Rosmalina segera melakukan pemeriksaan untuk mengetahui kecocokan sumsum tulang belakangnya. Dia berharap sangat besar dengan apa yang ada dalam pikirannya itu. Misinya harus segera tercapai, demi sebuah hasrat yang tersimpan dalam dadanya.
Tim medis pun segera melakukan tindakan. Sedangkan semua keluarga menunggu hasil dari pemeriksaan itu. Nirmala terdiam dengan tatapan kosongnya. Dia seakan tak bisa membayangkan tentang apa yang akan terjadi setelah pemeriksaan Rosmalina mendapat jawaban.
Nirmala kembali menemani Asila yang masih menutup matanya. Nirmala menggenggam tangan putri kecilnya itu dengan sangat erat. Kasih sayangnya tak bertepi. Air matanya jatuh menggenangi setiap pertikel rintihannya.
Berkali-kali Nirmala mencium tangan kanan Asila. Dirinya seakan tak bisa jauh dari putri mungilnya itu. Ketulusan cinta seakan tak bisa terpenggal dengan apa pun juga. Asila yang kini tak berdaya membuatnya semakin merintih. Hatinya terpecah menjadi kepingan yang seolah jatuh menghiasi tanah.
Nirmala yang lelah badannya, menyandarkan kepalanya di atas bed pasien. Air matanya tak lelah terus saja menetes di tengah kegundahan hatinya.
“Ma ... Ma.”
Suara Nirmala terdengar begitu lirih. Nirmala mengusap tetes air matanya. memandang Asila dengan penuh cinta. Mengecup keningnya berkali-kali. Namun tak lama Asila kembali menutup matanya. Nirmala terus saja merintih. Dia tak memanggil siapa pun, dia ingin berdua bersama sang cinta tanpa ada yang mengusiknya.
***
Nuna bersandar pada batu nisan yang baru ditancapkan. Rasa sedihnya menggeletar, bersemayam dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Gagal bersanding dengan sang pujaan. Nuna harur rela menerima takdir yang tak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Tangisannya masih pecah ruah, bahkan dirinya sempat tak bisa menyantap makanan apa pun beberapa hari. Rasa sedihnya menggunung. Tak bisa dengan mudah menepis bayangan calon suaminya yang kini sudah dikebumikan itu.
“Nuna, ayo kita pulang, nak.”
Suara sang mama mengalun lembut. Berusaha untuk bisa mengerti akan apa yang kini dirasakan sang anak. Miris hati sang mama melihat apa yang kini membelenggu cinta yang masih bersemayam di dadaanya.
Nuna masih saja terisak. Tak bisa dengan mudah menghentikan tumpahan air mata itu. Impian untuk bisa bersama, kini tertinggal dalam sebuah khayalan yang tak bisa diwujudkan.
“Nuna, semua adalah yang terbaik menurut Tuhanmu, mama minta kita segera pulang, ayo, sayang.”
Sang mama segera menarik tangan Nuna dengan pelan. Nuna pun berusaha menurut tanpa bantahan sedikit pun. Meskipun sebenarnya Nuna masih ingin berada di tempat yang membuat hatinya merasa damai. Meskipun harus mengorbankan rasa yang bersemayam di jiwanya.
Nuna mengusap air mata yang telah jatuh. Wajahnya yang sembab itu tak dipedulikan lagi. Melangkah pelan meninggalkan pemakaman. Berharap akan ada kebahagiaan setelah kesedihan yang merenggut hatinya, hingga hancur berkeping-keping.
***
Dokter memberikan kabar bahwa sumsum tulang belakang Rosmalina cocok dengan Asila. Sehingga akan segera dilakukan transpalansi. Mendengar kabar dari dokter, hati Nirmala bergidik. Dia seolah bahagia, ada pelangi yang hadir untuk memberikan keindahan dalam hidup Asila.
Namun di dasar hatinya yang terdalam. Nirmala pun seolah harus rela berbagi suami dengan Rosmalina. Meskipun dirinya tahu bahwa sang suami belum sama sekali menaruh hati padanya. Namun Nirmala tak bisa berbohong, bila hatinya menolak untuk itu.
“Cepat kamu tanda tangani perjanjian ini,” suara Rosmalina menggelegar.
Nirmala yang tak sengaja mendengar pembicaraan suaminya dengan wanita yang kini menggoreskan sedikit sayatan di hatinya. Nirmal terdiam dan terus menatap dua orang yang kini sedang beradu pandang itu.
Dilihatnya Hendra yang masih terdiam dengan tatapan mengarah luruh ke Rosmalina. Seketika hati Nirmala berdesir. Dia akan berbagi suami dengan mantan istri suaminya. Keadaan kini seolah mempermainkan hatinya yang semakin tak bisa dikontrol olehnya sendiri.
Sedangkan Hendra dalam pilihan yang rumit. Dia sangat mencintai sang putri. Semua jiwa dan raganya rela terkorbankan hanya untuk membuat sang anak tersenyum lebar dan tak pernah merasakan kesedihan di hatinya.
Namun di dasar hatinya. Hendra seolah tak memiliki rasa pada perempuan mana pun. Termasuk sang mantan istri itu. bahkan Hendra cukup takut bila langkah yang akan diambilnya akan membuat hatinya luluh.
Dulu hanya Rosmalina yang bisa menaklukkan hatinya. Namun Rosmalina juga yang telah menghancurkan hati dengan kepingan-kepingan yang tak tersisa sedikit pun. Andai boleh meminta. Hendra lebih memilih untuk tidak mengenal wanita bernama Rosmalina lagi.
Namun Hendra cukup sadar, bahwa ada darah Rosmalina yang mengalir di tubuh Asila. Kediaman Hendra semakin membuat dirinya tak cepat mengambil keputusan.
“Bagaimana? Kamu mau melihat anakmu tidak tertolong?”
Mendengar ucapan Rosmalina. Hendra terpancing emosi. Kata-kata yang dilontarkan itu membuatnya tersulut kemarahan. Dia yang tak mau terjadi apa pun dengan anaknya. Dia tak mau mendengar sesuatu yang buruk pada malaikat kecilnya itu.
“Hati-hati bila mulutmu berkata, jangan sembarang dengan apa yang kamu keluarkan dari mulutmu itu!”
“Aku hanya berbicara tentang hal yang bisa saja terjadi jika kamu tak cepat mengambil keputusan.”
Hendra semakin tak terkontrol emosinya. Dia seolah terpancing dengan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rosmalina itu.
Hendra menarik secarik kertas yang sudah terbubui meterai dan siap dengan tanda tangannya. Hendra tanp apikir panjang lagi, dirinya yang ingin melihat kesembuhan sang anak, segera menandatangani persyaratan yang diajukan oleh sang mantan istri itu.
Coretan dalam sebuah tanda tangan itu membuat perjanjian yang disepakati bersama. rosmalina tersenyum lebar. Merasa visi yang akan dijalankannya berjalan dengan sangat lancar. Tak perlu bersusah payah memainkan drama dengan berbagai skenario. Kini Rosmalina hanya perlu menjalani sebuah operasi lalu dirinya dapat dipastikan akan kembali rujuk dengan sang mantan suami.
Nirmala yang menyaksikan dengan jelas. Suaminya menyetujui tentang sebuah persyaratan yang diajukan oleh sang mantan istri. Kini partikel-partikel itu menyesaki tubuh Nirmala. Dia seakan tak bisa membayangkan lagi apa yang akan terjadi dengan hidupnya nanti.
Nirmala menahan tangisnya. Tak mau jika orang-orang menganggapnya lemah. Nirmala berlari ke kamar mandi umum. Karena di dalam kamar mandi ruang rawat Asila telah ada mama Rose yang sedang menunaikan kebutuhan tubuhnya.
Nirmala tak bisa membendung lagi tangis yang disimpannya itu. Dia merasa sangat sakit. Mendapat madu dalam sebuah pernikahan. Menatap wajahnya di cermin, mengusap perlahan air mata itu. Namun Nirmala terkejut, saat senyum penuh kepalsuan dari Rosmalina itu dilihatnya di cermin yang kini berada di depan matanya.
“Kenapa menangis? Takut berbagi suami? Aku pastikan kamu akan didepak dari kehidupan mas Hendra.”
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan?”
“Melihat pernikahanmu hancur, seperti kamu menghancurkan pernikahanku.”
“Aku tidak pernah mengahnacurkan pernikahanmu, Rosma. Justru kamu sendiri yang mengahancurkannya.”
“Diam! tahu apa kamu tentang aku! Aku mau kamu membayar semua kesalahnmu itu!”
“Pernikahan bukan sebuah permainan, Rosma. Untuk apa kamu terus menyalahkan hal itu!”
“Kenapa? Kamu takut dengan permainanku?”
Tawa Rosma menggelegar. Dia seakan merasa menang dari wanita yang bernama Nirmala itu. Selangkah lagi dia akan kembali menjadi nyonya Mahendra, meskipun statusnya nanti akan berubah menjadi istri kedua.
“Aku akan buat mas Hendra kembali bertekuk lutut padaku, dan membuangmu jauh dari hidupnya!”
Ancaman Rosmalina seolah menggetarkan hati Nirmala. Rosmalina beranjak keluar kamar mandi dengan senyum penuh keserakahan itu. Kini Nirmala terdiam dan menatap wajahnya dalam-dalam di depan cermin.
***
Hendra seorang diri, menjaga sang anak siang dan malam tanpa lelah. Sama seperti Nirmala yang mempertaruhkan waktunya hanya untuk menjaga putri kecil yang kini sedang berjuang melawan sakitnya.
Nirmala masuk ke dalam ruang dengan langkah kaki pelan, hingga tak terdengar bunyi alas kaki yang dikenakannya. Hendra tetap saja fokus menatap Asila dengan menggantungkan harapan yang setinggi-tingginya. Berharap kesembuhan akan datang.
“Mas, boleh aku berbicara padamu.”
Hendra tak menjawab perkataan Nirmala. Dirinya masih tetap menaruh pandangan tak lepas dari sang anak. Nirmala mengambil kursi dan duduk di samping suaminya. Hatinya berdebar. Ada sesuatu yang menusuk dengan sayatan yang begitu tajam.
Nirmala mengambil napas. Dia pun cukup lama terdiam, sebelum memulai sebuah pembicaraan yang akan kembali dihadirkan dalam sebuah rasa yang tak terbalaskan.
“Mas yakin menyetujui persyaratan dari Rosmalina?”
Hendra bahkan seperti patung yang posisinya tetap dan tak berubah. Pandangannya masih saja tak lepas dari Asila. Ucapan Nirmala seolah seperti angin lewat yang hanya dirasa namun tak untuk dijawabnya.
Cukup lama Nirmala menunggu jawaban Hendra. Namun hal itu tak segera didapatnya. Nirmala mengulang kembali pertanyaannya. Hingga tak sengaja Nirmala memegang tangan kanan Hendra untuk mencari jawaban atas sebuah pertanyaan itu.
“Jangan sentuh aku!”
“Maaf, Mas. Aku hanya ingin tahu tentang keputusanmu.”
“Aku tahu keputusan terbaik dalam hidupku, bahkan aku harus menerima keputusan terburuk untuk menikah denganmu. Keluar dari kamar ini, aku ingin malamku bersama anakku, tanpa kamu!”
Hati Nirmala bergetar hebat. Dia seolah menerima cambukan cemeti dengan begitu keras dan rasanya sungguh sakit tiada duanya.
Nirmala pun mengikuti kata-kata sang suami. Dia pun keluar ruang rawat itu. Langkah kakinya yang pelan mengiringi rasa sakit yang kian mendalam. Hatinya hancur dan air matanya pun ikut serta menghiasi kepiluannya.
Di kursi tunggu itu, Nirmala menyandarkan tubuhnya. Pikirannya berkelana. Menyambut kembali masalah yang harus dihadapinya. Bahkan dirinya yang merasa tak mampu harus kembali mengisi kekuatan agar bisa melewati semua dengan baik.
Nirmala yang mengira pernikahan impiannya saat itu akan membawa bahagia. Namun nyatanya apa yang djalani dengan Hendra berkata sebaliknya. Dia sama sekali tak diperlakukan sebagai istri, posisinya tetap sebagai pengasuh anaknya.
Nirmala dalam diamnya, menghadirkan kembali tetes air mata itu. Besok transpalansi sumsum tulang belakang itu akan dilakukan. Semakin dekat dengan masalah besar yang akan menantinya. Nirmala memikirkan sebuah solusi dari masalahnya itu.
Namun sepertinya dia teramat sangat bingung untuk bisa lari atau bahkan menyelesaikan masalah itu sendiri. Tiba-tiba ponsel Nirmala berdering. Seseorang telah meneleponnya. Mata Nirmala memandang pada layar ponsel itu tanpa lepas.
Nama laki-laki yang terlihat dengan jelas tak membuat Nirmala segera mengangkatnya. Dia berpikir seribu kali untuk melakukan apa yang akan diputuskan pada hidupnya. Laki-laki itu bukan suaminya, Nirmala pun tak membiarkan ponselnya berdering berkali-kali.
Hatinya masih terasa tersayat dengan hiruk pikuk yang terjadi pada rumah tangganya. Dan kini Nirmala berdiri sendiri. Seolah tak ada dukungan dari siapa pun. ponsel Nirmala kembali berdering, lagi-lagi Nirmala tetap membiarkannya.
Mengalihkan pandangannya ke lantai. Berusaha untuk menghindar dan tidak menjatuhkan pandangan itu pada alat komunikasi yang terus saja mengeluarkan bunyi berkali-kali. Tiba-tiba sebuah pesan pun dikirimkan laki-laki itu. Nirmala membuka dan membacanya.
Aku berharap di mana pun kamu berada
Tuhan selalu menjagamu
Semoga kamu bahagia selalu
Senyum mengiringi setiap langkahmu
Mata Nirmala kembali berkaca-kaca. Laki-laki lain itu pun seolah bisa memberikan sebuah perhatian untuknya. Namun hal itu terasa sangat berbeda dengan suaminya. Nirmala sama sekali tak mendapatkan sebuah perhatian dari suami sahnya.
Jangankan perhatian, untuk tidak menyakiti hatinya saja Nirmala sudah senang. Namun bagi Nirmala, kondisi apa pun yang sudah mengikatnya dalam sebuah ikatan suci. Tak bisa dengan mudah dipermainkan.
Nirmala terus saja menjunjung tinggi tentang sebuah komitmen. Apa pun alasan yang mendasarinya untuk tidak berjalan di jalannya, sebisa mungkin ditepisnya. Nirmala hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Namun laki-laki itu terus saja meneleponnya.
Bahkan Nirmala tak mengetahui bila Hendra telah berdiri di belakangnya. Mata Nirmala seakan nanar. Dia takut bila Hendra mengetahui tentang laki-laki yang terus menghubunginya itu. Nirmala hanya bisa diam seribu bahasa.
^Cengkir^
"Sabar iku ingaran mustikaning laku."
(Bertingkah laku dengan sabar itu ibaratkan sebuah hal yang sangat indah dalam kehidupan.)