Sang Jurnalis

1315 Words
Waktu tepat menunjukan pukul sepuluh pagi lewat tiga puluh menit ketika telepon di meja kerja Hartley berdering. “Ya, Hartley disini,” jawab jurnalis wanita itu. “Apakah kau akan kesana dalam waktu dekat ini? Aku rasa kau sudah mengetahui tentang hal yang baru terjadi di Lake District,” tanya seorang pria dari ujung telepon. “Begitulah. Kepala redaksi sudah memberikan surat tugas kepadaku walaupun belum beserta ongkos perjalanannya,” jawab Hartley sembari mencatat sesuatu di atas kertas yang ada di meja kerjanya. “Lalu, kapan kau akan berangkat? Apakah besok?” tanya pria itu kembali. “Aku rasa, sebaiknya aku berangkat siang ini juga, dan tentunya itu pula yang diinginkan kepala redaksi. Aku akan berangkat dari King Cross menuju Lake District pukul dua belas nanti.” “Baiklah kalau begitu, akupun sama. Aku sudah membeli tiket untuk keberangkatan pukul dua belas siang. Kalau begitu sampai jumpa nanti, Miss Hartley,” ujar pria tersebut lalu memutuskan panggilan. Setelah menutup telepon, Hartley segera membereskan beberapa dokumennya dan memasukannya ke dalam tas jinjingnya. Rambut pirang panjangnya yang terikat seperti sanggul menunjukkan setidaknya keadaan sekitar ataupun kesibukannya hari ini pasti membuatnya gerah, apalagi di cuaca musim panas ini. Sinar matahari yang memasuki ruangan kerjanya memang sangat membuat gerah walau sudah terhalangi gorden. Hartley kini melirik ke arlojinya dan menyadari bahwa ia harus segera bersiap-siap untuk perjalanan mendadaknya ke Lake District. Amelia Hartley adalah seorang jurnalis investigasi dari The Times of London yang sangat berbakat. Sudah berbagai kasus investigasi kriminal yang dituliskannya dalam rubrik investigasi selama lima tahun terakhir. Kemampuannya dalam merangkai kata sangatlah baik. Namun yang tidak diketahui rekan - rekannya adalah bahwa sering sekali dia mampu menggali kebenaran dan fakta - fakta tersembunyi dari setiap kasus kriminal yang dia hadapi yang membuatnya secara tidak langsung membantu pihak kepolisian di beberapa kasus terakhir. Dari situlah dia menjadi akrab dengan salah satu Inspektur di Scotland Yard –Robert Thornton. Perawakannya cukup tinggi untuk rata - rata perempuan. Dengan perawakannya yang tinggi itu serta postur tubuhnya yang tegap, membuat kharisma dirinya lebih terpancar. Ditambah lagi dengan sorot matanya yang tajam seolah menusuk kedalam benak siapapun yang berbincang - bincang dengannya. Setelah membereskan semua barang - barangnya, Hartley berjalan keluar dari kantornya dan kemudian memanggil taksi yang lewat. Dia hendak menuju Granger & Co sebuah restoran yang tidak jauh dari stasiun King Cross. Hartley bermaksud untuk makan siang disana saja agar tidak terlalu jauh dari stasiun, dan walau memang itu juga merupakan restoran favoritnya. Tidak hanya itu, pemilik restoran tersebut –pasangan Granger –juga merupakan induk semang dari kamar yang dia sewa di belakang Granger & Co. Tidak diragukan lagi kalau dia sering makan disana terutama untuk makan malam. Mr. Bill Granger dan juga pelayan restoran sudah tau apa yang akan dia pesan untuk makan siang. Sesampainya di Granger & Co, jurnalis investigasi berumur 32 tahun itu segera memasuki restoran dan menyapa pelayan yang berada dibalik meja bar. “Hi, Mrs. Norris,” ujarnya pada pelayan tersebut dan segera menuju pintu belakang restoran. “Kau akan pergi bertugas tentunya, Miss Hartley?” tanya pelayan wanita berkulit pucat yang berumur sekitar empat puluhan itu. “Ya, Mrs. Norris,” jawab Hartley dengan tetap berjalan dan menuju pintu belakang restoran. Kamar yang dia sewa tepat dibangunan seberang jalan dari pintu belakang restoran tersebut. Dia selalu mengambil jalan pintas itu bila dia buru - buru, dan Mrs. Norris sudah paham akan hal itu. Mrs. Norris segera menyiapkan meja dan makanan untuknya makan siang. Dia sudah tahu bila Hartley perlu menyiapkan beberapa pakaian untuk kepergiannya serta perlengkapan lainnya, dan tentunya dia juga memahami bahwa Hartley tidak ingin sampai ketinggalan kereta. Hartley membuka pintu kamar sewaannya dan segera memasuki ruangan yang kecil namun nyaman. Dia berjalan menuju lemari dan membuka pintunya. Di dalam lemari ada beberapa pakaian yang sudah siap dibawa. Hal itu sudah lumrah dia persiapkan setiap harinya, karena memang dia sering mendapatkan tugas untuk pergi meninggalkan London secara tiba - tiba seperti yang sedang terjadi. Kemeja putih yang sejak tadi masih dia pakai akan dia pakai juga selama perjalanan, pikirnya. Karena memang belum ada setengah hari dia memakai pakaian itu. Hanya saja, kini mantel hitam yang tadi tidak dia bawa ke kantor, kini dia lipat dan menjinjingnya untuk dibawa. Tidak perlu menghabiskan banyak waktu, Hartley sudah kembali masuk melalui pintu belakang Granger & Co itu lagi dan segera duduk di meja yang telah disiapkan Mrs. Norris. Secangkir teh dan daging asap sudah tersedia di meja. Dari dapur, terlihat Mr. Granger keluar dan kemudian menyapa Hartley. “Kau akan berangkat siang ini juga, nak?” tanya pria gemuk paruh baya pemilik restoran itu. “Seperti yang anda lihat, Mr. Granger,” jawab Hartley singkat lalu menyesap tehnya perlahan. “Kemana kau akan pergi kali ini Miss Hartley? Dan apa yang terjadi disana?" tanya Mrs. Norris. “Puri Netherbridge, Mrs. Norris. Letaknya tidak jauh dari danau Windermere di Lake District, dan ada kasus pembunuhan disana.” “Aku berandai - andai kapan kau akan berhenti dari profesimu itu,” ujar Mrs. Norris. “Itu, tidak akan mungkin," sambung Mr. Granger sambil tertawa. Dia sangat menikmati pekerjaannya itu hingga mungkin akan stres bila tidak melakukannya. Hartley ikut tertawa kecil melihat pemilik restoran sekaligus induk semangnya itu tertawa. Mrs. Norris kembali ke meja bar dengan ekspresi yang selalu sama. Ekspresi yang sangat - sangat menunjukan bahwa seolah - olah dia tidak pernah akan terbiasa dengan kabar yang dia dapatkan dari Hartley. Karena memang sering sekali kasus yang akan dia beritakan dalam rubrik beritanya adalah kasus kriminal yang berkaitan dengan pembunuhan. “Baiklah, aku yakin semua keperluanmu sudah kau siapkan dan tidak ada yang tertinggal. Hati - hatilah di perjalanan, nak. Dengan siapa kau akan pergi?" tanya pria yang rambutnya mulai memutih itu. “Sendiri, Mr. Granger. Sejak kapan kepala redaksi yang kikir itu akan memberi ongkos perjalanan untuk dua orang atau lebih," jawab Hartley dengan tertawa. “Tapi, ya, tidak akan benar - benar sendiri Mr. Granger. Inspektur Thornton juga akan menangani kasus tersebut. Dia menelpon ku tadi. Kita akan bertemu di perjalan, pastinya.” “Oh, petugas polisi yang itu. Sepertinya kau menjadi semakin akrab dengannya. Tapi, bila inspektur dari Scotland Yard seperti itu sampai turun tangan pada kasus yang terjadi cukup jauh dari London ini, tentunya kasus yang akan kau kerjakan ini bukan kasus biasa, kan?” “Mungkin saja, aku belum banyak mendapat informasi tentang ini. Tapi aku sependapat denganmu Mr. Granger. Baiklah, aku akan segera berangkat ke stasiun. Terimakasih untuk makan siangnya," ujar Hartley sembari meninggalkan mejanya dan menuju pintu restoran. Namun, langkah kakinya terhenti sebelum dia membuka pintu dan pandanganya mengarah pada Mrs. Norris. “Mrs. Noris. Sebaiknya kau beristirahat. Kau nampak kelelahan dan kurang sehat. Sepertinya kau mengambil pekerjaan tambahan sebagai pengasuh anak. Mungkin kau sedang butuh uang lebih. Walaupun Mr. Granger –aku yakin tidak mempermasalahkan bila kau memiliki pekerjaan sampingan– tapi tentunya bukan hal yang mudah juga untuk menaikan jumlah upahmu secara tiba - tiba. Aku tidak keberatan kok untuk membagi sedikit penghasilanku nanti. Kau, tidak perlu sungkan.” “Dari mana anda tahu?” Mrs. Noris terkejut. “Hanya, asumsi saja. Aku tidak pernah tahu pasti. Tidak usah terlalu terkejut begitu. Aku tidak memata - matai keseharianmu kok. Hanya saja, masih ada dua tetes kecil tinta di sekitar telingamu. India Blue tentunya agak sulit dibersihkan bukan? Dan menurutku, bukan pekerjaanmu untuk sering berurusan dengan tinta seperti itu. Mungkin saja kan, bila ada anak kecil yang bermain - main dengan itu dan kau terkena cipratannya. Namun, aku tidak tahu bila kau punya anak. Jadi, hanya asumsi saja kok. Namun bila itu benar, seperti yang kukatakan tadi, aku tidak keberatan membagi sedikit penghasilanku nanti untuk membantu keperluanmu," ucap Hartley sembari membuka pintu lalu segera beranjak pergi. Mrs. Noris hanya bisa terdiam saat dia melihat Hartley meninggalkan ruangan. Dia tidak percaya Hartley dapat memperhatikannya sedetail itu hingga dapat menyadari noda tinta di sekitar telinganya yang bahkan dia sendiri tidak menyadarinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD