Rafi yang memecahkan vas bunga itu hanya bisa diam melihat pernikahan orang yang amat dicintainya. Dia datamg dengan sembunyi-sembunyi. Tak ada satu orang pun yang mengetahui bila dirinya sedang berada di rumah Hendra.
Menyaksikan pernikahan yang menyayat hatinya. Cintanya telah tergadaikan. Bahkan tak ada kesempatan untuk menebusnya. Rafi terlalu berharap lebih pada Nirmala. Dan kini kekecewaannya membuatnya harus bisa menerima kenyataan yang amat menyedihkan.
Rafi segera melangkah untuk pergi. Dia tak mau ada orang yang mengetahui keberadaannya. Mencoba tetap menguatkan hatinya, meski cinta membuat hatinya remuk dan pecah berkeping-keping. Namun Rafi sebagai laki-laki harus bisa membuat cinta tak menjatuhkan dirinya.
Rafi yang sudah mengemasi barang-barangnya. Dirinya akan kembali menjalani pendidikannya di luar negeri. Bejibaku dengan buku-buku. Rafi akan berusaha melupakan Nirmala. Penerbangan membuatnya pegi jauh dari menepis bayangan cinta yang dalam.
***
Asila berteriak kegirangan. Dirinya sangat bahagia kini telah memiliki mama baru. Nirmala memeluk erat putrinya itu. sedangkan Hendra yang sudah selesai dengan tugasnya. Dirinya melangkah ke belakang agak menjauh. Setelah penghulu dan yang lainnya meninggalkan rumahnya.
“Hendra, kamu mau ke mana? Ajak istrimu ke kamar,” seru mama Rose.
“Dia bisa ke kamar sendiri.”
Jawaban Hendra dengan sinisnya terasa mudah sekali diucapkan. Nirmala yang mendengar dengan cukup jelas, hanya bisa diam dan seakan menegalihkan fokusnya pada Asila. Hendra pun meninggalkan dirinya tanpa permisi.
“Kamu harus ekstra sabar menghadapi Hendra,” kata mama Rose.
“Nanti kalau papa nakal, Mbak Nirmala bilang saja sama aku, biar papa aku hukum,” ujar Asila.
“Asila sekarang Mbak Nirmala sudah jadi mama Asila, jadi sekarang panggilnya mama, ya,” tukas mama Rose.
“Oh, iya Oma. Aku lupa, maafkan aku ya mama Nirmala.”
“Tidak apa-apa, sayang.”
“Ayo, Ma. Aku antar ke kamar papa.”
Asila menggandeng tangan Nirmala dengan begitu erat. Menaiki tangga diiringi dengan senyum terpampang indah. Namun, di tengah-tengah tangga. Nirmala menghentikan langkahnya.
“Ada apa, Ma?”
“Sayang, mama mau ke kamar mama dulu, ya. Mau ganti baju dulu.”
“Gak usah, gantinya di kamar papa aja, nanti Asila yang akan mengambil baju mama di kamar mama, ayo ma.”
Asila menarik tangan Nirmala dengan cukup kuat. Nirmala tak bisa menolak ajakan gadis kecilnya itu. Mereka pun kembali melanjutkan langkah. Tak lama Nirmala pun telah sampai di depan kamar Hendra.
Nirmala merasa gugup. Berdiri cukup lama di depan pintu. Asila yang masih saja berhias senyum, terus saja merengek agar Nirmala cepat masuk ke dalam kamar.
“Ma, ayo cepat masuk ke kamar papa.”
“Iya sebentar, sayang.”
Nirmala pun akan segera mengetuk pintu kamar yang tertutup erat. Mengarahkan jarinya untuk segera beradu dengan pintu. Namun belum sampai itu dilakukan. Hendra sudah membuka pintu kamarnya.
“Papa.”
Suara Asila melengking. Hendra pun langsung memeluknya dengan begitu erat. Mencium mesra sang putri dengan segenap kasih sayangnya.
“Sayang, papa berangkat kerja dulu, ya.”
“Kok papa kerja, bukannya temenin mama di rumah.”
“Papa harus kerja sayang, untuk memenuhi segala kebutuhan kalian.”
Hendra mengecup kembali kening Asila. Lalu berdiri tanpa memperhatikan istri barunya. Hendra pergi menuruni anak tangga. Tak terlihat lagi wujudnya. Mata Nirmala kembali berkaca-kaca.
“Ma, mama.”
Panggilan Asila memaksanya untuk cepat menyeka air matanya agar tak jatuh di pipi. Nirmala kembali menghadirkan senyum. Menatap putri kecilnya yang sangat dicintainya.
“Sayang, ayo ke kamar mama.”
Asila hanya diam dan menurut dengan apa yang dikatakan Nirmala. Tak ada bantahan di bibirnya. Seketika itu Nirmala bersandiwara dengan hatinya sendiri. Menampakkan senyum palsu di depan anaknya. Nirmala hanya ingin semua bahagia dengan pernikahan ini. Tak terkecuali dengan Asila, putri kecil yang mendambakan kehadiran ibu dalam hidupnya.
***
Nuna harus rela untuk menanggalkan pernikahannya. Calon suaminya tengah terbaring koma karena kecelakaan. Nuna pun hanya bisa pasrah menerima keadaan. Meski merasa sedih dengan apa yang sudah direncanakan. Namun lagi-lagi Nuna hanya sebatas menerima jalan takdirnya.
Gaun pengantin berwana putih itu tergantung di dinding kamarnya. Mata Nuna menatapnya tanpa lepas. Esok seharusnya gaun itu akan dikenakannya dalam acara sakral yang diimpikan. Namun kenyataan pahit merubah semua mimpinya.
Nuna mengambil gaun pengantin itu. Segera dikenakan dan menghiasi tubunya. Menatap dirinya di depan cermin. Gaun itu begitu sangat indah, hiasan tekstil monumental, payetan berwarna mengkilap itu memberikan sentuhan yang begitu menawan.
Nuna terus saja menatap tubuhnya yang tengah memakai gaun pengantin itu. Serasa tak ingin melepaskannya. Air mata Nuna pun menghiasi rasa yang kini menyayat hatinya. Tangisan itu tak bisa merubah keadaannya.
Catering yang sudah dipesan pun dibatalkan. Gedung pernikahan yang juga sudah dalam daftar pemesanan, dengan terpaksa harus ditunda penempatannya. Semua hal yang berhubungan dengan pernikahan itu harus diikhlaskannya.
Nuna pun merebahkan tubuhnya di ranjang, diselimuti gaun pengantinnya. Tangisnya pun tak bisa dihindarkan. Dirinya kemudian tertidur dengan lelap dan dalam kondisi nestapa.
***
Malam ini adalah malam pertama bagi Nirmala dan Hendra. Selesai makan malam. Hendra pun segera menuju kamarnya. Tak lama Nirmala pun ikut serta masuk ke dalam kamar itu. Nirmala merasa sangat canggung dengan apa yang akan dilakukannya.
Hendra menyalakan televisi sembari merebahkan tubuhnya. Sedangkan Nirmala dirinya duduk di ujung ranjang itu. Melirik ke arah suaminya, namun Hendra sepertinya sama sekali tak memperhatikan istri barunya itu.
Nirmala merasa dirinya tak bisa hanya diam dan tak bersuara. Dirinya kemudian melangkah masuk ke kamar mandi. Di dalam, Nirmala hanya menatap wajahnya di cermin. Dia merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan.
Nirmala bertanya-tanya dalam dirinya. Waktu terus saja berjalan. Jam dinding yang berputar itu memperlihatkan waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Nirmala pun kembali duduk di ujung ranjang, seketika itu dirinya mencoba menatap suaminya.
“Mas, apa perlu dibuatkan sesuatu?”
“Jangan mengajakku berbicara, aku menikahimu hanya karena Asila, aku tidak akan mencintaimu.”
Mendengar jawaban itu, Nirmala tak bisa berkata-kata lagi. Seketika hatinya lemah tak berdaya. Seperti guntur yang menyambar dengan kerasnya. Nirmala pun tak berani mengatakan apa pun dari mulutnya. Dirinya hanya diam, lalu melangkah kembali ke kamar mandi.
Nirmala melihat wajahnya di cermin. Air matanya kembali menganak sungai. Suaminya di malam pertamanya kini telah melukai hatinya. Pernikahan yang dirasa akan membahagiakan bagi setiap pasangan baru, namun sepertinya tidak dengan pernikahan Nirmala.
“Nirmala, kamu jangan cengeng, semua untuk kebagiaan Asila, jadilah wanita kuat, seperti cengkir.”
Nirmala mencoba tegar. Dia membisikkan sendiri kata-kata agar bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Nirmala segera mengusap air matanya. Setelah itu Nirmala pun keluar dari kamar mandi. Namun Nirmala pun melihat sesuatu yang sangat menyakitkan.
Hendra tidur di tengah-tengah ranjangnya. Tak ada tempat untuk Nirmala. Dan bahkan yang membuat hatinya tergores, bantal dan guling yang seharusnya terletak di ranjang Hendra, kini berpindah di sofa yang terletak tak jauh dari ranjang itu.
Nirmala pun sadar, bahwa Hendra memang menginginkan dirinya untuk tidak tidur bersama. namun berpisah tempat. Nirmala pun hanya diam menerima. Tak ada protes yang keluar dari bibirnya. Meskipun sebenarnya hatinya menjerit dengan perlakuan suaminya sendiri kepadanya.
Nirmala segera membungkus dirinya dengan selimut. Tidur di sofa dengan bertemankan guling. Nirmala memeluk guling dengan sangat erat. Malam pertamanya begitu sangat menyedihkan. Tak pernah terbayangkan, bila pernikahannya seperti neraka.
Nirmala pun menangis dalam pelukan sang malam. Rasa getir yang dirasa tak bisa membohongi setiap bulir air mata yang dikeluarkan itu. Berharap malam pertamanya berbuah manis, namun kenyataannya tak sesuai dengan harapannya.
Suaminya sangat acuh dan tidak mempedulikan dirinya. Nirmala menatap Hendra dengan hati tersayat. Tangisannya kali ini pecah karena mimpi buruk yang hadir dalam kenyataan. Dia tak bisa menghindar. Nirmala harus menjalani malam-malam panjang tanpa sentuhan lembut dari suaminya.
Air matanya terus saja hadir, membuat Nirmala terisak penuh ratapan diri. Namun tiba-tiba sebuah ingatan membuyarkan kesedihannya. Dia ingat pesan sang ibu. Tentang cengkir yang selalu menjadi pedoman dalam hidupnya.
Kata-kata cengkir itu seakan membisikkan kekuatan dalam dirinya. ibunya dulu sering sekali berpesan pada Nirmala. Jadilah wanita seperti cengkir, dalam bahasa jawa cengkir bermakna kenceng ing pikir atau kuat dalam pikiran. Harus percaya pada diri sendiri, jauh dari keraguan agar terus bisa maju dalam bertindak.
Seketika itu Nirmala segera menghapus air matanya. Dia tidak boleh cengeng, tak boleh mengeluh karena dia yakin bahwa ini hanya sebatas kerikil kecil dan tajam yang menghalangi jalannya. Nirmala akan terus melawan perlakuan dari suaminya.
Seketika itu Nirmala segera menghapus air matanya. Dia menatap Hendra dengan tatapan tajam. Tak mau kalah dengan perlakuan yang tak baik baginya. Nirmala akan terus berusaha menjadi istri terbaik bagi Hendra.
Tekadnya bulat. Nirmala akan terus maju tanpa berhenti dan menyesal. Kini sedikit senyumnya hadir seiring lelap matanya dalam peraduan.
***
“Hai Rafi, kapan kamu tiba?” tanya Kamelia.
“Baru sejam yang lalu,” jawab Rafi.
Kamelia, gadis yang sering disapa Meli itu adalah teman di kampus yang sama. Keduanya menempuh pendidikan dengan jalur beasiswa. Meli adalah wanita yang sangat peduli dengan Rafi. Bahkan perhatian yang diberikan kepada Rafi sungguh berlebihan.
Namun Rafi tak ambil pusing dengan perhatian yang Meli berikan kepadanya. Kali ini Meli memasak makanan yang disukai Rafi. Tanpa ragu Rafi pun segera memakan makanan itu. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan itu.
Meli sangat jago memasak. Setiap apa yang dibawanya untuk Rafi pastilah akan cepat habis disantap dalam waktu beberapa menit saja. Gadis yang memiliki kulit putih itu pun sering sekali membawakan buah untuk Rafi.
Setiap hari Meli tak pernah absen mengunjungi apartement Rafi. Keduanya adalah sahabat yang sangat baik. Setiap Rafi butuh bantuan, Meli selalu membuka tangannya. Begitu juga dengan Meli, saat dirinya merasa kesusahan dengan sesuatu, Rafi pasti akan datang untuk membantunya.
“Rafi, aku kemarin beli buku ini, aku sudah selesai baca dan kali ini giliran kamu yang harus menghabiskan setiap kata dari buku ini.”
“it’s an easy thing”
Rafi kembali mengingat hal yang mengganggu pikirannya. melihat buku yang diberikan Meli, dia teringat akan Nirmala. Cantik rupa gadis itu membuatnya seolah tersihir dengan ingatan yang sulit sekali dilupakan.
“Fi, kenapa bengong?”
“Tidak apa-apa?”
Meli beranjak ke dapur untuk mengambil air. Rafi kembali memorinya menghadirkan tentang Nirmala. Entah mengapa kerinduan itu seakan menusuk hatinya. Pertanyaan dalam benaknya seakan tak bisa terhindarkan. “Bagaimana dengan cinta Nirmala, apa yang sedang dia lakukan di sana, dan apakah ada rindunya untukku?”
Pertanyaan itu membuat Rafi merasa tak mudah menepis bayang-bayang Nirmala. Hingga saat dirinya memegang gelas yang berisi air. Gelas itu pun tak sadar dipegang dengan miring, sehingga airnya tumpah dan membasahi buku yang baru saja diberikan oleh Meli.
Meli yang melihat tingkah aneh sahabatnya itu merasa sangat curiga. Dia pun segera membenarkan posisi gelas yang dipegang Rafi.
“Fi, kamu sedang jatuh cinta?”
Pertanyaan Meli membuat Rafi menatapnya tanpa lepas. Dia seketika gugup dan tak cepat menjawab pertanyaan itu. Rafi hanya diam dan terus berpikir tentang jawaban apa yang akan keluar dari mulutnya.
“Siapa yang membuatmu jatuh cinta?”
Rafi tak menjawabnya, namun tiba-tiba saja Meli membanting gelas yang dipegangnya dan dia pergi tanpa kata.
^Cengkir^
"Wani ngalah, luhur wekasane"
(Berani mengalah demi kepentingan bersama adalah sikap yang luhur)