Bab 11. Selma Kecewa

1484 Words
Happy Reading. Di dalam ruangan, Selma dan Nico terlihat saling diam satu sama lain. Terlihat sekali sang istri menatap suaminya penuh rasa kecewa, sedangkan sang suami malah merenung dalam keadaan syok karena tidak tahu tentang kejadian besar yang hampir menimpanya. Kurang lebih 2 menit mereka terdiam, akhirnya Selma dengan pandangan dingin mulai membuka suara kepada sang suami sambil melipat tangan di d**a dan kaki kiri menopang di kaki kanannya. "Gimana? Masih mau mempertahankan sekretaris kesayanganmu itu, hem?" Senyuman kecil terukir jelas di bibir Selma sambil menatap sang suami penuh arti. Sakit sih, hanya saja Selma terus menunjukkan sisi ketegaran dan kekuatan di depan suaminya. Jika dibilang hancur, sudah pasti dia hancur sekali. Namun, semua itu tidak ingin ditunjukkan kepada Nico yang akan menganggapnya lemah. Jika setetes air mata terjatuh dapat membalikkan keadaan seperti semula di mana Selma dan Nico terus bahagia tanpa adanya pengganggu, maka dia rela setiap hari meneteskan air mata. Akan tetapi, jika setetes air mata tidak mampu membalikkan keadaan, maka buat apa dia harus menangisi semua kejadian ini di depan suaminya? Toh, Semua itu juga hasilnya akan tetap sama. Kuncinya sekarang hanyalah kekuatan, sehingga dia harus menanamkan sifat itu di dalam hati demi rumah tangganya tetap aman. Begitulah pikiran sang istri saat ini. "Aku tidak tahu siapa yang harus ku percaya di antara Galih dan Prilly. Cuma, aku betul-betul tidak tahu soal kejadian ini. Pada saat itu aku dan Prilly arah jalan pulang setelah meeting selesai. Kemudian Prilly sakit perut karena penyakit lambungnya kambuh. Habis itu aku memutuskan untuk berhenti disalah satu restoran agar Prilly bisa mengisi perutnya sampai kenyang. Selepas selesai makan, kami kembali ke mobil dan pulang. Namun, di perjalanan aku merasa mataku mulai ngantuk, ditambah kepala juga pusing. Mungkin semua itu terjadi karena aku kelelahan dan kurang tidur, selepas itu aku gak tahu lagi, tiba-tiba aja tadi pagi aku bangun sudah ada di rumah. Apa aku sengantuk itu sampai tidur hampir seharian?" Nico bukannya mencoba untuk meminta maaf kepada sang istri, tetapi malah bertanya-tanya tentang keadaan pada saat itu. Pikirannya kembali bekerja untuk mengingat setiap kejadian. Hanya saja, pria itu tidak merasa menyuruh Prilly untuk membawa ke hotel. Lantas kenapa semua orang membahas soal hotel? Entahlah, Selma hanya tersenyum menatap kebodohan sang suami yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Siapa juga wanita yang tidak cemburu jika sekretaris suaminya yang tidak lain adalah mantan sang suaminya itu berniat menggoda. "Sumpah, aku benar-benar tidak menyangka kamu sampai mengatakan hal ini di depanku. Padahal sudah jelas Galih bekerja untukmu jauh lebih lama dari Prilly. Jika kamu pintar, otakmu pasti akan berpikir untuk tetap mempercayai asisten pribadimu sendiri karena dialah orang kepercayaanmu selama ini. Namun, dengan jawaban seperti itu seakan-akan kamu lebih mempercayai Prilly daripada Galih. Sungguh luar biasa, baru kali ini aku melihat sisi lain darimu. Sebesar itukah jasa Prilly padamu sampai kamu tidak melihat sisi buruknya sedikit saja? Dan sekecil apa jasa Galih yang sampai detik itu berhasil menyelamatkan atasannya dari terkaman ular berbisa?" Suara tepukkan tangan Selma menggema di telinga Nico membuat matanya terus menatap mata sang istri tanpa mengalihkan pandangan. "Sa-sayang, bu-bukan begitu maksudku. A-aku ini atasan, jadi aku tidak bisa mengambil keputusan tanpa bukti yang jelas. Seandainya aku salah memecat karyawan, maka nama baik yang selama ini aku jaga hancur begitu saja hanya karena salah paham. Untuk itu aku minta maaf …." Nico langsung pindah posisi mendekati Selma bahkan ingin memegang tangannya, tetapi di tangkis begitu saja hingga memilih untuk menjauh dari sang suami. "Jangan sentuh aku jika kamu masih tidak punya pendirian, paham!" sahut Selma, menatap tajam dengan sorot mata yang begitu menusuk hati Nico. Kemudian dia berdiri, lalu berjalan ke arah jendela ruangan sang suami untuk melihat pemandangan bangunan-banguan kota yang terlihat kecil dari atas gedung. Nico tidak tinggal diam. Dia terus berusaha untuk menyentuh, walaupun berulang kali ditolak oleh Selma akibat rasa kecewa yang cukup besar padanya. "O-oke, aku salah! Ya, aku memang salah karena pada saat itu aku tidak sadar kejadian buruk itu hampir menimpaku. Aku paham, apa yang kamu rasakan sekarang, Sayang. Mungkin ini sangat menyakitkan untukmu, tapi …." Nico menghentikan ucapannya sejenak, lalu memeluk dari arah belakang hingga membuat Selma tidak berkutik. "Tapi apa?" tanya Selma dengan nada cuek tanpa meliriknya sedikit pun. "Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Di lubuk hati yang paling dalam hanya akan ada namamu dan anak kita, tidak dengan orang lain. Apa kamu lupa, hem. Dulu kita itu dipertemukan Tuhan dalam keadaan hancur, di mana pasangan kita masing-masing berkhianat. Jadi, aku paham betul bagaimana rasa sakitnya, sehingga aku tidak mungkin menyakiti wanita yang aku cintai dan hidup bersamaku sampai detik ini." Nico meletakkan dagunya di pundak Selma sambil mengendus aroma tubuh yang selalu membuatnya candu. Beberapa kali dia mencium leher sebelah kanan membuat sang istri berusaha menggelengkan kepala demi menghindari sentuhan suaminya. Terlihat sekali Selma tidak nyaman dengan sikap Nico yang sedikit agresif, padahal dia sedang kesal olehnya. Namun, tidak dipungkiri bahwa wanita itu sangat mencintai suaminya. "Aku tahu kok, aku ini memang bukan suami yang terbaik buat kamu. Aku sering membuatmu kesal, marah bahkan salah paham dengan sikapku yang menyebalkan. Namun, ingatlah satu hal ini, Sayang. Ketika aku kembali membuka hati untukmu, maka disitulah janjiku pada Tuhan terucap untuk menjagamu, melindungi mu, dan mencintaimu tanpa tapi. Seandainya kamu tidak hadir di dalam hidupku, kemungkinan besar aku tidak akan pernah bisa menjadi seperti hari ini. Ibaratkan kamu itu detak jantungku, jika kamu berhenti maka hidupku berakhir detik itu juga." Setelah mendengar penjelasan dari Nico yang menyatakan bahwa dia begitu bersyukur dipertemukan oleh Selma dan menjadi bagian dari hidupnya, tanpa disadari senyuman perlahan terukir di sudut bibir wanita cantik itu. Namun, semua itu hanya sekilas karena rasa kesal kembali menyelimutinya. "Hahh, dasar lebay! Memangnya kamu kira dengan rayuanmu itu aku akan luluh, begitukah suamiku?" Selma mencibir Nico, lalu berbalik menghadap ke arah wajahnya dengan tatapan mata yang begitu kesal. Sementara Nico malah menaikkan salah satu alisnya lantaran melihat wajah ngambek sang istri yang terlihat berbeda. "Merayumu? Kapan? Perasaan aku tidak sedang merayu, itu semua yang aku ucapkan berasal dari dalam hati," jawab Nico, bingung sambil menggaruk kepalanya. "Jika memang aku satu-satunya wanita yang kamu cintai, lalu kenapa kamu bisa berduaan sama Prilly di hotel? Kenapa juga kamu nekat banget ngajak wanita yang jelas-jelas ingin menggoda mu ke luar kota tanpa adanya Galih di sampingmu, hem? Ingat, ya, ingat baik-baik! Jika pria dan wanita yang tidak memiliki status pergi berdua saja, sudah dipastikan yang ketiganya adalah setan. Apa kamu tidak berpikir sejauh itu? Seandainya, pada saat itu Galih datangnya telat, bagaimana nasib rumah tangga kita, hahh? Gimana? Aku tahu sejak awal Prilly itu nggak profesional sangat besar sama Sinta, jadi aku semarah ini, tau!" Wajah kesal tanpa senyuman dengan bibir terus berbicara tanda henti membuat Nico tersenyum. Kemarahan sang istri saat ini telah membuktikan bahwa cinta Selma padanya sangatlah dalam. Sehingga, kecemburuan dari sorot mata wanita tersebut langsung berhasil menarik perhatian sang suami. Tanpa berkata apa-apa, Nico langsung memeluk Selma yang sedang marah hingga memukul kecil punggungnya sambil terus mengoceh. "Bicaralah apa yang mau kamu keluarkan padaku, tapi izinkan aku memelukmu supaya aku bisa merasakan kekesalan di dalam hatimu," ucap Nico dengan lembut, perlahan tangan mengusap punggung Selma dan membuat wanita itu semakin menjadi untuk memarahinya hingga tidak terasa air mata mulai menetes. Menyadari adanya sesuatu yang berbeda dari nada Selma, Nico segera melepaskannya dan menatap wajah cantik sang istri dengan penuh kasih sayang. Tangan pria itu terangkat untuk mengusap setiap tetes air mata yang sangat mahal itu sambil menggelengkan kepala kecil. "Udah ya, marahnya. Aku tahu aku salah, aku udah buat kamu kesal dan kecewa seperti ini. Percayalah, aku tidak akan mengulangi semua ini. Aku akan menjaga jarak dengan Prilly karena ada hati yang harus aku jaga." Nico tersenyum manis hingga menghipnotis Selma yang langsung terdiam sambil terisak dalam keadaan kedua bola mata menatap satu sama lain. "Aku janji, aku akan selidiki semua ini. Jika Prilly terbukti bersalah, detik itu juga aku akan memecatnya secara tidak hormat tanpa pesangon. Dan, setelah itu aku akan mencari sekretaris pria sehingga jika ada meeting penting yang harus aku kerjakan tanpa Galih kamu tidak akan merasa khawatir seperti ini. Oke? Apa pun akan aku lakukan yang terbaik untuk kebahagiaan kamu dan anak-anak, serta keluarga kita. Intinya, jangan sedih lagi, lantaran di hati ini hanya ada namamu sebagai satu-satunya seorang ratu tertinggi yang menempati tahta seumur hidup. Jikalaupun aku meninggal terlebih dahulu, maka namamu akan tetap menjadi nama terindang yang aku bawa untuk menunggumu di Surga." Selma menggelengkan kepala, lalu menyentuh bibir suaminya menggunakan tangan kanan seolah-olah dia tidak ingin mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Nico. Sampai kapan pun, Selma hanya ingin hidup dan meninggal bersama dengan Nico, tanpa harus merasa kesepian karena Tuhan akan memanggil nama salah satu dari mereka lebih dulu. Mereka berpelukan satu sama lain dengan sangat hangat, hingga kesalahpahaman itu perlahan menghilang. Tak lupa Nico pun mencium istrinya dan membuat mereka melanjutkan suasana romantis itu di dalam kamar pribadi yang ada di ruangan sang suami. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD