4. Memikirkan Hal yang Sama

1393 Words
Dokter Reza bangun lebih awal dari biasanya. Bahkan sebelum masuk waktu subuh laki-laki itu sudah membersihkan diri di kamar mandi. Padahal biasanya alarmnya sudah berdering beberapa kali, dia masih berlayar di alam mimpi. Tanpa sadar, bibirnya tak henti bersenandung riang saat sedang menyabuni tubuh. Dia tidak bisa memungkiri hatinya begitu bahagia membayangkan akan bertemu Maya. Rasanya dia sudah tidak sabar untuk menunggu pagi. Setelah menunaikan sholat subuh, laki-laki itu mengemas barang pribadi yang akan dibawa ke Ngabang. Pakaian semi formal mengandung nuansa hitam dipilih untuk menghadiri acara resepsi Rumaisha, disesuaikan dengan gaun yang akan dikenakan Maya. Untuk pakaian ganti, ia pilih kaos berwarna most green dengan dengan kerah V-Neck dan celana jeans hitam. Sementara untuk outfit hari ini, dia pilih kaos berkerah warna hitam dan celana panjang Rhinos deep grey. Kedua kaos yang dipilih press body terutama pada bagian lengan. Otomatis mempertontonkan otot lengannya yang besar dan liat. Dia tidak tahu mengapa ingin tampil sempurna di depan Maya, yang menurutnya dapat direalisasikan dengan dua outfit yang dipilih. "Rapi sekali kamu, wangi lagi." Di meja makan saat sarapan, Fahrurrozi, ayahnya memerhatikan dengan sorot mata curiga dan penuh selidik. "Sedang jatuh cinta, ya?" tanya laki-laki 58 tahun itu ingin tahu. Dokter Reza yang saat itu sedang menyeruput teh hangatnya, sedikit terbatuk mendengar pertanyaan ayahnya. Setelah menguasai diri, ia mencoba menjawab dengan tenang. "Perasaan Ayah saja barangkali. Orang saya hanya pakai kaos seadanya," sahutnya. "Iya, sih. Tapi, apa, ya? Ayah merasa ada yang beda saja. Benar enggak, Bun?" Fahrurrozi mengalihkan pandangan pada Arumi, istrinya, wanita yang telah melahirkan dokter Reza. Ia berharap mendapat dukungan dari wanita itu tentang apa yang dipikirkannya. "Iya. Bunda juga merasa begitu, Yah. Tapi, apa, ya?" Arumi memindai penampilan dokter Reza. Memang benar penampilan putra sulungnya itu biasa saja, tetapi dia merasa memang ada sesuatu yang beda. Entah apa. "Kalian berdua aneh," imbuh Dokter Reza. Ia mengambil satu helai roti tawar, mengoleskan selai kacang pada salah satu sisinya, menumpukkan helaian roti tawar yang lain di atasnya, lalu memakan satu gigitan. Sebenarnya dia merapikan rambutnya di salon langganannya tadi malam, sekalian membersihkan semua rambut-rambut halus yang ada di wajahnya. Potongan rambutnya berbeda dari biasa, lebih kekinian, itulah kunci penampilannya yang tampak berbeda hari ini. Dalam hati, dia bersorak senang atas pujian kedua orang tuanya. Artinya, rencana untuk tampil sempurna di depan Maya tidak sia-sia. Ah, dia benar-benar tidak mengerti ada apa dengan dirinya. "Mungkin benar dia sedang jatuh cinta, Yah. Jadi walau penampilannya seperti biasa, tapi auranya beda," ucap Arumi kemudian. "Nah, benar, Bun. Sepertinya begitu." "Alhamdulilah kalau begitu, Yah. Akhirnya doa kita Allah kabulkan." "Iya. Alhamdulilah." "Ayah dan Bunda bicara apa, sih?" Dokter Reza menghentikan kunyahannya. Dia menatap kedua orang tuanya dengan dahi berkerut. Sejatinya dia bingung dengan perasaannya sendiri, antara membenarkan dan ingin menampik. Sebab, perasaannya pada Maya belumlah jelas maknanya. "Ayah dan Bunda membicarakan kabar baik, Za," sahut Arumi. Wanita itu tersenyum lembut memerhatikan raut putranya yang tampak bingung. Namun, dia yakin dengan nalurinya sebagai seorang ibu. "Jadi kapan kamu mau mengenalkan dia pada kami," tambahnya lagi. Dokter Reza menghela napas panjang. Ia bimbang. Sejatinya ia belum bisa menerjemahkan perasaannya pada Maya. Walau tidak menampik jika mulai menyimpan perhatian pada gadis itu. Namun, apa mungkin itu adalah cinta? Jika nama Rumaisha saja masih belum lepas dari pikirannya. Lagi pula, dia masih belum berpikir untuk melangkah lebih jauh. "Tidak ada yang mau dikenalkan, Bun," sahutnya pelan. Dia tahu jawabannya ini akan mengecewakan dua orang yang telah berjasa mengantarnya ke dunia itu, seperti pembicaraan-pembicaraan mereka sebelumnya. Oleh karena itu, dia menunduk. Tidak berani menantang tatap keduanya. "Jangan lama-lama, Za. Jangan banyak pikir. Nanti keburu diambil orang. Menyesal kemudian tiada berguna." Di luar dugaannya, bundanya justru menyahut santai. Rautnya tetap ceria, tidak berubah sendu seperti biasanya. Demikian pula ayahnya. Dia menatap heran kedua orang tuanya itu. "Kamu bisa berkilah, Za. Tapi naluri kami sebagai orang tuamu tidak bisa kamu kelabui." Dokter Reza menghela napas pasrah, "Terserah Ayah sama Bunda saja," ucapnya pelan. *** "Saya jemput kamu sekarang. Siap-siap!" Usai sarapan, Dokter Reza pamit kepada Fahrurrozi dan Arumi untuk langsung berangkat ke Ngabang. Ia mengirim pesan kepada Maya sebelum bertolak menjemput gadis itu. Jantungnya berdegup kencang ketika memikirkan akan bertemu Maya. Hatinya berdebar, geli bagai dikelitik. Dokter Reza menghela napas panjang. Benarkah dia sudah jatuh cinta pada Maya seperti yang dikatakan kedua orang tuanya? "Iya, Dok. Saya sudah siap sejak tadi." Balasan dari Maya masuk ke ponselnya. Kedua sudut bibirnya serta merta terangkat, menerbitkan senyum ceria di wajahnya. Ia lantas menyalakan mesin mobil, lalu mengarahkan kendaraan itu menuju kediaman Maya. "Pamit ke orang tua saya dulu, ya, Dok," pinta Maya ketika dia sampai di tujuan. "Kamu belum bilang?" "Sudah. Tapi, saya minta Dokter juga pamit secara langsung." "Iya." Dokter Reza mengangguk. Dia mengatur napas sebelum masuk menemui kedua orang tua Maya. Entah mengapa tiba-tiba cemas menguasai hatinya. Khawatir jika tidak diijinkan membawa Maya. Sangat mungkin itu terjadi, sebab jarak Pontianak Ngabang tidaklah dekat. Apalagi jika mereka hanya menempuh perjalanan berdua. Rasanya dia tidak siap kecewa jika tidak memperoleh ijin. Namun, bukan karena tidak bisa menghadiri acara resepsi pernikahan Rumaisha. Melainkan lebih dari itu, dia merasa kecewa sebab tidak bisa melakukan perjalanan bersama gadis itu. Hah! Benar-benar sulit dimengerti. Dokter Reza benar-benar bingung dengan perasaannya. "Ngomong-ngomong kamu bilang apa ke orang tuamu?" tanyanya sambil melangkah mengikuti Maya masuk. "Ya, saya bilang kita mau menghadiri acara resepsi pernikahan teman," sahut Maya. "Oke." Dokter Reza mengangguk. Di ruang keluarga, kedua orang tua Maya sedang duduk bersama menyaksikan acara televisi. Adik laki-laki Maya juga ada di sana. "Bapak, Ibu, ini Dokter Reza." Maya mengenalkan laki-laki yang bersamanya pada kedua orang tuanya. "Assalamu'alaikum, Om, Tante." Dokter Reza menyapa ramah. Laki-laki itu tersenyum sambil sedikit membungkukkan badan, lalu melangkah menyalami kedua orang tua Maya. "Waalaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh. Duduk, Dokter," balas kedua orang tua Maya tidak kalah ramah. "Terima kasih, Om, Tante." Dokter Reza duduk pada salah satu kursi kosong yang ada di sana. "Maaf, Om, Tante. Kedatangan saya ke sini, untuk meminta ijin mengajak Maya ke Ngabang, menghadiri acara resepsi pernikahan teman kami," ucapnya langsung pada pokok persoalan. Jantungnya berdegup tidak karuan, harap cemas menunggu jawaban. "Ya, Maya sudah bicara sebelumnya." Yahya, bapak Maya mengangguk paham. "Sebelumnya saya mau tanya, kalian pacaran?" tanya laki-laki 53 tahun itu. "Bapak, Maya 'kan sudah bilang kalau kami enggak pacaran," sungut Maya. Ia tidak terima pertanyaan yang diajukan Yahya. "Iya. Kamu sudah bilang. Tapi bapak perlu cek silang," balas Yahya. "Bapak enggak percaya sama Maya?" "Bukan enggak percaya. Hanya memastikan saja." "Sama saja enggak percaya." "Jadi Dokter dan anak saya pacaran apa tidak?" Yahya kembali bicara pada Dokter Reza, mengabaikan Maya yang merengut. Dokter Reza berdeham, lalu menelan ludah untuk membasahi kerongkongan yang terasa kering sebelum menjawab. "Untuk sekarang memang benar kami tidak pacaran, Om. Tapi enggak tahu ke depannya," ucapnya. "Dok?" celetuk Maya spontan. Dahinya mengernyit menatap laki-laki itu heran. Beberapa waktu lalu di depan Andre dia juga dibuat heran karena dokter Reza mengenalkan diri sebagai pasangannya. Lalu sekarang di depan orang tuanya laki-laki itu berkata demikian. Apa maksudnya? "Ya, kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya 'kan?" balas Dokter Reza sedikit salah tingkah. Dia sendiri tidak paham mengapa tiba-tiba ingin mengeluarkan kalimat itu. "Dokter ada rencana mau memacari saya?" tanya Maya gamblang. "Huss! Maya!" Maira, ibu Maya mengingatkan putrinya untuk tidak bicara blak-blakan. "Ya dia aneh aja, Bu," sungut Maya. Ia sedikit kesal sebab andai Reza dan kedua orang tuanya tahu perasaannya pada laki-laki itu. Ucapan Dokter Reza barusan seolah membuka harapan untuk perasaannya itu, tetapi sayang hanya harapan palsu. Dan itu rasanya menyakitkan. "Begini, Dokter. Mengapa saya bertanya begitu, sebab kami pun pernah muda. Jika kalian pacaran dan pergi berduaan dalam jarak yang jauh, jujur saja kami khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sebenarnya bapak dan Ibu tidak mengijinkan pada awalnya. Tapi, Maya memaksa dan berjanji bisa menjaga diri." Dokter Reza mengangguk paham apa yang dimaksud bapak Maya. Jika ada sepasang anak manusia berduaan, maka yang ketika adalah setan. Akan tetapi, dia tidak bisa mengajak orang lain untuk turut serta bersama mereka. Dia perlu sosok Maya untuk menjadi pasangan pura-pura di acara resepsi pernikahan Rumaisha dan tidak ingin orang lain tahu rencana itu. Dokter Reza melirik Maya. Ah! Mengapa ingat kata resepsi, tiba-tiba dia teringat pula ucapan Maya tempo hari saat pertama meminta gadis itu menemaninya. "Mana tahu ternyata di sana kita resepsian juga?" Laki-laki itu merutuk dalam hati, mengapa tiba-tiba dia juga memikirkan hal yang sama?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD