8. Tangan Dokter Dingin Banget?

1762 Words
"Maya!" "Ya?" Dari arah belakang, terdengar suara Rovi memanggil Maya. Laki-laki itu juga sudah selesai berpakaian dan seperti sudah siap berangkat. Ia tampak tertegun beberapa lama memerhatikan Maya. "Ada apa, Bang?" Maya yang diperhatikan, merasa tidak nyaman. Ia merasa seolah ada yang salah, lalu menilik penampilannya dari atas hingga ke bawah. "May, apa abang sudah mati?" tanya Rovi acak. Maya mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan pertanyaan laki-laki yang baru dikenalnya tadi siang itu. "Maksud, Abang?" "Ini kenapa abang sudah berada di Kayangan? Apa abang sudah mati?" "Heh?" Maya masih menatap bingung. "Ini kenapa ada bidadari berdiri di sini? Berarti ini di Kayangan 'kan?" "Ah, Abang bisa aja." Maya tidak bisa menyembunyikan senyum tersipu malunya setelah paham apa yang Rovi maksud. Ia menunduk, merasakan pipinya yang menghangat atas pujian yang baru saja dilontarkan laki-laki itu. "Benaran, May. Kamu cantik banget. Kalau di Kayangan, kamu itu cocoknya jadi ratunya para bidadari." "Abang berlebihan. Saya enggak secantik itu. Buktinya sampai sekarang enggak ada yang mau." "Masa, sih, enggak ada yang mau?" "Iya." "Jadi kamu masih jomblo?" "Hmm." "Belum punya pacar?" "Ya, begitulah kira-kira." "Abang mau, kok, May. Kebetulan abang juga jomblo. Kamu mau ...." Plak! Sebuah album foto yang sebelumnya tergeletak di atas meja, melayang ke kepala Rovi. Dokter Reza berdiri memegang benda itu usai memukulkannya ke kepala sepupunya itu sembari menatap nanar. Batinnya menggeram, benar-benar buaya kelas komodo! "Apa, sih, Za?" Rovi meringis sambil mengusap kepalanya. "Benjol, nih, gue! Lho, mau tanggung jawab?" ucapnya. "Mau gue kemplang kepala lo sekali lagi?" Dokter Reza bertanya garang. "Lo kenapa, sih?" Rovi masih mengusap-usap kepalanya. "Jurus buaya Lo itu simpan saja untuk gadis-gadis lain di luar sana! Jangan untuk Maya!" "Memangnya kenapa?" "Lo boleh cari korban siapa saja, tapi jangan Maya!" "Iya. Tapi kenapa? Lo cemburu?" "Maya tanggung jawab gue. Gue cuma enggak mau Lo permainkan dia juga kayak gadis-gadis lain yang Lo modusin." "Siapa yang permainkan dia? Gue serius." "Serius pala Lo peyang!" "Lo kenapa, sih, Za?" "Ah, sudahlah! Ayo, May!" Jengkel dengan Rovi, Dokter Reza lekas menarik tangan Maya dan membawanya keluar. Bisa-bisanya laki-laki itu menggombali Maya di depan mata kepalanya. Benar-benar komodo tak punya akhlak! Maya yang sebelumnya begitu bingung memerhatikan tingkah dua laki-laki di hadapannya itu, hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah Dokter Reza. "Za!" Rovi memanggil sepupunya itu tidak kalah jengkel. Namun, Dokter Reza hanya berlalu, tidak menggubris sama sekali. "Za, jangan lupa! Gue mau pinjam Maya abis ini!" lanjut Rovi membuat Dokter Reza semakin bertambah jengkel. Ingin ia layangkan pukulan ke kepala sepupunya itu sekali lagi, bukan pakai album foto melainkan langsung dengan kepalan tangan kekarnya. Mana tahu arwah komodo bisa enyah karena pukulannya. Akan tetapi, ia urung melakukan niatnya, merasa peluang yang dimiliki hanya per sejuta persen. Iya kalau arwah komodo yang enyah, jika Rovi yang enyah bagaimana? Merasa jika meladeni Rovi hanya akan membuatnya semakin kesal, dia memilih diam dan terus menggandeng Maya menuju mobil. "May!" Rovi yang dicuekkan Dokter Reza, akhirnya mengalihkan sasaran pada Maya. "Ya?" Maya menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Rovi, membuat Dokter Reza kian geram. "Habis ini pergi sama abang, ya?" "Masuk, May!" Dokter Reza tidak memberi kesempatan pada Maya untuk menjawab permintaan Rovi. Ia lekas membuka pintu mobil dan meminta gadis itu untuk masuk. "Asem lo, Za!" Rovi mendengkus kesal. Ia menatap Dokter Reza dengan sorot jengkel. Semakin jengkel ketika sepupunya itu sama sekali tidak menoleh sedikit pun padanya, justru melajukan mobilnya. *** "Emang Bang Rovi buaya, Dok?" Setelah mobil yang dikendarai Dokter Reza melaju membelah kota Ngabang, Maya bertanya memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa bertanya begitu?" sahut Dokter Reza tanpa mengalihkan fokusnya dari stir. Sejujurnya, ia sangat malas membahas pasal Rovi. "Tadi Dokter mengatakan Bang Rovi jurus buaya." "Huum." Dokter Reza mengangguk. "Jadi Bang Rovi benaran buaya?" "Penilaian kamu sendiri bagaimana?" "Mmm ...." Maya terdiam sebentar. Ia menerawang ke depan seolah sedang memikirkan sesuatu. "Menurut saya ..., Bang Rovi itu orangnya baik. Enak diajak ngobrol. Terus menyenangkan juga," lanjutnya kemudian. Dokter Reza menghela napas malas. Dia sudah menduga, seperti halnya gadis-gadis lain, Maya pun pasti akan terkesan pada Rovi. Jangankan perempuan, bahkan laki-laki pun akan dengan mudah menyukai sepupunya itu. Dia sebenarnya juga suka saat bersama Rovi. Akan tetapi, kali ini lain perkara. "Terus, kamu suka Rovi?" tanyanya setelah beberapa lama memilih diam. Sebenarnya dia tidak ingin bertanya. Ada rasa tidak senang dalam hatinya menanyakan hal itu. Jujur saja, dia tidak siap jika jawaban yang diberikan Maya, tidak sesuai dengan harapannya. "Ya, suka." Nah 'kan? Dokter Reza merasakan hatinya tiba-tiba panas. "Suka?" tanyanya kecut. "Iya. Bagaimana enggak suka. Dia orangnya ramah banget. Hangat. Enggak kayak Dokter." Dokter Reza mengerutkan dahinya. Dia menoleh sebentar pada Maya dan menatap gadis itu tidak suka. Bisa-bisanya dia dibandingkan dengan Rovi. Sehebat apapun Rovi, dia tidak suka dibandingkan. Apalagi yang membandingkannya itu Maya. Hatinya bertambah panas. "Memangnya kenapa saya?" tanyanya. Nada tidak suka jelas terdengar dari intonasi bicaranya. "Dokter itu judes, dingin, ketus, jutek. Kalau Bang Rovi itu humble." "Saya bukan Rovi!" "Iya, memang! Dokter itu beda seratus delapan puluh derajat dengan Bang Rovi. Kalau Bang Rovi nyenengin, Dokter itu ngeselin." Panas hati Dokter Reza terasa mencapai puncak. Ia menekan habis rem kendaraannya hingga roda empat itu berhenti dan mengeluarkan suara berderit. "Karena saya bukan Rovi, jadi jangan kamu banding-bandingkan!" ujarnya berang. Intonasi suaranya meninggi. "Kalau memang Rovi semenyenangkan itu .... Ya, sudah kamu pergi sama dia saja. Bukannya tadi dia juga ngajak kamu pergi?" "Lho, kok, marah, Dok?" Maya bertanya heran. Apalagi saat melihat wajah Dokter Reza yang memerah. "Saya enggak suka dibanding-bandingkan!" "Ya, enggak maksud membandingkan. Cuma, Dokter 'kan sepupuan sama Bang Rovi. Apa enggak bisa belajar, gitu, dari dia." "Belajar jadi buaya?" "Masa, sih, Bang Rovi buaya?" Dokter Reza memilih diam. Dia tidak mau menjelek-jelekkan sepupunya itu walaupun memang benar begitu adanya. Bagaimana pun mereka saudara. Dia hanya bisa mengumpat dalam hati. Akan tetapi, entah mengumpat pada siapa? Apakah pada Rovi, sepupu yang begitu tidak berakhlak memikat Maya di depan batang hidungnya? Apakah pada Maya, gadis yang secara tidak berperasaan bisa-bisanya memuji pria lain di depan dirinya. Atau mungkin pada dirinya sendiri yang sampai saat ini masih tidak mau mengakui perasaannya? "Belajar bagaimana supaya bisa jadi laki-laki yang menyenangkan, Dok. Bicara hangat. Sikap ramah. Enggak judes." "Abang ... kamu memanggil Rovi Abang?" Tidak menanggapi ucapan Maya, Dokter Reza justru bertanya hal lain. "Iya." "Hebat! Baru juga kenal beberapa jam, sudah memanggil mesra begitu." "Mesra?" Kali ini Maya yang mengerutkan dahinya. "Apa menurut Dokter memanggil dengan sebutan Abang itu mesra? Bukannya itu biasa saja?" tanyanya bingung. "Kalau begitu, saya harus memanggil apa ke Bang Rovi?" Dokter Reza menganjur napas kasar. Ia tidak menyahut, tepatnya tidak tahu harus menjawab apa. Benar kata Maya, sebutan Abang itu sama sekali bukan panggilan mesra. Itu panggilan wajar untuk menyebut laki-laki yang lebih tua. Sebutan Abang tidak sekadar panggilan seorang gadis kepada pacarnya, atau istri kepada suaminya. Bahkan di pasar saja, laki-laki siapapun yang belum terlalu berumur dipanggil Abang. Rovi memang sudah selayaknya dipanggil Abang oleh Maya. Tidak mungkin juga kalau dipanggil Bapak, apalagi Kakek. Akan tetapi, entah kenapa dia tidak suka Maya memanggil Rovi dengan sebutan Abang. Baginya, seolah-olah ada hubungan khusus antara sepupu dan perawatnya itu. "Dok ...." "Hmm." "Dokter kenapa, sih?" "Enggak kenapa-kenapa." "Tapi Dokter kelihatannya uring-uringan." "Enggak, kok. Perasaan kamu saja barangkali." "Apa iya?" "Iya." Maya mengangguk ringan beberapa kali, mencoba menerima jika apa yang disampaikan Dokter Reza memang benar adanya. "Dok ...." Setelah beberapa saat terdiam, ia bersuara kembali. "Hmm." "Dokter benaran, nih, ngizinin saya nemenin Bang Rovi?" "Maksud kamu?" Dokter Reza menatap Maya curiga. "Kalau iya, saya turun, nih, Dok. Berangkat bareng Bang Rovi saja." "Hah?" Dokter Reza mendengkus geram. "Kamu lupa alasan hingga akhirnya bisa sampai di sini?" tanyanya gusar. "Ya, enggak lupa, Dok. Ingat banget malahan." "Apa?" "Nemenin Dokter ke resepsi mantan." Dokter Reza mengembuskan napas kesal. Benar itu alasannya, tetapi tidak harus juga Maya menyebutkannya sedetail itu. Resepsi MANTAN. Terdengar memalukan! "Lalu kenapa sekarang mau pergi sama Rovi?" "Ya 'kan Dokter yang minta barusan." Astaghfirullahal'azim. Dokter Reza mengusap wajah kasar. Dia tidak mengerti apakah perawatnya itu sedang menjahilinya dengan berpura-pura lugu atau memang sifatnya sepolos itu? "Bagaimana, Dok?" Lagi-lagi Maya bertanya bagai tidak berdosa. "Enggak!" Dokter Reza benar-benar gemas. Dia memilih untuk tidak bicara lagi dan kembali melajukan mobil menuju tempat resepsi pernikahan Rumaisha dan Agung. *** "Tunggu sebentar, May." Sesampai di pelataran parkir hotel di mana resepsi pernikahan Rumaisha dan Agung digelar, Dokter Reza menahan gerak Maya yang saat itu bersiap hendak keluar mobil. Ia lantas turun dari roda empat itu, lalu bergegas membuka pintu untuk Maya. "Terima kasih, Dok," ucap Maya lembut sembari tersenyum. Andai saja tidak ingat alasan Dokter Reza mengajaknya hadir, dia pasti sudah merasa tersanjung dengan sikap laki-laki itu Akan tetapi, satu hal yang Maya tidak pernah tahu, jika laki-laki yang sedang bersamanya itu melakukannya bukan karena alasan yang dikemukakan pada awal perjanjian mereka. Dokter Reza melakukannya tulus dan refleks sebagai seorang laki-laki yang perhatian pada seorang perempuan. "Hmm." Dokter Reza menyahut singkat. Bukan karena sengaja, tetapi sejak beberapa hari terakhir, dia selalu merasa gugup setiap hendak bicara dengan Maya. Apalagi tidak jarang jantungnya tiba-tiba berdegup kencang sehingga perlu waktu untuk menetralisir keadaan. Dulu dia selalu bicara ketus pada Maya karena memang ingin melakukannya. Bukan hanya pada Maya, dia selalu bicara dingin dan seadanya pada setiap gadis yang mencoba mendekatinya. Dokter Reza tidak mau ada yang kemudian salah paham dan menyimpan harapan karena kelembutan yang dia berikan. Sekarang rasanya dia ingin memperbaiki sikap dan bicaranya pada Maya. Akan tetapi, entah mengapa ternyata cukup sulit. Seperti saat ini, dia tidak bisa bicara banyak padahal sebenarnyai ingin. "May ...." Dokter Reza memanggil Maya ketika gadis itu hendak melangkah begitu saja menuju ruang resepsi. "Ya, Dok?" Maya menoleh, menatap heran. Dokter Reza berdeham sebentar, lalu melangkah mensejajari posisi Maya. Tangannya tergerak, menggenggam jemari perawatnya itu dan menggandengnya masuk. "Eh, Dok?" Maya menarik tangannya, mencoba melepaskannya dari genggaman sang Dokter. Akan tetapi, genggaman laki-laki di sampingnya itu cukup kencang. Ia tidak berhasil. "Dok?" Maya menatap Dokter Reza, meminta penjelasan atas apa yang laki-laki itu lakukan. "Biar begini saja, May. Sebentar saja. Tidak apa-apa 'kan?" sahut Dokter Reza serak. Jantungnya berdegup benar-benar kencang. Bahkan dia sendiri bisa mendengar suara dari organ penting yang ada di dalam rongga dadanya itu. "Tapi, Dok?" Dokter Reza tidak menggubris ucapan Maya lagi. Dia memilih untuk terus melangkah masuk, menuju ruang di mana resepsi pernikahan Rumaisha dan Agung digelar sambil menggenggam jemari Maya erat. Rasanya dia tidak mau melepaskannya lagi. "Dok." Maya terus mencicit memanggil nama dokternya itu. "Hmm." "Tangan Dokter kenapa dingin banget?" Hah! Dokter Reza menggeram. Dasar perawat uasem .... Apa dia tidak tahu bahwa ini kali pertama dia menggenggam tangan seorang gadis?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD