangka kalau kamu pinter nyanyi.” Ucap Arsya kagum.
Zola sontak tertawa anggun. “Maksud Pak Arsya, suara saya bagus?”
“Haha, iya!”
Zola mengulum senyum sembari menarik helaian rambutnya kebelakang telinga, sehingga Arsya dapat melihat wajah cantik nan mulus Zola dari samping dengan lebih jelas. Bahkan di malam haripun make-up Zola masih terlihat bagus, bajunya masih rapi walau rambutnya dikuncir kuda dan sedikit berantakan karena masalah mobil mogok tadi yang membuat Zola frustasi.
“Tau Rex Orange County juga?” Tanya Arsya, hitung-hitung memulai obrolan dengan Zola.
“Pertanyaan bapak aneh, siapa yang enggak kenal Rex Orange County? He’s amazing!” Jawab Zola dengan semangat.
Tapi Arsya malah mendengus geli. “Tunangan saya nggak tahu.”
“Wah, really?”
“Iya, dia memang sukanya lagu-lagu Korea sih.” Kata Arsya meyakinkan. “Jadi kalau lagi di mobil berdua gini sama saya, saya lebih banyak denger lagu Korea.”
Zola sontak tertawa. “Berarti nanti waktu perusahaan kita ngundang girlband dari Korea itu, tunangan Pak Arsya bakalan dateng dong?”
Arsya sontak melirik Zola sambil tersenyum, kemudian mengangguk semangat. “Rencananya sih saya mau kasih surprise buat dia. Mau saya pertemuin dia sama idol group itu.”
Zola tidak bisa menahan senyumnya. Ia kagum dengan Arsya yang begitu romantis dengan tunangannya.
“Pak Arsya romantis banget ya orangnya.” Puji Zola.
“Romantis gimana?” Arsya sontak tertawa kecil. “Biasa aja perasaan.”
“Ya, sampai nyiapin surprise gitu buat tunangan bapak. Kemarin di instastory juga saya lihat loh update-an Pak Arsya sama tunangannya lagi liburan.”
Arsya tertawa lagi, membuat Zola makin senang melihat tawa Arsya dan senyum indah memikat itu.
“Kamu terkesan sama hal kaya gitu?” Tanya Arsya.
“Iya dong.” Tapi kemudian Zola tersenyum malu-malu. “Maklum, sudah kelamaan single.”
“Daisy—tunangan saya, malah jarang terkesan sama hal romantis-romantis kaya gitu.” Lalu Arsya terkekeh sendiri mengingat Daisy. “Maklum, kita udah jalin hubungan lama, jadi udah nggak ada yang romantis bagi dia.”
“Masa sih?” Zola terlihat ragu.
“Iya, Daisy nggak suka dikasih bunga terus.” Arsya kembali mencuri pandang pada wajah cantik Zola sambil menyetir. “Kata dia, rasanya kayak kuburan dikasih bunga terus. Emang suka ngawur tuh anak kalau ngomong. Dan Daisy, benar-benar nggak suka dinyanyiin sama cowok.”
“Astaga, hal yang nggak disukai tunangan bapak, itu termasuk hal romantis yang saya suka.” Zola jadi tambah iri dengan Daisy. “Kalau saya yang dikasih bunga terus sama dinyanyiin lagu sama cowok, saya bakalan terus tambah jatuh cinta sama cowok itu.”
“Yaudah, nanti saya kasih kamu bunga, ya?” goda Arsya yang membuat pipi Zola jadi merona malam-malam.
Arsya tidak tahu saja jika godaan-godaan kecil darinya berdampak besar bagi hati Zola yang terasa meletup-letup jika digoda seperti itu. Hingga kemudian obrolan mereka terus berlanjut sampai mobil Arsya berhenti di depan rumah Zola. Rumah yang termasuk minimalis dengan design modern.
“Kamu tinggal sama orangtua?” Tanya Arsya ketika Zola sedang melepas seatbelt-nya.
“Orangtua tinggal di Padang, saya dibeliin rumah sama Ayah karena dari kuliah sampai kerja kan di Jakarta. Daripada sewa apartemen terus, jadi sekalian dibeliin rumah.” Jelas Zola.
Arsya hanya mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum. Sampai kemudian Zola mengeluarkan cookies yang sudah dibungkus dengan bungkusan kertas yang lucu.
“Buat Pak Arsya.” Kata Zola sambil menyodorkannya. “Ini cookies buatan saya loh, tadi bagi-bagi sama anak-anak kantor dan ini ada sisa hehe.”
Arsya terdiam sambil menerima cookies itu. Dalam benaknya sempat berpikir bahwa ucapan Luna benar juga, kalau Zola begitu baik dan suka memberi dengan anak-anak kantor.
“Makasih, untung saya baik sama kamu hari ini. Jadi dapat cookiesnya.” Ucapnya dan kemudian menambahi. “Kenapa nggak dikasih tadi pagi aja? Sekalian waktu kamu ngasih saya kopi, kan cocok itu.”
Dan lagi-lagi Zola dibuat tersipu karena Arsya mengingatkannya dengan apa yang sudah Zola beri padanya tadi pagi.
“Saya awalnya nggak percaya diri ngasih cookies buatan saya ke Pak Arsya, karena takut nggak enak. Tapi teman-teman kantor ternyata bilang enak, malah pada nagih.”
“Masa sih?” Bahkan Arsya langsung membuka bungkusan itu. “Saya cicipin sekarang deh, boleh nggak?”
Zola sontak tertawa dan mengangguk, kemudian Arsya memakannya. Ia merasakan cookies yang renyah di luar dan terasa lembut di dalam. Cokelat yang tidak terlalu manis begitu terasa lumer dalam cecapannya dan Arsya juga merasakan rasa gurih pada cookies itu.
“Enak?” Tanya Zola.
“Enak banget!” Respon Arsya yang membuat senyum Zola makin lebar. “Wah, saya bisa ketagihan ini.”
“Kalau bapak mau, di rumah masih ada. Tinggal tunggu sebentar, saya hangatkan di microwave biar cokelatnya makin lumer.” Tawar Daisy. “Saya juga buat rasa red velvet sih di rumah. Enak juga cookies hangat sama s**u hangat. Mau?”
“Mau.” Arsya bahkan langsung menyetujui.
Dan kemudian ia ikut turun, tidak menyangka akan mampir di rumah Zola. Ia lalu memasuki rumah Zola dan melihat rumahnya yang rapi begitu seluruh lampu dinyalakan. Tak berbeda jauh dengan Daisy yang rapi, Zola juga sama rapinya.
Bahkan rasa lelah selepas pulang kantor terasa lenyap begitu saja di tubuh Zola. Hatinya membuncah senang, tak menyangka jika atasan yang ia kagumi akan bertamu di rumahnya.
“Pak Arsya kalau capek tunggu di ruang tamu aja. Saya siapin cookies sama minumannya dulu, ya?”
“Mau saya temenin di dapur?” Tawar Arsya dan seketika ia berdeham. “Maksudnya, mungkin aja kamu kesepian.”
Zola sontak tertawa. “Saya udah biasa sih sendiri. Tapi kalau Pak Arsya mau nemenin nggakpapa.”
Arsya hanya bisa tersenyum, mengikuti langkah Zola ke dapur dan Arsya kemudian duduk di kursi kitchen isle selagi Zola menyiapkan cookies dan membuat s**u hangat untuk Arsya.
Namun kemudian ponsel Arsya berdenting, ada satu notifikasi pesan dari Daisy.
Daisy: kok nggak sampai2 sya?
Arsya langsung memejamkan matanya sejenak dan merutuk di dalam hati. Sial, ia sampai lupa kalau harus ke kantor Daisy.
Arsya: maaf Dai, aku ini nganter temen yang mobilnya mogok. Aku antar ke rumahnya.
Arsya: aku telat jemput nggakpapa, kan?
Daisy: iya gapapa
Daisy: aku juga belum selesai
Arsya sontak menghela napas lega ketika tahu kalau lembur Daisy belum selesai. Ia kemudian meletakkan ponselnya bersamaan dengan Zola yang meletakkan sepiring cookies dan juga s**u hangat ke hadapan Arsya.
“Tunangan Pak Arsya, ya?” Tebak Zola karena ia sudah melihat ekspresi cemas Arsya tadi saat membalas pesan dari Daisy.
“Hehe, iya.” Lalu Arsya menatap cookies dan s**u hangat itu. Bahkan aroma cookies buatan Zola yang baru saja keluar dari oven begitu nikmat. “Makasih loh buat hidangannya.”
“Saya yang harusnya berterimakasih, Pak. Karena bantuin saya hari ini, Pak Arsya jadi terlambat kan jemput tunangannya.”
“Enggak, dia juga belum selesai lembur.” Jawab Arsya sambil menikmati cookies buatan Zola. “Kapan-kapan… boleh nggak saya dibuatin cookies lagi?”
Zola bahkan sampai terkejut mendengar itu. Lalu Arsya segera menambahkan. “Soalnya enak banget, saya ketagihan sama bikinan kamu nih kayaknya.”
“Iya, nanti saya bawakan lagi khusus buat Pak Arsya.” Zola kemudian tersenyum lembut sambil menatap Arsya. “Kalau Pak Arsya mau di masakin yang lain, saya juga bisa. Saya jago masak loh.”
Arsya balas menatap Zola sambil tersenyum hangat. Ia merasakan sesuatu yang ia rindukan dalam sebuah hubungan kembali muncul. Arsya merindukan sebuah perhatian dan Zola mulai memberikannya.
***
Tidak seperti lembur biasanya, kali ini pada saat Daisy lembur, Arsya tidak mengunjungi tempat kerjanya untuk menemani waktu lembur Daisy maupun menghabiskan waktu dengan makan malam bersama. Malam ini, Arsya hanya menjemput Daisy di depan lobi kantor dan Daisy tidak keberatan dengan itu. Mungkin Arsya juga sudah lelah.
Daisy kemudian membuka pintu mobil Arsya dan tersenyum cerah ketika menemui tunangannya itu. Namun begitu duduk di kursi mobil, dahi Daisy langsung mengernyit.
“Temen kamu ganti setelan tempat dudukku, ya?” Tanya Daisy.
“Emang iya?” Arsya langsung mendekati Daisy dan menyentuh kursinya. “Oh iya. Hehe, maaf, ya?”
Lagi-lagi Arsya mengatakan maaf karena masalah sepele. Namun Daisy terlihat memaklumi.
“Nggak apa-apa.” Daisy kemudian membenarkan setelan kursinya dan Arsya mulai menjalankan mobilnya.
“Pakai seatbelt-nya, Dai.” Kata Arsya mengingatkan.
“Iya.” Daisy kemudian menyampingkan tubuhnya untuk menarik seatbelt, namun gerakannya terhenti ketika ia melihat sebuah benda yang asing di bagian tempat penyimpanan barang yang menempel dengan pintu samping mobil Range Rover milik Arsya.
Daisy lalu mengambil sebuah cermin kecil berbentuk bundar dengan design luar bertabur gliter biru muda. Cermin wanita, membuat Daisy langsung mengernyit heran.
“Ini cermin siapa, Sya? Bukan cerminku loh ini.”
Arsya langsung menoleh cepat dan terkejut melihat sebuah cermin di genggaman Daisy. Arsya ingat tadi selama mengobrol dengan Zola di dalam mobil, Zola sempat bercermin dan memegang cermin itu terus.
“Kamu nemu dimana?” Tanya Arsya mengulur pertanyaan agar dia bisa memikirkan jawabannya.
“Disini.” Daisy melirik bagian bawah pintu mobil.
“O-oh, mungkin itu cerminnya Luna.”
“Cerminnya Luna?”
“Iya, Dai. Tadi aku, Endro, Dany sama Luna makan siang di luar. Luna duduk di samping aku.” Jelas Arsya berdusta.
Daisy terdiam sesaat dan menghela napasnya, mengembalikan cermin itu ke tempat semula. “Oh gitu. Terus tadi siapa temen kamu yang mobilnya mogok?”
Arsya terdiam lagi untuk sesaat, berpikir mencari jawaban dengan cepat karena ia tidak ingin Daisy tahu bahwa ia mengantar seorang teman wanita malam ini sampai telat menjemput Daisy di kantor.
“Namanya Joan, anak pemasaran.” Dusta Arsya lagi.
“Joan? Aku nggak pernah dengar.”
Arsya langsung menggenggam tangan Daisy yang berada diatas paha wanita itu. “Temanku di kantor banyak, Dai. Bisa berbusa mulutku kalau ceritain semua temanku sama kamu.”
Daisy bahkan tertawa karena ucapan Arsya. Ia merasa terlalu konyol karena menaruh banyak kecurigaan malam ini pada Arsya. Arsya lelaki yang setia, tidak mungkin macam-macam. Mereka berdua akhirnya saling bercerita tentang aktivitas masing-masing hari ini seperti biasa, walaupun akhirnya pembahasan mereka sampai ke pernikahan.
“Ayah sama Ibu setuju sama venue yang di Bogor. Apa kita fix aja pakai venue itu buat pernikahan kita?” Daisy meminta persetujuan.
“Boleh, orangtuaku juga setuju aja, Dai. Aku juga suka tempatnya, adem.”
“Tinggal soal kuenya. Kamu mau yang gimana?” Tanya Daisy.
“Hmm, yang gede!” Jawab Arsya semangat. “Biar mewah.”
Tapi Daisy malah terlihat tidak terlalu setuju. “Aku maunya yang sederhana aja, Sya.”
“Yang kaya gimana emang?” Mobil Arsya kemudian berhenti di depan rumah Daisy.
“Bentar-bentar, aku kasih contohnya ke kamu.”
Daisy sudah menunduk untuk membuka ponselnya dan mencari contoh gambar kue yang ia inginkan untuk diperlihatkan ke Arsya sekarang. Namun Arsya segera menurunkan ponsel Daisy hingga menjauh dari pandangan Daisy.
“Dai, sudah terlalu malam.” Arsya kemudian melepaskan seatbelt untuk Daisy. Ia mensejajarkan duduknya dengan Daisy, menatap wajah wanitanya itu dengan hangat dan menempelkan kedua telapak tangannya di pipi Daisy. “Lihat, wajahmu udah capek banget.”
“Tapi kita harus bahas ini, Sya.”
“Nggak untuk malam ini, Dai.” Arsya bersikeras. “Kamu capek, aku juga capek. Nggak akan ada penyelesaian dan kita malah bisa stress sendiri cuma gara-gara kue pernikahan.”
Arsya kemudian mengusap puncak kepala Daisy dengan penuh kasih sayang. “Istirahat dulu malam ini.”
Daisy hanya mengerjapkan matanya, balas menatap Arsya dan kemudian menyelipkan lengannya ke pinggang Arsya, memeluk tubuh Arsya.
“Energy charge.” Gumam Daisy.
Arsya tersenyum senang dan balas memeluk Daisy dengan erat. “Energy charge.”
Mereka biasa melakukan hal ini dari dulu. Saling memeluk jika merasa lelah. Rasanya magis, karena setelah saling memeluk dengan tenang, rasa lelah di tubuh mereka seolah berkurang dan suasana hati keduanya langsung membaik.
“Aku sayang kamu, Sya.”
“Aku juga.”
Daisy lalu menyurukkan hidungnya di tengkuk Arsya dan mengecup ringan tengkuk Arsya. Namun hal ini membuat Arsya menghela napas berat.
“Dai, jangan mulai—”
“Kenapa sih?” Daisy kembali mengecup tengkuk Arsya, kemudian menggigit menggoda, menjilatnya dan menghisapnya pelan.
Arsya jelas menahan diri dan berusaha tidak menelusupkan tangannya ke blouse Daisy untuk meremas p******a yang ia sukai itu karena mereka sudah berada di depan rumah Daisy.
“Dai, cukup.” Arsya dengan berat hati menjauhkan Daisy dari dirinya. “Aku nggak mau Ayahmu datang ke mobil dan ngetuk kaca biar kamu cepet keluar.”
Daisy sontak tertawa kecil dan membenarkan letak tas-nya. “Yaudah, kapan-kapan lagi aja.”
Tapi Arsya langsung menangkup pipi Daisy dan melumat bibir ranum itu dengan cepat. Bagaimanapun ia sulit menahan diri untuk tidak menyerang Daisy. Ciuman itu tidak berlangsung lama karena kondisi mereka berdua yang sudah berada di dalam rumah.
Namun ciuman Arsya selalu berhasil membuat pipi Daisy merona. Ia kemudian turun dari mobil dan melambaikan tangan ke Arsya.
“Hati-hati, kabari aku kalau sudah sampai rumah, ya?” pesan Daisy.
“Siap, ibu negara!” Arsya melambaikan tangannya kearah Daisy yang melangkah masuk kedalam rumah.
Namun sebelum Arsya kembali melajukan mobilnya, ponselnya berdenting. Arsya segera meraih ponselnya dan melihat nomor baru yang belum ia simpan di kontak. Nomor yang merupakan milik Zola karena tadi mereka bertukar nomor telepon.
Zola: sudah sampai rumah, pak Arsya?
Zola: oh iya, pak Arsya suka pedas nggak? Kalau suka, besok saya masakin sesuatu yang enak!
Tanpa sadar, kedua ujung bibir Arsya tertarik keatas. Ia tapi hanya membaca pesan itu, karena ia akan membalasnya nanti setelah sampai di rumah. Balasan pesan yang tak Arsya sangka bahwa mereka akan saling berkirim pesan hingga pagi hari, membicarakan banyak hal, menemukan banyak kesamaan diantara mereka.