"Dokter tadi bilang apa?"
Dokter Reza tidak menggubris pertanyaan Maya. Bahkan ketika gadis itu setengah berlari mengejarnya karena penasaran, ia terus berjalan melewati halaman menuju pintu masuk rumah Uwak Jum.
"Dok!"
Maya berusaha mensejajari posisi laki-laki itu, tetapi tetap saja tertinggal beberapa langkah.
"Enggak ada!" Tanpa ekspresi, Dokter Reza menjawab datar. Ia tetap meneruskan langkahnya tanpa berniat sedikit pun untuk menoleh pada gadis di belakangnya itu.
"Ada, Dok. Saya dengar."
"Ya, kalau sudah dengar kenapa bertanya lagi?"
"Saya hanya ingin memastikan apa saya tidak salah dengar."
"Apa indera pendengaranmu benar-benar ada masalah sehingga harus dipastikan tidak salah dengar? Kalau begitu sepulang dari sini, kamu langsung ke THT saja untuk konsultasi medis."
"Dok!"
Maya merengut kesal. Ia merasa dokternya itu semakin menjengkelkan saja. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya semakin menyebalkan.
"Hmm?"
"Tinggal ulangi lagi apa susahnya?"
"Saya tidak suka mengulangi apa yang sudah saya ucapkan!"
"Apa Dokter mau bulan madu sama saya?"
"Heh?"
Dokter Reza menghentikan langkah, lalu membalikkan badan. Ia menatap intens pada Maya yang juga serta merta menghentikan langkah.
"Kamu ngajak saya bulan madu?" tanyanya dengan nada seketika berubah kalem, tetapi nakal. Tatapan intensnya pada Maya kini terlihat aneh.
"Hah?"
Maya tersentak kaget. Respon yang diberikan Dokter Reza benar-benar tidak ia duga. Mengapa justru kalimat itu dikembalikan padanya? Seolah-olah dia yang pertama kali mengucapkannya.
"Bukannya tadi Dokter yang ngomong begitu?" tanyanya gugup dan salah tingkah.
"Apa iya?" tanya Dokter Reza sambil terus menatap intens, membuat Maya semakin salah tingkah.
"Iya."
"Saya tidak ingat."
"Dok, tadi kan ...."
"Kalau kamu memang mau kita bulan madu, ayo. Saya sama sekali tidak keberatan. Justru merasa senang dan sangat diuntungkan."
Dokter Reza tidak memberi kesempatan pada Maya untuk melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia bahkan sengaja mengulas senyum yang memberi kesan messum untuk menggoda perawatnya itu. Ditambah tatapan yang juga semakin aneh membuat Maya menjadi merinding.
"Boleh saja bulan madu, tapi kita harus nikah dulu, Dok," balas Maya berusaha untuk menguasai diri. Dia tidak ingin terlihat tersudut, yang mungkin akan membuat dokternya itu merasa menang.
"Kalau nunggu nikah dulu kelamaan, May. Sekarang saja. Mumpung ada kesempatan kita sedang pergi berduaan."
"Hah?"
Kembali Maya tersentak. Ia benar-benar tidak menyangka Dokter yang selama ini selalu cuek padanya itu punya sisi lain.
Messum!
"Bagaimana?" Dokter Reza merapatkan langkah mendekat pada Maya. Gadis itu meneguk ludah, terpaku menatap wajah tampan yang semakin tak berjarak dengannya.
"Ogah!" Seperti tersadar, ia mendorong tubuh Dokter Reza yang terus mendesaknya mundur dengan keras.
"Kenapa?"
Tenaga Maya sama sekali bukan tandingan Dokter Reza. Tubuh kekar laki-laki itu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ia bahkan semakin merapatkan jarak.
"Ogah, ya, ogah!"
"Tadi katanya mau."
"Otak Dokter sepertinya sudah korslet. Tiba-tiba berubah messum!"
"m***m, tapi kamu suka 'kan?"
"Enggak!"
Kembali Maya mendorong tubuh Dokter Reza dengan kuat. Kali ini, laki-laki itu tidak menahan. Ia membiarkan tubuhnya tersurut mundur.
Dokter Reza menahan senyum geli. Ia bahkan terkekeh ringan setelah membalikkan badan. Apalagi ketika mengingat wajah Maya yang memerah. Ia merasa begitu puas bisa menggoda gadis itu.
***
"Jadi kamu baru pertama kali ini ke Ngabang?"
"Iya."
"Padahal Pontianak-Ngabang itu enggak jauh, ya."
"Iya. Sebenarnya sudah lama pengen jalan-jalan ke sini. Tapi, bingung ke sininya nanti bagaimana dan sama siapa."
"Sekarang 'kan sudah tahu rumah ini. Jadi nanti kalau mau ke Ngabang ke sini saja."
"Iya."
"Kalau benaran mau ke Ngabang, kamu chat abang. Nanti abang bisa jemput."
Dokter Reza menusukkan garpu dengan kasar pada kerupuk basah, hidangan yang ada di hadapannya, lalu menggigitnya dengan gusar. Matanya mendelik tajam ke arah teras, memerhatikan Maya dan Rovi--sepupunya--yang sedang asyik bercengkrama.
"Dasar buaya! Enggak boleh lihat jidat licin dikit!"
Ia menggerutu geram.
Lima lengkung kerupuk basah yang tadi disajikan Uwak Jum untuk menyambut kedatangannya dengan Maya, nyaris habis olehnya tanpa sadar. Dia memang suka makanan khas dari Kapuas Hulu itu. Akan tetapi, sesuka apapun biasanya dia hanya mampu makan satu lengkung saja, sebab itu sudah membuatnya merasa kenyang.
Hatinya begitu panas melihat Maya dan Rovi begitu akrab bercengkrama, bahkan tertawa ria seolah sudah lama saling mengenal.
Seharusnya tadi ia berpura-pura saja mengaku Maya sebagai pacar saat Uwak Jum menanyainya, supaya si Buaya Rovi itu tidak seenaknya tebar pesona.
"Ini calon kamu, Za. Wah, cantiknya," ucap Uwak Jum saat tadi pertama mereka datang.
"Bukan, Wak. Ini Maya, perawat yang membantu saya di Poli," sangkalnya.
"Umur kamu sudah tiga puluh, Za. Tidak perlu malu-malu begitu. Kalau memang dia calon kamu, jujur saja. Kami semua justru merasa senang."
"Tidak malu, Wak. Tapi, benar saya dan Maya tidak ada hubungan apa-apa. Kecuali hanya rekan kerja."
"Tidak ada hubungan apa-apa, tapi kalian berduaan ke sini?"
"Kebetulan kami ada undangan pernikahan teman di sini. Jadi, ya, harus ke sini berdua."
"Oh, begitu. Ya, sudah tidak apa-apa."
"Iya, Wak."
"Nanti kamu tidur di kamar Rovi, biar Maya di kamar tamu."
"Iya, Wak."
"Kalian istirahatlah dulu. Uwak masih ada yang harus diselesaikan."
"Baik, Wak."
"Kalau lo enggak mau, biar gue saja yang maju. Gadis secantik dia, sayang sekali jika harus dilewatkan."
Tiba-tiba sepupunya, putra dari Uwak Jum itu sudah berdiri di sampingnya, berbisik tepat di sisi telinganya. Dan di sanalah sepupu yang dia gelari buaya itu sekarang berada, begitu asyik tertawa ria bersama Maya. Bahkan dengan tanpa merasa bersalah, meninggalkan dirinya sendirian di ruang tamu, menonton tingkahnya yang menyebalkan.
"Kamu chat abang saja, nanti abang yang jemput." Ia menirukan bicara Rovi dengan ekspresi mengenyek. Bibirnya mencebik jengkel.
"Abang dari Hongkong!" gerutunya lagi.
Usia Reza sebaya dengan Rovi. Hanya beda beberapa bulan di mana Rovi lebih muda. Keduanya masih sama-sama belum menikah. Bedanya, jika Reza belum menikah karena masih terikat perasaan dengan Rumaisha. Sementara Rovi masih asyik berpetualang.
"Menikah itu sekali. Jadi harus benar-benar seleksi agar tidak menyesal nantinya."
Itulah kalimat yang selalu Rovi ucapkan setiap orang tuanya bertanya tentang pernikahan. Secara pekerjaan, Rovi juga sudah mapan. Ia bekerja sebagai ASN di kantor pemerintahan daerah kota ini.
"Nanti kalau kamu ke sini lagi, abang ajak jalan-jalan. Kabupaten Landak terkenal dengan banyak air terjunnya yang memukau. Yakin, deh, kalau kamu ke sana, pasti rasa enggak pengen pulang."
"Heh!"
Dokter Reza kembali mencebik saat suara Rovi kembali terdengar. Terlebih saat dilihatnya Maya menyahut antusias, ia merasa geram.
"Oh, ya?"
"Iya."
"Dari sini jauh enggak?"
"Tergantung mau ke air terjun mana. Tapi, semakin jauh justru air terjunnya semakin bagus."
"Masa?"
"Iya. Tapi air terjun Riam Dait, sekitar satu jam dari sini juga bagus. Air terjunnya unik, ada tujuh tingkat."
"Wow, keren!"
"Makanya nanti agendakan lagi waktu khusus ke sini. Supaya abang bisa ajak kamu jalan-jalan."
Dokter Reza sudah tidak mampu lagi menahan diri. Laki-laki itu segera bangkit dan melangkah lebar menuju teras.
"Maya!" Suaranya lantang menggema.
"Heh! Iya, Dok?" sahut Maya terkejut. Tubuhnya bahkan berjengkit karena kaget. Ia serta merta menoleh ke sumber suara di mana Dokter Reza berada.
"Kamu istirahat! Nanti malam kita harus ke undangan! Saya enggak mau kamu kecapekan!" titahnya.
"Saya enggak capek, Dok. Cuma ke undangan doang 'kan? Bukan mendaki gunung? Amanlah," balas Maya ringan tanpa merasa bersalah, membuat Dokter Reza kian dongkol.
"Istirahat, Maya!" serunya ketika Maya tidak mau menuruti ucapannya. Suaranya seketika meninggi.
"Tapi saya masih pengen ngobrol, Dok. Lagi pula di mobil tadi saya sudah banyak tidur. Jadi enggak ngantuk."
"Pokoknya kamu istirahat mau ngantuk atau enggak! Saya yang ajak kamu ke sini. Saya enggak mau sepulang nanti jadi sasaran kemarahan Bapak sebab kamu sakit karena kecapekan!"
Gusar, Dokter Reza langsung saja menarik tangan Maya dan membawanya ke kamar tamu. Ia tidak menggubris ketika Maya protes.
"Saya enggak capek, Dok. Saya sudah kebanyakan tidur tadi. Saya mau jalan-jalan lihat kota Ngabang sama Bang Rovi."
"Nanti malam jalan sama saya setelah kita dari undangan!"
Bruk!
Pintu ditutup kasar setelah Maya dipaksa masuk. Dokter Reza mengembuskan napas kasar. Ia tidak peduli ketika Maya masih protes dari dalam sana.
"Lo kenapa, sih, Za? Cemburu?" Rovi berdiri sambil bersedekap tidak jauh dari kamar tamu. Matanya menatap Dokter Reza penuh selidik.
"Cemburu kepala lo? Maya itu tanggung jawab gue. Gue yang ajak dia ke sini. Jadi jangan lo modusin!" Dokter Reza berlalu meninggalkan kamar tamu, melangkah menuju kamar pribadi Rovi. Sementara Rovi mengekor di belakang.
"Siapa yang modusin?"
"Lo! Enggak mungkin gue. Dasar buaya. Enggak boleh lihat jidat licin!"
"Gue suka Maya."
"Heh! Baru beberapa menit sudah bilang suka! Dasar buaya kelas Komodo!"
"Lo kalau suka Maya terus terang saja, Za."
"Bukan urusan lo."
"Cemburu bilang."
"Diem! Sana Lo pergi! Jangan ganggu gue! Gue juga mau istirahat!"
"Eh, Lo lupa itu kamar gue?"
"Bodo amat!"
Dokter Reza mengunci pintu dari dalam setelah ia masuk, meninggalkan Rovi di luar.
"Oke! Lo tidur saja sendiri. Gue bisa tidur di kamar tamu," seru Rovi lantang.
"Eh! Asem, lo! Ya, udah tidur sini!"
Rovi terkekeh menang ketika Dokter Reza dengan gusar membuka pintu, lalu menariknya masuk ke kamar.
***
Bakda magrib, Dokter Reza mematut diri di depan cermin. Dia akan ke resepsi pernikahan Rumaisha bersama Maya sebentar lagi. Pakaian semi formal bernuansa hitam yang sudah disiapkan sejak semalam, melekat pas di tubuhnya. Tidak bermaksud narsis, tetapi dia meyakini jika fisiknya boleh dikatakan sempurna.
Tubuhnya tinggi kekar dengan otot-otot yang liat. Kulitnya bersih. Perpaduan setiap gurat wajah yang ia miliki menjadikannya sebagai lukisan Sang Pencipta yang begitu indah.
Dibandingkan Rovi, jelas ia lebih tampan. Akan tetapi, Rovi memiliki kelebihan dalam bertutur kata. Ia mampu menciptakan suasana yang membuat para kaum hawa selalu terkesan setiap bersamanya. Rovi selalu bisa menciptakan topik pembicaraan dan tidak pernah kehabisan ide. Ia juga sangat pandai memuji. Gadis mana yang tidak senang dipuji? Bahkan jika itu hanya bualan belaka.
"Lo sama Maya undangannya lama enggak, Za?"
Rovi yang baru keluar dari kamar mandi, bertanya. Laki-laki itu melangkah mendekati Dokter Reza sambil mengeringkan sisa-sisa titik air di tubuhnya dengan handuk yang ada di tangannya. Berjarak beberapa kaki, ia menghentikan langkah.
"Lama atau sebentar, bukan urusan lo!" sahut Dokter Reza ketus. Jujur, ia masih kesal dengan sikap sok kenal sok dekat sepupunya itu pada Maya. Dia tidak suka Rovi mendekati Maya.
"Gue juga ada undangan malam ini," sahut Rovi pelan. Ia lalu menghenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur yang ada di sampingnya, mengusap-usapkan handuk pada rambutnya yang masih basah.
"Gue enggak nanya!"
"Lo sama Maya jangan lama-lama, ya, perginya."
Dokter Reza menatap sepupunya itu tidak mengerti. Keningnya tampak berkerut.
"Memangnya kenapa?" tanyanya.
"Gue mau pinjam dia bentar buat nemani gue ke undangan juga."
"Enak aja! Lo pikir Maya barang yang bisa dipinjam seenaknya!" Dokter Reza menyahut geram.
"Bentar aja, Za."
"Enggak!"
"Za!"
"Enggak!"
"Pelit lo!"
"Biarin!"
"Bukan pacar lo juga!"
"Bukan juga seenaknya lo pinjam!"
"Za!"
"Apa lo sudah kehilangan pamor buat gaet cewek-cewek sehingga harus pinjam Maya segala!"
"Gue maunya Maya, Za!"
"Dan gue enggak izinin. Jangan pernah dekati Maya!"
Setelah meyakini penampilannya paripurna, Dokter Reza segera keluar tanpa menggubris lagi ucapan Rovi. Ia melangkah menuju kamar tamu, hendak mengetahui apakah Maya sudah siap atau belum.
Sambil melangkah, ia menghela napas kasar. Seharusnya dia ingat di rumah ini ada buaya darat, jadi semestinya menolak saja permintaan Arumi untuk menginap di sini.
"May, kamu sudah siap belum?"
Setelah merapikan penampilannya sejenak, Dokter Reza mengetuk pintu kamar tamu.
"Sebentar lagi, Dok!"
Suara lembut Maya terdengar dari dalam. Dokter Reza merasakan sebuah desiran halus menjalar di seluruh aliran darahnya, menggelitik sekujur tubuhnya hanya ketika mendengar suara itu. Seketika ia merasa gugup dan salah tingkah. Dadanya berdebar. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Huh!
Sepertinya sepulang dari Ngabang, dia juga harus konsultasi medis ke dokter saraf dan jantung sekaligus. Dua organ penting dalam tubuhnya itu benar-benar sedang tidak beres.
"Saya tunggu di ruang tamu, ya, May."
"Iya, Dok."
Dokter Reza lantas meninggalkan kamar tamu di mana Maya berada. Ia melangkah perlahan ke ruang tamu dan menghenyakkan tubuhnya di sofa. Laki-laki itu memejamkan mata, meresapi apa sebenarnya perasaannya pada Maya.
Hasratnya untuk memiliki gadis itu, merasa panas ketika Rovi mencoba mendekatinya, menunjukkan jika dirinya mungkin benar-benar telah menyukai perawatnya itu. Akan tetapi, apakah dia perlu memberi tahu Maya? Bagaimana cara mengatakannya? Apakah Maya juga mempunyai perasaan yang sama?
Benar jika selama ini Maya kerap menggodanya. Namun, hal itu bukan jaminan jika gadis itu benar-benar menyukainya juga. Bagaimana jika Maya menolak? Haruskah dia mengalami patah hati untuk kedua kali? Lagi pula, mau disimpan di mana mukanya jika sampai dia ditolak oleh perawatnya sendiri?
Akan tetapi, jika tidak disampaikan, rasanya dadanya sesak menahan perasaan sendiri.
Sesak hingga rasanya sangat sakit di dalam.
Bagaikan buah simalakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah.
Perasaannya pada Maya, disampaikan malu, tidak disampaikan membuat sesak.
Disampaikan malu, tidak disampaikan nanti diembat komodo.
Argh .... Angel!
"Ayo, Dok. Saya sudah siap."
Suara lembut Maya mengejutkan lamunannya. Ia sontak membuka mata.
"May ...." sapanya gugup. Bibirnya bahkan sampai bergetar menyebut nama perawatnya.
Shit!
Ia mengumpat dalam hati.
Maya, mengapa dia harus make up-an segala?