5. Halal?

1137 Words
"Saya akan menjaga kepercayaan Om dan Tante. Saya berjanji akan membawa Maya pulang dalam keadaan sebagaimana saya menjemputnya sekarang," ucap Dokter Reza. Dia mengakui jika dirinya bukanlah laki-laki yang sholeh. Namun, untuk melampaui batas lebih jauh, dia masih ingat dosa. "Bapak pegang janji, Dokter." "Siap." *** Setelah mendapat ijin dari kedua orang tua Maya, keduanya berpamitan untuk segera berangkat. Mereka melangkah menuju mobil dengan Dokter Reza berjalan di posisi depan. Sesampai di mobil, Maya bersiap hendak membuka pintu bagian belakang. "Kamu mau ngapain?" Dokter Reza bertanya lantang. Maya bahkan sampai berjengkit karena terlampau kaget. Suaranya dokter Reza bahkan mirip sebuah hardikan dibandingkan pertanyaan. Gadis itu serta merta melepaskan tangannya dari gagang pintu. Ia menatap Dokter Reza dengan tubuh gemetar sembari menelan ludah. Jantungnya bahkan berdegup sangat kencang. Antara takut dan terkejut. "Mau masuk, Dok," sahutnya dengan suara bergetar akibat jantungnya yang masih berpacu cepat. Ada rasa sesal di hati Dokter Reza mendapati raut pucat Maya. Apalagi saat melihat bibir gadis itu tampak gemetar saat bicara. Ingin rasanya dia menghampiri dan merengkuhnya sambil meminta maaf. Akan tetapi, egonya menolak. "Kamu pikir saya sopir kamu sehingga kamu duduknya di belakang?" Alih-alih menuruti kata hatinya, ia kembali bertanya ketus. "Terus saya harus duduk di mana, Dok?" tanya Maya polos. Ia benar-benar bingung harus duduk di mana. Dokter Reza berdecak kasar. Lalu dengan gerak cepat, ia membuka pintu depan samping kemudi untuk perawatnya itu. "Masuk!" ucapnya ketus seperti biasa. "Saya duduk di situ?" tanya Maya sambil menatap tidak percaya. "Iya!" "Benaran, Dok?" "Iya! Memangnya kenapa?" "Saya duduk di samping Dokter?" Maya masih tidak percaya. "Iya, Maya .... Lantas kamu mau duduk di mana lagi?" "Ya, sebenarnya duduk di situ mau banget, Dok." "Ya, sudah. Masuk!" "Tapi ...." "Tapi apa lagi, Maya? Ada masalah?" "Masalah banget, Dok?" "Apa masalahnya?" "Saya takut sesak dan enggak bisa napas kalau lama-lama duduk di dekat Dokter." Dokter Reza tercenung sesaat mendengar penuturan Maya. Lalu seulas senyum tipis terukir mewarnai bibir manisnya. Ia merasa sudut hatinya menghangat karena pengakuan gadis yang sejak beberapa waktu lalu mulai mencuri isi pikirannya itu. Entah mengapa, hatinya begitu senang mengetahuinya. "Dokter, kok, senyum? Dokter juga senang, ya, duduk dekat saya?" tuduh Maya jahil. "Apaan, sih, kamu? Ngaco! Ayo masuk!" Menutupi rasa malu karena tertangkap basah, Dokter Reza kembali memasang raut ketus. "Eh, benaran, Dok. Nanti saya enggak bisa napas bagaimana?" "Saya dokter. Saya bisa kasih napas buatan untuk kamu." "Hah?" Maya menggeleng spontan mendengar jawaban Dokter Reza. Ia bergidik spontan saat otaknya Travelling membayangkan bagaimana laki-laki di sampingnya itu memberikan napas buatan untuknya. Bibir dokter pujaannya itu menyentuh bibirnya .... Ah, ya ampun. Justru ia sesak duluan membayangkannya. "Jangan, deh, Dok," balasnya kemudian. "Kenapa?" "Bukan mahram." "Ya, makanya jangan pingsan." Laki-laki itu menutup pintu setelah Maya memutuskan masuk. Ia kemudian melangkah cepat menuju pintu kemudi. Jujur, benaknya juga traveling membayangkan memberi napas buatan untuk Maya. Jantungnya tak kalah berdegup kencang tidak karuan. Bahkan ia sudah merasa sesak duluan. Laki-laki itu menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam mobil, mengambil persediaan oksigen sebanyak mungkin agar tidak benar-benar sesak. "Pakai sabuk pengaman kamu!" titahnya ketus setelah duduk di kursi kemudi. Ia juga segera memasang sabuk pengaman untuk sendiri. "Iya, Dok," balas Maya patuh. Gadis itu segera menarik sabuk, hendak memasangnya. "Bisa enggak?" tanya Dokter Reza ketika melihat Maya sedikit kesulitan. "Bisa, Dok. Tapi ini agak susah," sahut Maya. Ia kembali berusaha menarik sabuk yang seperti tersangkut sehingga sulit untuk dipasang. "Sini, saya bantu!" Dokter Reza segera mendekat ke arah Maya, lalu menunduk untuk membantu gadis itu menarik sabuk. Tangannya gemetar, apalagi saat memasang kait di pinggang Maya. Aroma tubuh perawatnya itu terhidu jelas di indera penciumannya, masuk mengikuti aliran darahnya sehingga membuat jantungnya kembali berdegup kian cepat. Hati laki-laki itu mengumpat. Shit! Dia benar-benar sesak napas sebelum gadis di sampingnya itu mengalaminya. "Sudah," ucapnya serak. Dia tidak mampu mengontrol nada bicaranya lagi. Maya yang sebelumnya khawatir akan sesak napas, justru dirinya yang lebih dulu mengalami. "Terima kasih, Dok. Seharusnya Dokter tidak usah membantu. Saya bisa sendiri. Cuma tadi agak sedikit keras saja tarikan sabuknya," ucap Maya. Gadis itu tidak perlu ditanya lagi bagaimana perasaannya berada dalam jarak yang sangat dekat dengan dokter pujaannya. Tentu saja organ jantungnya bertalu lebih kencang. Bedanya, dia tidak merasa perlu untuk malu-malu dan menutupi perasaan seperti yang dokter Reza lakukan. "Hmm." Dokter Reza hanya menggumam singkat menyahuti ucapan Maya. Dia sibuk menetralkan aliran darahnya yang masih melaju cepat. Selanjutnya, laki-laki itu mulai menyalakan mesin dan menjalankan roda empatnya. "Kamu sudah sarapan?" tanyanya berusaha untuk mengalihkan perhatian. Terus menerus diam membuatnya merasa semakin salah tingkah oleh perasaan sendiri. "Sudah, Dok. Apa Dokter belum sarapan?" "Saya juga sudah sarapan. Berarti sekarang kita langsung ke Ngabang? Enggak perlu mampir kemana-mana lagi?" "Iya, Dok." "Oke." Dokter Reza mengarahkan mobil ke jalan menuju Ngabang. Setelah memastikan kondisi lengang dan kendaraan yang dibawa melaju dengan stabil, laki-laki itu menyetel musik untuk mengurangi rasa canggung yang tidak kunjung enyah dari dirinya. Sebuah lagu lawas dari George Benson, Nothing's Gonna Change My Love For You mengalun lembut. "Lagunya enak, Dok," ujar Maya memecah kebisuan. Ia menoleh pada Dokter Reza di sampingnya, lalu tanpa sungkan mengulas senyum lepas dari bibir tipisnya. Begitu saja, ceruk di pipinya terbentuk, semakin menambah manis senyum yang ia miliki. "Hmm." Dokter Reza menggumam setuju. Sebenarnya ingin dia menyambut ucapan Maya dengan kalimat yang lebih panjang, misalnya sekadar, "Iya, kamu suka?" Sambil balas menoleh dan melebarkan senyum, menikmati ceruk pipi Maya dengan leluasa tanpa harus curi-curi melirik dari ekor mata. Namun, antara malu dan gengsi, ia memilih bersikap cuek dan tidak acuh. "Tapi saya suka yang cover terbaru, Dok. Dari Shania Yan. Saya suka suaranya. Lembut." "Apa ini enggak lembut?" balas Dokter Reza datar. Pandangannya masih lurus ke depan, tanpa sedikit pun menoleh pada gadis di sampingnya. "Ya, lembut juga, sih, Dok. Tapi enggak tahu kenapa saya lebih suka aja versi Shania Yan." Dokter Reza tidak menjawab. Tangannya tergerak mengotak-atik tape recorder mobilnya, lalu tidak berapa lama mengalun kembali lagu yang sama, tetapi dari versi berbeda. "Wah, Dokter juga punya versi Shania Yan?" Maya berseru girang. Ia benar-benar surprise jika laki-laki ketus di sampingnya itu mau mengganti lagu sesuai yang ia mau. "Hmm," balas Dokter Reza datar, "Katanya kamu suka yang itu. Jadi putar versi itu saja." "Wah, terima kasih, Dok." "Hmm." Dokter Reza melirik Maya yang tersenyum girang. Diam-diam, kedua sudut bibirnya terangkat. Senyum sembunyi-sembunyi menghias bibirnya. Melihat perawatnya itu begitu bahagia, hatinya pun tak kalah bahagia. Padahal sebenarnya dia suka versi yang asli. Lagu itu dulu sering dia putar sebagai curahan perasaannya pada Rumaisha. Wajah gadis kecil masa lalunya itu begitu saja membayang tatkala lirik demi lirik terurai. Namun, saat ini tanpa dia sadari tidak ada lagi bayang Rumaisha. Yang ada hanya buncah bahagia oleh ceruk pipi gadis yang saat ini sedang bersamanya. Ingin sekali dia menangkup pipi lembut itu, lalu menatap sepuasnya. Akan tetapi tahan ... belum halal. Eh, halal?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD