Betapa konyolnya. Laki-laki aduhai itu memanggil Nuna dan Nirmala hanya ingin meminta foto bersama. senyum dan gelak tawa pun menghiasi, hingga tak lama mereka pun berpose, satu dua sampai lima gambar pun telah di kantongi. Hingga Nuna dan Nirma pun benar-benar memutuskan untuk melanjutkan rencananya. Laki-laki itu pun penuh bahagia. Meski idolanya telah pergi. Betapa baik dan sopan Nirma pada semua orang. Hingga tak sedikit orang yang menjadi pengagum dirinya. meski begitu Nirmala tak pernah tinggi hati. Dia tetap merunduk seperti padi. Laki-laki itu mengikuti semua media sosial Nirmala, mulai dari f*******:, i********:, twiter bahkan di youtube pun tak ketinggalan. Dia tersenyum dengan kegaguman pada sosok gadis cantik nan baik itu. Memandang langkah Nirma dan Nuna, semakin lama tak terjamah kasat matanya. Berlalu dan hilang.
***
Pagi bersambut dengan hadirnya sang fajar di ufuk timur, malam semakin hilang seperti temaram yang hampir redup, keheningan masih menghiasi untuk jiwa yang tenang dalam pelukan sang Tuhan. Dua anak manusia itu kini telah bersiap untuk melenggang ke suatu tempat yang memiliki sejarah hidup bagi Nirmala. Banyuwangi tempat di mana ia dilahirkan, menghabiskan masa bersama orang tuanya sebelum mereka menghadap sang Tuhan, puncak kerinduan kini telah menyelimuti hati Nirma untuk segera mengunjungi makam kedua orang tuanya.
Dengan mengendarai mobil berwarna Silver berpelat B, Nirma dan Nuna siap mengarungi perjalanan dari Jakarta menuju Banyuwangi, semangat kegigihan mereka perlihatkan dengan saling menguatkan satu sama lain. Di sepanjang jalan keduanya saling bercerita akan hal-hal yang menyenangkan, tiada sedikit pun gurat kesedihan di raut wajah ke dua insan Tuhan itu. Mata yang berbinar seolah menunjukkan bahwa ke dua hati telah sangat menikmati jalanan aspal hitam.
Tak terasa perjalanan panjang telah dilalui, hingga matahari bersanding berarak menanggalkan sinarnya. Nirma dan Nuna beristirahat sejenak guna melepas penat, di ambilnya sedikit untuk sekedar membeli minuman untuk memenuhi tenggorokan yang kering karena dahaga yang menyelimuti. Persediaan air mineral sudah habis, mereka pun melenggang ke sebuah mini market di rest area. Nuna terlihat sangat letih dengan hanya istirahat sejenak di setiap dua jam sekali. Menikmati secangkir kopi ia mengatur napasnya yang seakan susah untuk diajak kerja sama.
“Kita cari penginapan saja ya Nun”
Nuna hanya mengangguk, badannya sudah tak bersahabat lagi. Terasa begitu sangat pegal semua. Mata pun yang sudah mulai tak bisa terbuka dengan binarnya. Nirma yang dari tadi sibuk mencari penginapan lewat telepon genggamnya, jari lentiknya beradu untuk sekadar mencari tempat penghilang lelah agar bisa membuat bugar kembali kondis tubuh yang mulai memberontak pada tuannya.
Tak jauh dari rest area, penginapan yang terpampang dengan nama Omah Titen itu menjadi tujuan ke duanya. Dengan kecepatan 50 km perjam mobil silver itu pun melaju dengan segera, tak lama sekitar 15 menit mereka pun sudah sampai di tempat yang sudah di booking beberapa menit yang lalu, membawa barang secukupnya menuju kamar penginapan, ke duanya pun bergegas untuk reservasi dan mengambil kunci guna mebuka kamar untuk segera menikmati indahnya peristirahatan.
Lelah malam ini menyapa, menderu di setiap perhelatan darah yang mengalir tanpa putus, walau sedetik meronta dalam buaian, kini Nuna dan Nirma terjaga di pelukan sang malam, menikmati mimpi yang tengah hadir di dunia maya. Ke duanya terlihat terbungkus selimut putih tebal, hingga pagi menjelang barulah mata terbuka dan kembali pada kenyataan, seakan hipnotis sang malam telah hilang. Nuna dan Nirma akan kembali melanjutkan perjalanan ke kota Gandrung tempat bersejarah bagi Nirmala.
Detik yang telah merubahi dirinya menjadi menit, dan jam yang telah menggantikan posisi menit, mereka menempuh kembali perjalanan untuk merajut kenangan yang pernah singgah dalam memori kehidupan. Memasuki gapura kota Banyuwangi wajah Nirma terlihat sangat bahagia, ia pampangkan senyum indahnya yang sangat memukau dan mempesona, sedikit gelak tawa menyelimuti antara ke duanya. Pemandangan di ujung jalan membuat mata Nirma tak kunjung untuk tak memandang, dan seketika Nuna pun menghentikan laju mobilnya. Memasuki desa Kemiren, mata keduanya tertuju pada aktivitas penduduk yang membuat Nuna bertanya.
“Apa yang mereka lakukan dengan kasur-kasur itu?” Tanya Nuna.
Nirma tersenyum dan dipandangnya wajah sahabatnya itu, Nuna masih saja bertanya dengan pandangan mata tak lepas dari apa yang dia lihat.
“Ini adalah tradisi di suku Osing, namanya mepe kasur yang artinya menjemur kasur”
“Apa makna dari kegiatan tersebut, dan kenapa warna kasur mereka sama semua Ma?”
“Kegiatan itu dipercaya bisa menjalin keharmonisan dan kebahagiaan keluarga, dan untuk warna kasur memang sama, hitam dan merah yang memiliki arti sebagai tolak balak”
“Tolak balak?” sambung Nuna
“Iya, agar terhindar dari malapetaka”
Obrolan mereka terus berlanjut, rasa penasaran Nuna pun kembali mencuat, ia turun dari mobilnya dan melihat tradisi mepe kasur lebih dekat lagi, Nirma mengikuti dari belakang.
“Selamat pagi Bapak, ini sedang melakukan apa?” tanya Nuna.
Bapak yang terlihat sudah tua itu merasa kebingungan, hingga Nirma pun kembali menanyakan apa yang ditanya Nuna dengan sedikit keterampilan bahasa Osing yang dia bisa.
“Bapak nganu paran?”
“Wayahe srengenge mledung, wong-wong podo mepe kasur. Serto keneng panas, kasur digebleki myakne rijig.
“Manfaatnya apa pak dengan menjemur kasur ini,” tanya Nuna
Secara cepat Nirma yang berada di samping Nuna langsung menerjemahkan dengan bahasa Osing yang menjadi bahasa sehari-hari di tempat tersebut.
“Paran Gunane nglakoni ikai?”
“Isun ngerasakaken dewek, sak bare totaken kasur teko ngomah, omah katon rijik, penyakit ilang lan atinesun roso adem.”
Nuna tersenyum dengan heran, ia sama sekali tak mengerti apa yang bapak tua itu katakan, akhirnya keduanya pun pamit dengan kembali pada mobilnya.
“Ma, tadi bapak itu bilang apa sih”
“Waktu matahari terbit, orang-orang menjemur kasurnya, setelah panas orang-orang itu memukul-mukul kasurnya supaya bersih, dan manfaatnya tadi bapaknya mengatakan kalau dia marasakan sendiri setalah melaksanakan tradisi itu penyakit hilang dan hati menjadi tentram”
“Sungguh luar biasa, aku senang melihat adat seperti ini, kompak ya Ma”
“Iya, nanti kasur-kasur itu akan kembali di masukkan ke rumah, dan malamnya akan ada tradisi tumpeng sewu juga”
“Apa itu tumpeng sewu?”
“Membuat nasi tumpeng sebanyak seribu dengan lauk ayam, orang di sini menyebutnya dengan pecel pithik, atau pecel ayam,”
“Sepertinya menarik”
“Tentu saja, kamu belum pernah lihat, kan?”
“Penasaran”
“Nanti akan kutunjukkan padamu”
Seiring berputarnya waktu, setelah penantian begitu panjang dan setelah merasakan perjuangan yang teramat menguras tenaga kini Nirmala telah berada tepat di depan nisan ke dua orang tuanya. Tanpa pikir panjang Nirma mengambil posisi di tengah-tengah gundukan tanah ayah dan ibunya, tangannya memegang batu nisan secara bergantian. Ia taburkan bunga setaman sebagai tanda cinta yang tak pernah pudar, ia panjatkan doa yang begitu panjang dengan tengadah tangannya.
Nuna yang melihat sahabatnya itu begitu iba, ia berpikir Nirma butuh waktu sendiri untuk meluapkan kerinduan pada orang yang dikasihinya meski wujudnya telah berubah menjadi tanah yang menjulang dipenuhi rerumputan, Nuna melangkah meninggalkan sahabatnya, ia menunggu di dalam mobil sembari menundukkan kepalanya di atas setir dan beristirahat sejenak.
Perempuan yang baik hatinya itu tampak khusyu’ memandang ke arah nisan yang tak lain adalah cahaya hidupnya. Air mata ikut menghiasi pertemuan dua dunia yang tak bisa dipandang oleh mata, tak bisa disentuh dengan tangan, hanya sebuah rasa yang mengantarkan semua terasa begitu dekat bahkan sedekat nadinya, sesekali ia seka air matanya yang mengalir membanjiri kerinduan seorang anak pada orang tuanya.
“Ayah, ibu...Nirma sangat rindu, betapa banyak kenangan yang membekas di hati Nirma sampai detik ini, maafkan Nirma yang belum bisa membalas jasa ayah dan ibu,”
Kata-katanya terhenti, ia kembali merasakan kesedihan yang menggumpal dalam pikirannya, hatinya kini telah redup seperti temaram di malam hari, ia menarik napas panjang kemudian membuangnya seiring air mata yang terjatuh dan menghiasi pipinya. Ia semakin menunduk pilu dengan sejuta kerinduan yang kini telah ia tumpahkan.
“Ayah, ibu...Nirma sudah lulus kuliah, Nirma akan menjadi guru seperti pinta ibu dulu, semua nasihat ayah dan ibu akan selalu Nirma kenang, ayah..ibu...tak ada lagi yang bisa membuat Nirma bahagia selain berada di tengah-tengah kalian”
Nirma semakin terisak, ia memeluk kedua liang lahat yang sudah 5 tahun itu bersemayam di bumi, ia menderu, tangisannya semakin terdengar begitu keras. Tak ada lagi kata-kata yang keluar dari bibirnya, ia hanya menumpahkan semua sedih dan rindunya lewat sejuta tetesan air mata. Ia merasakan kenyamanan yang tak diperoleh di tempat mana pun. Hampir setengah jam ia peluk tanah yang masih basah dengan siraman air dan bunga wangi itu. Ia hempaskah seluruh keluh kesah dengan pelukan yang tak terlepaskan. Ia sungguh menikmati pertemuan itu, walau raga sudah tak bisa lagi berjabat tapi setidaknya dengan melihat kedua kuburan orang yang sangat berarti dalam hidupnya membuat ketenangan yang tak bisa dibeli oleh siapapun di luar sana.
Hampir satu jam Nuna tertidur di dalam mobilnya, hingga ia terbangun dan melihat ke arah Nirma yang masih setia di tengah-tengah kuburan orang tuanya. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, hari sudah semakin sore, senja menyapa dengan hadir warnanya yang begitu memikat. Nuna pun mengampiri sahabatnya, mengajak untuk segera beralih tempat karena matahari akan segera tertidur dalam peraduan.
Nirma berdiri dengan kondis tubuh yang lunglai, matanya sembab karena terlalu lama menangis, ia serasa tak ingin pergi dari tempat ternyaman baginya, ia merasakan kebahagian yang amat sangat membuat hatinya merasa nyaman, ada orang terkasih yang mendampinginya walau dalam fatamorgana. Ia tak rela melepas peluk hangat dari dua nisan yang berdiri dengan tegak itu, karena separuh jiwanya seakan hadir dalam semangat juang yang tiada putus.
“Ayo Nirma, hari sudah semakin gelap”
Nirma masih tetap pada posisinya, dipandangnya tulisan pada nisan itu dengan rasa yang sedikit memaksa, tak ingin meninggalkan, tapi harus direlakan. Nirma mulai melepas sedikit pelukannya, ia kembali mengusap ke dua nisan itu dengan kembali tersenyum, haru biru menyelimuti, menandakan sebuah perpisahan yang akan kembali terjadi.
“Ayah, ibu....Nirma pamit”
Air matanya kembali menetes, seakan apa yang ia katakan menjadi sebuah candu kerinduan untuk beberapa waktu ke depan, ia bangungkan tubuhnya dengan sangat memaksa. Dilepasnya tangannya dari nisan putih penuh dengan tulisan, ia pandang tanpa lepas dengan segala ketulusan cinta yang dimiliki. Dengan sangat berat hati, Nirma melangkah dengan meninggalkan sejuta perasaan akan kasih sayang yang terputus karena sebuah kematian. Berjalan pelan dengan kepala masih menatap ke arah belakang tanpa melihat kemana ia akan pulang.
“Ayo Nirma, agak cepat”
Nuna menarik tangan Nirma agar ia berjalan menatap ke depan dengan langkah yang bisa untuk lebih dicepatkan. Memasuki mobil pandangan Nirma masih tertuju pada pemakaman dengan mata kosong, tatapannya tajam tanpa lepas.
“Kalau kamu masih belum siap meninggalkan, kita cari penginapan saja di sini, besok kaum bisa mengunjungi kembali makan ayah dan ibumu,” kata Nuna
Nirma menghela napas panjang, diusapnya air mata yang menetes tanpa permisi, dipandangnya wajah Nuna lalu ia gelengkan kepalanya tanda tak setuju dengan ucapan sahabatnya itu.
“Kita kembali ke Jakarta saja Nun,” jawab Nirma lemas.
“Kamu yakin?”
Nirma menganggukkan kepalanya dan kemudian menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya, rapat dan seakan gurat kesedihan itu terlihat meski wajah itu telah ditutup dengan apa pun.
“Kalau ayah dan ibumu bahagia bersama di sana, engkau juga harus bahagia Ma, ayo saatnya kamu wujudkan mimpi mereka sekarang, kamu kuat, kamu wanita yang sangat hebat”
Nuna memeluk erat Nirma, tanpa disangka isak tangis Nirma kembali terdengar dengan sangat keras, Nuna pun mencoba menenangkan dengan segala nasihat yang baik untuk membuat Nirma kembali tenang dengan keadaan yang membuantnya berkorban dengan tetesan air mata yang berharga.
“Menangis boleh, tapi bukan untuk dilanjutkan terus, jadikan ia motivasi untuk dirimu kembali melangkah, sudahlah Nirma, mengunjungi ayah dan ibu harus berakhir dengan bahagia bukan malah menangisi apa yang Tuhan sudah gariskan”
Sesaat Nirma pun menghentikan tangisannya, ia usap kembali mata yang sembab itu dengan tisu, lalu senyum simpul ia hadirkan pada sahabat tercintanya, dipeluk mesra lalu kembali memampangkan wajahnya yang sudah mulai tenang.
“Terima kasih, Nun”
“Sudah siap untuk kembali ke Jakarta?”
“Iya”
Dikemudikannya mobil silver itu dengan segera, malam mulai menyapa dengan hadirnya cahaya rembulan yang bersinar memberikan kehangatan, di perjalanan pulang melewati sebuah desa Nuna dan Nirma kembali menyaksikan perayaan tumpeng sewu, ke duanya pun berhenti dan kembali menikmati budaya lokal Banyuwangi dengan penuh suka cinta.