Martabak

1855 Words
Setelah selesai makan malam, Rain dan Aira menghantar Fani pulang. Dalam perjalanan, Fani tidak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Rain dan Aira. “Sudahlah, Fan. Jangan terus mengatakan terima kasih, bisa-bisa nanti Om dan Aira jadi besar kepala,” canda Rain sambil menatap Aira sekilas, lalu kembali fokus menatap ke depan. Aira berdecak. “Bukan Aira Om, yang besar kepala. Tapi Om itu yang besar kepala, karena sejak tadi yang di puji Fani kan, Om,” ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya. Rain mengusap puncak kepala Aira. “Yah... ketahuan ya,” candanya lagi. Fani dan Aira tertawa. Mereka pun akhirnya sampai di rumah Fani, ternyata ibu Fani sudah ada di rumah. Aira dan Rain berpamitan kepada Fani dan ibunya, setelah itu mereka kembali masuk ke dalam mobil. Rain melajukan mobilnya meninggalkan rumah Fani. “Om, nanti mampir dulu beli martabak ya, untuk Tante Karin. Tante Karin kan suka sekali sama martabak.” “Iya, sayang.” Setelah beberapa menit perjalanan, Rain melihat ada yang menjual martabak, ia pun langsung menghentikan mobilnya. “Kamu tunggu di mobil saja, biar Om yang beli.” Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu membuka pintu mobil dan melangkah keluar dari mobil. Rain berjalan mendekati penjual martabak itu. “Pak, pesan dua porsi ya.” “Baik, Pak. Yang biasa atau yang spesial, Pak?” tanya penjual martabak itu. “Yang spesial, Pak. Karena martabaknya juga untuk orang yang spesial,” jawab Rain dengan senyuman di wajahnya. “Baik, Pak. Bapak bisa duduk dulu sambil menunggu martabaknya siap.” Rain menganggukkan kepalanya, ia lalu mendudukkan tubuhnya di kursi plastik yang tersedia di samping gerobak martabak itu. Rain menatap Aira yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya. "Sekarang Aira sudah kembali ceria, dia juga telah membuat suasana rumah menjadi lebih berwarna. Terima kasih, Tuhan, telah menghadirkan Aira di keluarga kecil kami," gumamnya dalam hati. “Ini, Pak. Martabaknya,” ucap penjual martabak itu sambil memberikan kantong kresek yang berisi martabak kepada Rain. Rain tidak langsung menerima kantong kresek itu, ia malah mengambil dompet dari saku celananya, dan mengambil selembar uang seratus ribuan. “Ini, Pak,” ucapnya sambil memberikan uang itu kepada penjual martabak itu. Penjual mengambil uang itu, lalu kembali memberikan kantong kresek itu kepada rain. Rain mengambil kantong kresek itu dan mengucapkan terima kasih. Rain hendak pergi dari tempat itu, tapi penjual martabak itu kembali memanggilnya. “Tunggu, Pak!” Rain membalikkan tubuhnya. “Ya....” Penjual martabak itu berjalan mendekati Rain. “Ini uang kembaliannya,” ucapnya sambil memberikan uang itu kepada rain. Rain menggelengkan kepalanya, ia lalu menurunkan tangan penjual martabak itu. “Ambil saja untuk Bapak, anggap ini rezeki lebih untuk Bapak,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Terima kasih, Pak. Semoga Bapak selalu sehat dan dilancarkan rejekinya,” ucap penjual martabak itu senang. Rain mengangguk. “Terima kasih atas doanya, kalau begitu saya permisi dulu.” Setelah mendapat anggukkan kepala dari penjual martabak itu, Rain melangkah menuju mobilnya dan masuk ke dalam mobil. Rain yang tadi melihat Rain berbincang dengan penjual martabak itu pun merasa penasaran. “Om, kenal dengan penjual martabak itu, kok tadi Aira lihat, sepertinya Om akrab dengan bapak itu?” “Om, tidak mengenalnya, tapi kita harus tetap bersikap ramah dengan siapa saja, meskipun kita tidak mengenal orang itu.” Rain mengusap puncak kepala Aira, “mengerti, sayang?” Aira mengangguk. “Mengerti, Om.” Rain lalu melajukan mobilnya kembali, dalam perjalanan menuju rumah, Rain bertanya tentang hari-hari yang Aira lalui di sekolah. Rain hanya bisa menanyakan itu saat ia memiliki waktu senggang seperti sekarang ini, karena biasanya rain sibuk dengan urusan kantornya. Apalagi setelah memutuskan untuk menetap di Jakarta, semua urusan perusahaannya yang berada di Australia, harus dia handel dari rumah. Belum lagi kantor barunya yang ia dirikan di Jakarta, semakin menyita waktunya bersama dengan keluarganya. Tapi, Rain tetap menyempatkan waktunya untuk bisa berkumpul dengan keluarganya, karena ia tidak ingin melewatkan momen-momen penting dalam hidupnya. Sesampainya di rumah, Aira langsung menemui Karin yang tengah berada di ruang tengah sambil menonton TV. Aira duduk di samping Karin. “Tante, Aira punya sesuatu untuk Tante,” ucapnya sambil memberikan martabak itu kepada Karin. Karin menerima kardus yang berisi martabak itu. “Makasih sayang.” Karin lalu membuka kardus itu, dan mengambil satu potong martabak. “Dimana Om kamu, sayang?” tanyanya sambil meletakkan kardus martabak itu ke atas meja. “Tadi saat mau masuk, tiba-tiba ada yang menelpon Om Rain, mungkin sekarang masih di luar, Tan.” Karin mengangguk mengerti, ia lalu kembali menggigit martabak itu. “Martabak ini sangat enak, makasih ya sayang.” Aira mengangguk, ia lalu beranjak dari duduknya. “Tan, Aira ke kamar dulu ya. Aira ingin mengerjakan tugas dari sekolah.” “Iya, sayang. Belajar yang rajin.” “Iya, Tan. Aira tidak akan pernah mengecewakan Tante dan Om.” Aira lalu melangkah meninggalkan ruang tengah dan menaiki tangga. Aira masuk ke dalam kamarnya, ia lalu menuju meja belajarnya dan mulai mengerjakan tugasnya. Baru beberapa menit mengerjakan tugas, tiba-tiba ponsel Aira berbunyi. Aira lalu mengambil ponselnya yang berada di atas meja belajarnya. “Bagas!” serunya saat melihat siapa yang menelponnya. “Halo,” sahutnya saat menjawab panggilan telepon itu. “Malam, Ra. Kamu lagi ngapain nie?” “Aku sedang mengerjakan tugas, kamu sendiri sudah mengerjakan tugas belum?” “Belum, nanti saja. Aku ingin mendengar suara kamu dulu,” goda Bagas sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa kamarnya. “Kamu kesambet apaan sih, apa kamu sakit, hingga bicara kamu ngaco kayak gitu.” Bagas tertawa. “Ca elah, Ra. Gitu saja marah, bercanda kali. Aku hanya ingin bicara sama kamu, aku mau minta maaf, karena aku, Om kamu sampai harus minta maaf sama kedua orang tua aku.” “Em... itu salah aku juga sih, karena aku lupa mengingatkan kamu sama Fani untuk izin sama kedua orang kalian. Tapi, aku malah langsung mengizinkan kalian untuk main ke rumah aku.” “Tapi, Ra. Ternyata, Om kamu itu baik ya, padahal selama ini aku takut banget sama Om kamu itu, setelah kejadian waktu itu.” “Kan sudah aku bilang, Om Rain itu baik.” Aira melihat jam di dinding kamarnya, ia belum selesai mengerjakan tugasnya, kalau ia terus mengobrol dengan Bagas, maka tugas sekolahnya tidak akan selesai. “Em... Gas, sudah dulu ya, aku mau menyelesaikan tugas sekolah aku dulu.” “Hem, selamat malam, Ra. Sampai ketemu di sekolah besok.” “Selamat malam juga, jangan lupa kerjakan tugas sekolah kamu.” Tanpa menunggu jawaban dari Bagas, Aira langsung menutup panggilan telepon itu. Aira lalu kembali mengerjakan tugas sekolahnya, setelah itu ia ingin tidur lebih awal. Rain yang sudah selesai berbicara di telepon dengan rekan bisnisnya, ia langsung masuk ke dalam rumah. Ia menghampiri Karin yang masih asyik menonton acara TV kesukaannya sambil menikmati martabak yang tadi di berikan Aira. Rain duduk di samping Karin. “Sayang, kok kamu sendirian, mana Aira?” pria itu lalu mengambil sepotong martabak. “Di kamarnya, Mas. Katanya mau mengerjakan tugas sekolahnya. Ngomong-ngomong, tadi siapa yang menelpon, Mas?” Karin beralih menatap Rain. “Apa itu wanita?” tanyanya penasaran. Rain mengangguk. “Apa kamu cemburu?” godanya. Karin mengerucutkan bibirnya. “Siapa wanita itu, apa aku mengenalnya?” Rain menggenggam tangan Karin. “Dia hanya rekan bisnis, sayang. Jadi kamu tidak usah cemburu, ya.” Karin menyandarkan kepalanya di bahu Rain. “Mas, janji sama aku ya. Mas tidak akan pernah meninggalkan aku, hanya karena aku tidak....” Rain memegang kedua bahu Karin. “Kenapa kamu sampai berpikiran seperti itu? Mas kan sudah sering bilang sama kamu, Mas tidak butuh itu, karena kamu lebih berharga dari apapun, selain itu sekarang kita sudah memiliki Aira. Bagi Mas, semua itu sudah lebih dari cukup.” Karin menatap kedua mata Rain. “Kenapa Mas sangat mencintaiku? Padahal aku hanya wanita biasa.” Rain mengecup kening Karin. “Karena kamu wanita yang baik, cantik. Sejak pertama kali aku bertemu denganmu waktu itu, aku sudah jatuh cinta sama kamu.” Rain dan Karin kembali mengingat pertemuan pertama mereka 6 tahun yang lalu. Mereka bertemu dengan tidak sengaja di pesta ulang tahun sahabat Karin, yang tak lain adalah adik sepupu Rain. Sejak pertemuan pertama mereka, Rain terus mencari tahu soal Karin dari adik sepupunya itu. Setelah mendapatkan nomor kontak Karin, Rain memberanikan diri untuk menghubungi Karin. Rain dulunya sangat gugup, saat mengajak Karin untuk bertemu. Tapi, setelah saling mengenal satu sama lain, mereka ternyata sangat cocok. Setelah tiga bulan saling mengenal satu sama lain, Rain menyatakan perasaannya kepada Karin. Karin juga tidak memungkiri, jika ia juga sudah jatuh hati pada Rain. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan. Tapi sayang, mereka harus berhubungan jarak jauh, karena Rain masih harus kuliah meneruskan S2 di Australia. Selain itu, kedua orang tuanya juga tinggal di Australia. Karin bersedia menjalani hubungan itu, hingga dua tahun kemudian, Rain melamar Karin, dan menikahinya. Mengingat kejadian waktu itu, membuat Rain dan Karin saling melengkapi satu sama lain. Perjuangan cinta mereka, tidak akan pernah mereka sia-siakan, apapun yang terjadi nanti. Rain mengecup kening Karin. “Selama ini kita sudah berjuang untuk bisa bersama, jadi mana mungkin aku akan meninggalkan kamu.” “Maafkan aku, Mas. Maafkan aku.” Rain lalu merangkul pundak Karin. “Sayang, apa kamu tidak ingin melakukan apa gitu, agar kamu tidak bosan berada di rumah?” Karin nampak tengah berpikir. “Sebenarnya Risa ingin mengajakku bekerja sama untuk membuka toko butik sih, Mas. Tapi aku masih pikir-pikir dulu.” “Kenapa sayang? Bukankah itu baik, kamu bisa menyibukkan diri kamu dan tidak akan kesepian lagi.” “Apa Mas lupa, sekarang sudah ada Aira. Aku hanya tidak ingin sampai Aira kekurangan kasih sayang kita, hanya karena kita terlalu sibuk dengan urusan kita masing-masing. Apalagi saat ini Aira sangat membutuhkan kasih sayang kita.” Rain tersenyum. “Benar juga kata kamu, sayang. Mas sampai lupa, kalau kita sudah memiliki Aira yang sangat penting untuk kita. Maafkan, Mas,” ucapnya sambil mengecup puncak kepala Karin. “Tapi sayang, setelah Mas lihat-lihat, sepertinya Bagas tertarik dengan Aira.” Karin mengernyitkan dahinya, dia lalu menegakkan duduknya. “Masa sih, Mas. Mereka kan masih kecil, baru juga kelas 2 SMP. Masa sudah cinta-cintaan.” Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak akan membiarkan Aira pacaran, dia harus belajar dan meraih mimpi-mimpinya, karena itu janji aku sama kakak sebelum kakak meninggalkan.” Rain tersenyum. “Sayang, aku kan hanya bilang sepertinya Bagas tertarik sama Aira. Tapi yang Mas lihat, Aira hanya menganggap Bagas sebagai sahabatnya. Jadi, kamu jangan pernah melarang mereka untuk berteman. Bagas juga anak yang baik, dia pasti tahu batasannya. Tidak mungkin juga dia mengajak Aira pacaran, mereka masih kecil.” “Iya sih, Mas. Aku juga bisa melihat, Bagas dan Fani tulus ingin berteman dengan Aira.” Rain beranjak dari duduknya. “Sayang, ayo kita tidur. Sepertinya ada yang kangen sama kamu,” godanya. Karin tersenyum, ia lalu beranjak dari duduknya. “Sepertinya ada yang kangen juga sama Mas.” “Kamu sudah selesaikan, Sayang? Mas sepertinya sudah tidak bisa menahannya lagi.” Karin menganggukkan kepalanya. Rain tersenyum senang, ia lalu membopong tubuh Karin dan langsung membawanya ke dalam kamar. Malam ini Rain akan meluapkan semua keinginan yang telah ia pendam selama seminggu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD