He was mine

1071 Words
Kamu pulang jam berapa?                Ratu berulang kali membaca pesan di ponselnya, sejak dua puluh menit yang lalu Ratu mengirim pesan tersebut kepada Raja, namun hingga saat ini Raja juga belum membalas pesannya. Ia merasa bosan menunggu Aleta yang juga tak kunjung keluar dari kelasnya, sudah pukul tiga sore namun gadis kecil itu tak kunjung juga keluar dari tempat itu. Anak TK jaman sekarang, jam pulangnya udah mirip-mirip pegawai korporat.                “Ratu!” Aleta berlari menuju tantenya itu, Aleta jelas sekali nampak lelah, matanya bahkan terlihat sangat mengantuk, namun ia sempat-sempatnya berlari ke arah Ratu.                “Pelan-pelan.” Tegurnya begitu ia meraih tangan Aleta untuk ia genggam menuju mobil. Mereka berdua berjalan bersama menuju mobil Ratu yang terparkir di parkiran khusus sekolah, orang-orang menatapnya penuh tanda tanya, ayolah Ratu bahkan malas menjelaskan siapa Aleta sebenarnya. Toh tidak penting juga mereka tahu.                “Ratu boleh gak kita makan dulu?” Ucapnya begitu seatbelt sudah terpasang rapih di badannya.                “Emang kamu punya uang?” Tanya Ratu, iseng. Aleta kemudian merogoh saku kirinya, mengeluarkan tiga lembar pecahan uang seratus ribuan “Ini ada uang jajan aku dari Uncle Raja, kita jajan pakai ini aja Ratu, aku yang traktir.” Ucapnya begitu polos, sementara Ratu cukup terkejut melihat banyaknya uang jajan yang di miliki oleh gadis kecil itu.                “Kok kamu gak jajan tadi?”                “Aku kan bawa bekal yang kamu masakin.” Jawabnya polos. Aleta ini adalah perwujudan malaikat kecil yang sifatnya begitu berbanding terbalik dengan Ratu, ia melihat ke belakang, membayangkan bagaimana dirinya di umur yang sama seperti Aleta, ia tidak semanis anak itu, di umur yang sama Ratu sudah memiliki sifat egoisnya sendiri, ia bahkan bisa saja membuat gurunya menangis hanya karena gurunya mengkritik karya seni yang ia buat.                “Kamu mau makan apa?” Tanya Ratu.                “Apa aja.”                “Nasi goreng, mau ya?” Aleta mengangguk.                “Yaudah.” Ratu membawa Aleta menuju salah satu restaurant sederhana yang menjadi favoritenya sejak kecil. Entah sudah seberapa lama ia tidak menginjakan kaki di sana, sudah tak terhitung lagi, namun begitu melihat kokohnya bangunan restaurant itu dari luar, Ratu jadi tiba-tiba merindukan masa kecilnya. Dulu sewaktu ia berumur seperti Aleta, di saat pulang sekolah seperti ini Ratu seringkali di ajak untuk makan di tempat itu, dengan satu menu favorite Ratu yang sejak dulu tak pernah berubah, yaitu nasi goreng.                “Ayo Aleta.” Ratu kembali menggandeng tangan anak kecil itu, mereka berjalan dengan santai sesekali Aleta berceloteh tentang bagaimana kesan pertamanya di sekolah itu.                “Selamat sore Nona, meja 21.” Ucap pemilik restaurant itu yang juga sudah mengenal Ratu.                “Maksudnya? Saya belum reservasi.” Jawab Ratu kebingungan.                “Loh? Nona tidak datang bersama bapak dan Nona Erika, kah? Maaf, saya pikir-”                “Tidak apa-apa, untuk dua orang ya.” Ratu langsung masuk begitu saja walau belum di persilahkan. Pemandangan aneh tiba-tiba terpampang di depan matanya. Sebuah keluarga bahagia dimana ada anak, ayah dan juga ibu di dalamnya. Erika di sana, duduk bersama ayah dan juga ibunya, tengah tertawa bahagia, mereka betul-betul nampak seperti keluarga bahagia. Sadar bahwa Ratu juga berada di sana, Erika memilih untuk diam, ia tidak mau pemandangan itu membuat kakanya akan semakin membenci keluarga mereka.                “Kak, are you ok?” Melinda mengusap kepala putrinya yang baru saja mengandung itu. Iya sekarang mereka tengah merayakan kehamilan Erika.                “Okay ma, aku cuma... mau makan aja.” Balasnya. Sesekali matanya melirik Ratu yang tengah asyik mengobrol dengan seorang anak kecil yang tak ia kenal. Ratu dan anak kecil itu juga nampak bahagia, belum pernah sama sekali Erika melihat Ratu tersenyum tulus seperti saat itu.                “Kamu lagi ngelihatin apa sih? Daritadi mama ajak ngomong kamu gak fokus gitu.” Melinda berusaha mencari sesuatu yang terus di lihat oleh putrinya, matanya kemudian memicing begitu melihat Ratu yang juga duduk tak jauh dari mereka.                “Ngapain dia di sini? Kamu yang ngasih tau Ratu kita ada di sini pa?!” Ucap Melinda, geram. Hartawan kemudian memutar tubuhnya, mencari tahu dimana anaknya itu duduk. Begitu ia melihat dimana keberadaan Ratu, Hartawan langsung membalikan lagi tubuhnya, seakan-akan tidak mau tahu lagi akan putrinya itu.                “Ayo kita cari tempat lain.” Ucapnya. Erika yang saat itu masih menikmati makanannya, langsung terdiam begitu saja, bukan ini yang ia inginkan.                “Ayo Erika.” Hartawan langsung berdiri, dengan itu hampir seluruh mata di restaurant itu tertuju padanya. Ia tersenyum ramah kepada semua orang, kecuali pada putrinya sendiri, begitu mata mereka bertemu, Hartawan langsung menarik senyum di wajahnya, memasang wajah datar penuh amarah, seakan-akan ia bahkan tidak senang melihat Ratu masih bernyawa.                “Dia presiden ya Ratu?” Tanya Aleta yang kebingungan melihat orang-orang di sekitarnya ramai-ramai tersenyum begitu melihat pria itu berdiri. Beberapa dari mereka yang juga menyadari keberadaan Ratu, dari tatapan itu pasti mereka sudah mencium bau-bau ketidakakuran di antara mereka.                “Bukan.” Jawabnya tenang, ia masih menikmati makanan di hadapannya, ia sama sekali tidak peduli dengan tatapan penuh tanda tanya dari beberapa orang.                “Kenapa aunty aunty sama uncle itu liatin kita Ratu?” Kali ini, gadis kecil itu berbisik, sesekali matanya melirik ke orang-orang itu.                “Mereka gak ngeliatin kita tapi mereka lagi ngeliatin aku”                “Kenapa?”                “Karena aku cantik, mereka belum pernah lihat orang yang cantik banget kayak aku gini, mereka sebenarnya pengen minta foto, cuma malu aja, udah biarin, kamu gak usah perhatiin mereka, habisin makanannya habis ini kita pulang.” Ratu sebenarnya tidak ingin berbohong, hanya saja ia terlalu malas menjelaskan hal rumit tentang bagaimana hubungannya dengan papa nya kepada anak kecil seperti Aleta.                “Waah keren sekaliii, kamu ini artis ya Ratu?” Tanya Aleta lagi. Lagi-lagi kekagumannya pada sosok wanita di hadapannya saat ini.                “Bukan sih, tapi lebih keren dari artis.” Jawabnya penuh percaya diri. Rasa sedihnya karena di abaikan oleh papanya sedikit berkurang akan celotehan Aleta, ia jadi sedikit bersyukur karena Aleta ada di dekatnya saat ini, setidaknya dengan kehadiran gadis kecil itu ia jadi bisa lebih santai sedikit. Namun perasaan tetaplah perasaan, akan sampai kapan juga tidak akan bisa di bohongi, Ratu tentu saja merasa sedih begitu melihat apa yang pernah menjadi miliknya satu-satu nya kini sudah tidak lagi menjadi miliknya, ya papa nya bukan barang, namun dahulu hanya Ratu yang berhak menyebut pria itu dengan sebutan papa . semakin sakit perasaannya, maka semakin benci pula ia kepada papa nya, bukankah hal itu wajar jika di rasakan oleh Ratu? Semua orang meninggalkannya termasuk papa nya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD