Pemakaman
Seorang gadis kecil dengan pakaian serba hitam, kini tengah duduk bersimpuh di depan pusara yang masih basah. Ia menangis, isak tangisnya masih terdengar jelas.
Gadis kecil itu adalah Aira Pertiwi, ia baru saja kehilangan ibu yang sangat dicintainya untuk selama-lamanya.
Baru setengah jam yang lalu pemakaman ibunya selesai, tapi Aira sama sekali tidak ingin beranjak dari depan pusara ibunya.
Aira sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, ayahnya meninggal saat Aira masih berumur 5 tahun. Disaat Aira menginjak remaja, ia harus di tinggal ibunya untuk selama-lamanya.
“Bu, kenapa Ibu juga meninggalkan Aira seperti Ayah? Apa Aira anak yang nakal? Aira takut, Bu. Aira harus bagaimana menjalani hari-hari tanpa Ibu?” air mata Aira terus mengalir membasahi kedua pipinya.
“Aira sayang Ibu, tapi kenapa Aira di tinggal sendirian, kenapa, Bu?”
Seorang wanita yang tak lain adalah tante Aira, menepuk bahu gadis itu.
“Sayang, ayo kita pulang.”
Aira menggelengkan kepalanya.
“Aira ingin bersama dengan Ibu," ucapnya masih menangis sesenggukan.
Wanita yang bernama Karin itu menatap ke arah suaminya yang berdiri di sampingnya.
“Mas, apa yang harus kita lakukan?”
“Biar Mas yang bujuk.”
Pria itu lalu duduk berjongkok di samping Aira.
“Aira, Sayang. Aira sayang tidak sama ibu Aira?”
Aira menganggukkan kepalanya.
"Kalau begitu, sekarang Aira pulang sama Om dan Tante, karena ibu Aira akan sedih jika melihat Aira seperti ini.”
Aira menghapus air matanya.
“Apa Ibu akan sedih melihat Aira menangis, Om?” tanyanya sambil menatap wajah pria yang berada di sampingnya.
Pria itu menganggukkan kepalanya.
“Tentu saja. Jadi, jika Aira tidak ingin ibu Aira sedih, sekarang Ara pulang sama Om dan Tante.”
Aira menganggukkan kepalanya, dia lalu mencium papan nisan ibunya.
“Bu, Aira pulang dulu ya. Aira janji, Aira akan sering datang kesini untuk nengokin Ibu.”
Rain membantu Aira itu berdiri, dia lalu memeluk gadis itu.
“Mulai sekarang, Aira tinggal bersama Om dan Tante.”
Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu memeluk tantenya.
“Tante, Tante tidak akan meninggalkan Aira seperti Ibu, kan?”
Karin memeluk keponakan satu-satunya itu.
“Tante janji, Tante tidak akan meninggalkan Aira.” Wanita itu lalu melepaskan pelukannya dan menggandeng tangan gadis itu.
“Sekarang kita pulang ke rumah Tante.”
Rain, Karin, dan Aira, mereka melangkahkan kaki mereka keluar dari pekarang makam itu.
Karin membukakan pintu mobil untuk Aira dan memintanya untuk masuk ke dalam mobil. Karin duduk di kursi penumpang depan, di samping suaminya.
Rain menatap ke kaca spion yang berada di depannya, ia menatap wajah Aira yang masih terlihat sedih.
“Sayang, apa tidak sebaiknya kamu duduk di belakang temani Aira? Sepertinya dia masih sangat terguncang.”
Karin menganggukkan kepalanya, ia lalu keluar dari mobil dan pindah ke kursi penumpang bagian belakang. Ia lalu menarik Aira ke dalam pelukannya.
Rain tersenyum, dia lalu mulai melajukan mobilnya. Dalam perjalanan, Aira masih terus menangis, kenangan saat terakhir bersama dengan ibunya terus berputar di ingatannya.
Sesampainya di rumah Rain, Karin menunjukkan kamar Aira. Kamar itu sengaja Rain dekorasi sesuai dengan kepribadian Aira yang feminim.
Kamar itu di dekorasi dengan cat berwarna pink, bahkan sprei kasurnya juga berwarna pink, kecuali tirai jendela kamar yang berwarna biru dengan motif bunga-bunga.
Awalnya kamar itu mereka buat untuk calon anak mereka kelak, tapi sampai usia pernikahan mereka memasuki anniversary yang ke 4 tahun, Karin belum juga ada tanda-tanda hamil.
Setelah dilakukan berbagai macam tes, ternyata Karin divonis mandul dan tidak akan bisa mempunyai anak.
Saat ibu Aira meninggal, yang tak lain adalah kakak Karin, ia meminta Karin untuk menjaga Aira, menggantikannya sebagai sosok ibunya.
Karin dengan senang hati menerima Aira, karena selama ini, Karin sudah menganggap Aira seperti anaknya sendiri.
Karin mendudukkan tubuh Aira di tepi ranjang.
“Sayang, apa kamu suka dengan kamarnya?”
Aira menganggukkan kepalanya.
“Ini kamar siapa, Tante?” gadis itu menatap seluruh ruangan kamar itu. Bahkan kamar itu lebih luas dari kamarnya yang dulu, kamar itu juga ada kamar mandi sendiri di dalamnya.
“Ini kamar untuk Aira, Tante sengaja menyiapkan semua ini untuk Aira. Tante berharap, Aira akan betah tinggal bersama dengan Tante.”
Aira menundukkan wajahnya.
“Tante, Aira kangen Ibu.”
Karin memeluk Aira. “Sayang, kalau kamu kangen sama ibu kamu, Aira bisa berdoa kepada Tuhan untuk menjaga ibu Aira. Tuhan pasti akan mengabulkan permintaan Aira.”
“Baik, Tante.”
Karin lalu beranjak dari duduknya.
“Lebih baik sekarang Aira mandi. Semua pakaian Aira, sudah Tante pindahkan ke dalam lemari.”
Wanita itu lalu menepuk bahu gadis itu.
“Tante akan tunggu di bawah untuk makan malam.”
Setelah mendapat anggukkan kepala dari Aira, Karin melangkah kan kakinya keluar dari kamar itu.
Wanita itu lalu menuruni tangga dan menghampiri suaminya yang tengah duduk di ruang tengah dengan posisi bersandar di sandaran sofa.
“Apa Mas capek?” tanyanya sambil duduk di samping suaminya.
Rain tersenyum, ia lalu mengubah posisinya jadi bersandar di pangkuan istrinya.
“Bagaimana dengan Aira, apa dia masih sedih?”
Karin menganggukkan kepalanya, dia lalu membelai rambut hitam kecoklatan suaminya.
“Terima kasih ya, Mas. Mas sudah mau menerima Aira di rumah ini.”
Rain menggenggam tangan Karin dan mengecupnya.
“Sayang, Aira itu keponakan kamu, berarti keponakan Mas juga. Dengan kehadiran Aira di rumah ini, kamu tidak akan merasa kesepian lagi.”
“Mas, maafin aku ya, karena aku bukan istri yang sempurna. Aku tidak bisa memberikan anak untuk, Mas.”
Rain kembali mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Karin.
“Sayang, kenapa kamu masih membahas itu lagi. Mas sudah mengikhlaskan semuanya, sudah menerima semua nya, jadi jangan pernah mengungkit semua itu.”
“Tapi....”
Rain menutup mulut Karin dengan jari telunjuknya.
“Kehadiran kamu sudah membuat aku bahagia, apalagi sekarang sudah ada Aira. Mas yakin, Aira akan merubah suasana rumah ini nantinya,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
Karin menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
“Terima kasih ya, Mas. Aku bersyukur mempunyai suami sebaik, Mas.”
Rain mengecup puncak kepala Karin.
“Sayang, saat ini berapa usia Aira?”
“12 tahun, Mas. Aira tahun ini akan masuk bangku SMP.”
“Kalau begitu, besok kita daftarkan Aira untuk masuk SMP. Setelah mendapat teman banyak, Mas yakin, Aira akan segera melupakan kesedihannya dan kembali ceria lagi.”
Karin menganggukkan kepalanya.
Wanita paruh baya yang tak lain adalah asisten rumah tangga di rumah itu, melangkah mendekat.
“Tuan, Nyonya, makan malam sudah siap.”
Karin menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih ya, Bi.”
Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya dan pamit undur diri.
Rain dan Karin beranjak dari duduknya, mereka lalu melangkah menuju ruang makan.
Aira yang sudah selesai mandi dan berpakain, keluar dari kamarnya. Ia tidak ingin membuat tante dan omnya menunggu.
Aira bersyukur masih memiliki tante sebaik Tante Karin, karena hanya Tante Karin salah satu kerabat dari ibunya.
Karin meminta Aira untuk duduk di sebelahnya, ia lalu mengambilkan makanan untuk Aira dan meletakkannya di depan Aira.
“Terima kasih, Tante.”
Karin mengusap puncak kepala Aira.
“Makan yang banyak ya, sayang.” Aira menganggukkan kepalanya.
Mereka pun memulai makan malam, dalam sela makan malam mereka.
Rain memberitahu Aira jika ia akan mendaftar kan Aira masuk ke sekolah yang baru.
Aira mengangguk setuju dan mengucapkan terima kasih.
Karin bisa melihat, jika Aira masih merasa canggung kepada suaminya, karena memang mereka selama ini tinggal di Australia, dan baru kembali ke Indonesia saat ibu Aira sakit.
Karin menggenggam tangan Aira.
“Aira sayang, selama tinggal disini, Tante harap Aira akan merasa nyaman. Om Rain itu orangnya baik, jadi Aira tidak perlu sungkan-sungkan jika ingin meminta bantuan sama Om Rain.”
“Baik, Tante.”
Rain melihat piring Aira yang sudah kosong.
“Kalau Aira sudah selesai makan, Aira bisa kembali ke kamar untuk beristirahat, karena besok Aira harus bangun pagi.”
Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu beranjak dari duduknya.
“Selamat malam, Om, Tante. Aira ke kamar dulu,” pamitnya.
Karin dan Rain menganggukkan kepalanya, setelah itu Aira baru melangkah pergi meninggalkan ruang makan.
Rain dan Karin meneruskan makan mereka, setelah itu mereka juga pergi ke kamar untuk membersihkan diri mereka.
Keesokan paginya, Aira sudah bersiap-siap untuk pergi ke sekolah barunya. Meskipun ia masih merasa sedih, tapi ia mencoba untuk tetap tegar.
Aira teringat akan ucapan Rain, ibu Aira akan sedih jika melihat Aira sedih seperti ini.
Aira mengambil bingkai foto dari atas meja yang berada di dekat ranjangnya.
“Ibu, Ayah, Aira janji. Aira akan menjadi anak yang baik. Aira tidak ingin mengecewakan Om Rain dan Tante Karin.” Gadis itu lalu mengecup foto ayah dan ibunya.
Aira mendengar suara tantenya yang memanggil-manggil namanya. Ia lalu bergegas mengambil tas dan melangkah keluar dari kamarnya.
Dalam perjalanan menuju sekolah baru, Aira menunjukkan wajah bahagianya. Ia tidak ingin membuat Rain dan Karin terus menerus mencemaskannya.
Sesampainya di sekolah baru Aira, Rain mengurus semuanya.
Aira termasuk siswi yang berprestasi, jadi dia dengan mudah bisa masuk ke sekolah itu.
Karin dan Rain begitu bangga dengan prestasi yang Aira raih selama ini.
“Tante bangga sama kamu sayang.”
Karin lalu memeluk Aira. “Kamu benar-benar mirip seperti ibu kamu.”
Rain mengusap puncak kepala Aira.
“Kamu sudah mulai bisa masuk sekolah satu minggu lagi. Sekarang Om akan antar kamu untuk membeli peralatan sekolah kamu.”
Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu memeluk Rain.
“Terima kasih ya, Om. Om mau menerima Aira di rumah Om.”
Rain tersenyum. “Sama-sama, sayang.”
Karin senang, akhirnya Aira bisa lebih dekat dengan Rain,
"Terima kasih, Tuhan. Karena telah menghadirkan Aira di keluarga kecil kami. Hamba memang belum rela kehilangan kakak hamba, tapi hamba percaya, apa yang terjadi pasti ada hikmah di balik semua ini," gumamnya dalam hati.
Rain dan Karin sama-sama menggandeng tangan Aira, mereka sudah nampak seperti keluarga kecil yang sangat bahagia.
Semua mata yang menatap mereka, pasti akan merasa iri.
Rain, pria yang sangat tampan, Karin, wanita yang sangat cantik dengan rambutnya yang panjang tergerai.
Sedangkan Aira, gadis yang sangat cantik dengan hidungnya yang mancung, serta rambut panjangnya yang dia kuncir ala ekor kuda.
Sungguh keluarga yang sempurna, mungkin seperti itu yang diucapkan orang-orang yang menatap ke arah mereka.
“Sebelum pergi ke toko buku, sebaiknya kita pergi ke restoran dulu ya, Mas lapar.” Mereka saat ini sudah berada di dalam mobil.
“Terserah Mas saja, aku sama Aira ngikut saja, ya kan sayang?” tanya Karin sambil menengok ke kebelakang.
Aira menganggukkan kepalanya.
“Iya, Om. Aira ngikut apa kata Om. Sebenarnya Aira juga sangat lapar,” ucapnya sambil menyengir kuda.
“Siap, Tuan Putri.”
Rain tersenyum sambil menatap Aira dari balik kaca spion yang berada di depannya.
Rain lalu melajukan mobilnya ke restoran yang dekat dengan toko buku, agar memudahkannya untuk pergi ke toko buku, untuk membelikan Aira peralatan sekolah.