Sudah hampir tiga hari Nirmala sama sekali tak mendapat sedikit pun perlakuan yang baik dari Hendra. Tak ada pembicaraan antara keduanya. Meskipun hari-hari sebelumnya pun sama halnya seperti itu. namun tiga hari terakhir, sikap Hendra lebih terlihat lebih parah.
Nirmala mencoba bercermin pada dirinya sendiri. bagaimana mungkin pernikahan yang tak sehat ini terus saja berlanjut. Tak ada kebahagiaan yang dirasa bisa menentramkan hati. Sebagai wanita dia butuh sosok panutan, sosok yang bisa menjadi sandaran bagi hari-harinya.
Namun menikah dengan Hendra sama saja masuk pada jurang yang dalam. Nirmala kesusahan untuk sekadar keluar dari tempat yang sebenarnya menyiksa hatinya itu.
Tak tahu harus sampai kapan membentangkan kesabarannya. Nirmala bergidik, Asila telah mendapatkan seorang ibu yang pastinya bisa mengurusnya. Bahkan kini Nirmala terguncang hatinya. Dia benar-benar kalah telak dengan kehadiran Rosmalina di rumah Hendra.
Satu atap dengan madu tak bisa menyelesaikan masalah. Bahkan satu persatu masalah itu semakin terlihat begitu menguras hatinya. Nirmala tak tahu bagaiman harus bersikap. Ingin rasanya dirinya mengeluarkan setiap emosi yang merorong jiwanya. Namun Asila tak mampu dan tak tahu pada siapa dirinya akan mengutarakan.
“Nirma, bisakah mama minta tolong?” ucap mama Rose mengagetkan.
“Iya, Ma.”
“Hendra sudah berangkat ke kantor, tapi papa butuh tanda tangannya untuk proyek yang sangat penting. Hendra sudah mama telepon namun tak bisa, mau menyuruh sopir tapi sopir harus mengantarkan Asila ke sekolah.”
“Nirmala bisa, tapi siapa nanti yang akan antar Asila ke sekolah, Ma?”
“Mama akan minta tolong Rosmalina saja.”
Mendengar nama Rosmalina. Entah mengapa rasa hatinya begitu tak biasa. Sedikit kecemburuan seolah mengikuti ekspresi wajahnya yang datar. Namun Nirmala mencoba memaksa dirinya untuk mengerti. Apalagi Rosmalina adalah ibu kandungnya yang tak terelakkan lagi.
Sekejap Nirmala pun pergi ke kantor Hendra. Dia mengendarai taksi. Membawa berkas penting yang harus segera diselesaikan. Di sepanjang jalan, pikiran Nirmala terus saja tertuju pada Asila. Putri kecilnya itu kini telah bersama mamanya.
***
“Bunda ke mana ma? Kenapa tidak mengantar Asila ke sekolah?”
Rosmalina tak menjawab pertanyaan itu. Dirinya sebenarnya sangat enggan sekali dengan pertanyaan yang tak penting menurutnya. Nirmala adalah duri yang ingin disingkirkan dan dihancurkan oleh Rosmalina.
“Mama kenapa tidak jawab pertanyaanku?”
“Nirmala sedang sibuk dan tidak bisa antar Asila, jadi mama yang antar Asila ke sekolah.”
Seketika Asila terdiam. Ada sedikit rasa yang menggumpa di dadaanya. Dia merasa Nirmala sedang marah padanya. Seketika itu mimik wajah Asila pun berubah. Meradang karena apa yang kini dirasakannya sungguh tak bisa diterima dengan baik olehnya.
***
Memasuki kantor Hendra. Nirmala sedikit canggung. Apalagi di sana akan banyak orang yang melihatnya. Dia pun melangkah pelan. Menanyakan pada resepsionis tentang ruangan suaminya itu. Tak lama Nirmala telah sampai di depan ruangan Hendra.
Nirmala mengetuk pintu dua kali. Suara Hendra pun seketika terdengar. Menyuruh orang yang tak diketahui siapa yang berdiri di depan pintu ruangannya, untuk segera masuk ke dalam ruangannya itu.
Hendra bergidik. Saat dirinya mengetahui bila Nirmala yang datang ke ruangannya. Dengan cepat mimik wajahnya berubah menjadi garang. Nirmala pun sedikit diselimuti rasa takut karena pandangan yang sangat tak mengenakkan itu.
“Untuk apa kamu kemari?”
“Mama menyuruhku untuk memberikan berkas ini.”
Nirmala kemudian menyodorkan beberapa berkas kepada Hendra. Hendra pun segera meraihnya. Namun tatapan garang itu masih saja menghiasi manik matanya.
“Aku tak mau kamu datang lagi ke kantorku, karena aku tak mau orang-orang tahu siapa kamu, mengerti!”
Nirmala mengangguk. Dia seolah pasrah dengan setiap perlakuan yang hendra berikan padanya. Menatap penuh keresahan. Nirmala hanya berdiri menunggu suaminya yang masih memeriksa berkas-berkas itu.
Tak lama berkas-berkas itu pun segera diberikan kepada Nirmala lagi. Nirmala menerimanya dan segera berbalim badang. Menahan rasa sakit dalam hatinya. Nirmala keluar ruangan dan seketika itu juga air matanya jatuh menghiasi gundah jiwanya.
Dia berlari. Ingin rasanya cepat pergi dari kantor suaminya itu. Dia tak ingin lagi menerima perlakuan yang terus melukai hatinya. Tiba-tiba saat berbelok arah. Nirmala menabrak seseorang hingga semua berkas yang dibawanya terjatuh di lantai.
“Maaf saya tidak sengaja,” ucap Nirmala dengan menahan tangisnya.
“Iya, saya juga minta maaf,” balas perempuan yang membantu mengambil berkas Nirmala.
Kedua mata itu pun saat ini saling memandang. Betapa terkejutnya Nirmala, begitu pun wanita yang kini berada di depannya itu.
“Nuna.”
“Nirma.”
Dua sahabat karib itu kini telah bertemu dalam ketidak sengajaan. Menghadirkan senyum penuh ketulusan. Nirmala yang telah selesai memungut beberapa berkas itu pun segera berdiri.
“Kamu ngapain di sini, Ma?”
“Ada perlu sebentar tadi, tapi sudah selesai.”
“Aku mau bicara sama kamu, ayo ikut aku.”
“Tapi, Nun. Aku harus segera pulang.”
“Sebentar saja, mumpung aku ada agenda keluar kantor, ayo cepat!”
Nirmala seolah tak bisa berkutik. Nuna menggandeng tangannya seolah tak bisa dilepas dengan mudah. Bahkan langkah kaki Nuna terlalu cepat untuk diiukuti Nirmala. Kini mereka segera keluar dari arena kantor Mahendra.
Duduk bersama dengan memesan minuman. Kini Nirmala dan Nuna saling menatap satu sama lain. bertabur kerinduan yang dalam, sudah lama mereka terpisah tanpa tahu kabar masing-masing.
“Aku kapan hari ke rumah sakit, tapi sayangnya kamu sudah tak ada di sana, ngomong-ngomong siapa yang sakit, Nirma?”
Nirmala menelan ludah. Dia merasa bingung untuk menjawab pertanyaan Nuna. Namun bagaimana pun tak ada salahnya jika dia menceritakan hal yang sebenarnya. Toh, itu juga bukan aibnya. Hanya sekadar menjelaskan sesuatu dari luarnya saja.
“Anakku yang sakit.”
“Apa? Kamu sudah menikah?”
Nirmala mengangguk pelan. Nuna seakan tak percaya dengan apa yang didengarnya itu. Bahkan Nuna merasa bahwa Nirmala begitu jahat tak mengundangnya di hari pernikahan sahabatnya itu.
“Kenapa kamu tak mengundangku, bukankah kamu tahu rumahku, Nirma. Mengantar undangan sebentar saja apa tak bisa! Apa kamu sudah tak menagnggapku?!”
“Ceritanya panjang, pernikahanku tidak seperti pernikahan yang dulu kita idamkan.”
“Maksudmu apa? terus sekarang anakmu sudah berumur berapa tahun?”
“Dia suah sekolah, Nun.”
“Gak mungkin.”
“Aku menikah dengan seorang duda beranak satu.”
Mendengar apa yang dikatakan Nirmala. Nuna benar-benar sangat terkejut. Bahkan sama sekali tak pernah muncul di pikirannya, bila pernikahan sahabatnya itu terjadi tanpa sepengetahuannya.
“Sekarang kenalkan aku sama suamimu!”
Tiba-tiba saja ponsel Nirmala berdering. Nirmala pun segera mengangkat panggilan itu. Dan setelah panggilan itu berakhir. Dengan cepat Nirmala meninggalkan tempat itu tanpa berkata banyak pada Nuna.
“Aku harus pergi, Nun.”
Nirmala pun beranjak dengan cepat. Bahkan dirinya sampai lupa tidak membayar minuman yang dipesannya itu.
“Nirma, tunggu, Nirma!”
Nuna mencoba ingin mendapatkan sebuah penjelasan. Namun lagi-lagi Nirmala seolah benar-benar seperti telah dikejar maling. Langkah kakinya begitu cepat. Secepat petir yang menyambar. Nuna pun hanya bisa diam memandang. Dia tak bisa menyusul sahabatnya itu.
Bahkan Nuna sempat kecewa. Dia tak menanyakan di mana sahabatnya itu tinggal. Begitu pun dengan sebuah nomor telepon yang seharusnya bisa dimintanya terlebih dahulu sebelum akhirnya Nirmala memutuskan pergi tanpa pesan lagi.
Nuna masih merasa ada hal yang tidak beres dengan Nirmala. Wajahnya terlihat sayu dan bahkan tubuhnya pun lebih kurus daripada beberapa waktu yang lalu. Saat Nirmala masih bersamanya. Namun Nuna hanya bisa berharap. Jika kehidupan sahabatnya itu akan baik-baik saja.
***
Sepulang dari sekolah. Asila langsung masuk ke kamarnya. Setelah itu Nirmala membuatkan ssusu untuk anak tercintanya itu. Namun lagi-lagi Nirmala mendapati sang anak seolah sedang tak enak hati.
“Sayang, diminum dulu ssusunya.”
Asila tak menjawab perkataan bundanya. Dia tetap fokus dengan mainan yang kini menghiasi kedua tangannya.
“Asila kenapa? Marah ya sama bunda?”
Asila tetap saja diam. Dia lalu ke luar kamar dan berlari dengan cepat. Nirmala berusaha untuk mengejarnya. Dan dilihatnya Asila telah mengetuk pintu kamar Rosmalina. Hati Nirmala seolah tersayat dalam.
Rosmalina yang terlihat memeluk sang anak itu pun melirik ke arah Nirmala dengan tatapan bengis. Nirmala tak bisa berbuat apa-apa. Dirinya mencoba untuk kuat, meski sudah rapuh berkali-kali. Nirmala pun tak tahu apa salahnya, sehingga Asila tak mau berbicara padanya.
***
Nirmala merasa bosan dengan hidupnya. Tak ada sesuatu yang baru yang bisa membuatnya jauh lebih baik daripada sekarang. Nirmala membuka browser dan mencari sesuatu yang bisa membuatnya sedikit bisa berekspresi.
Membaca beberapa artikel untuk menambah beberapa pengetahuan itu. Dan Nirmala terkejut saat Rosmalina telah datang tanpa diketahuinya.
“Pelan-pelan aku akan membuat Asila benci padamu.”
“Apa sih mau kamu.”
“Satu, mundur dari pernikahan ini.”
“Pernikahan itu bukan mainan, yang seenaknya saja bisa diakhiri kapan maunya. Aku akan tetap berdiri sekuat ragaku.”
“Silakan saja, dan aku pastikan kamu akan menerima penderitaan bertubi-tubi dalam pernikahan ini.”
Rosmalina berbalik badan. Meninggalkan Nirmala seorang diri. Lagi-lagi Nirmala tak dapat mengontrol emosinya. Dia kembali menangis dalam rasa yang terus mencabik relung hatinya. Nirmala berlari menuju kamarnya. Menguncinya rapat-rapat dari dalam kamar.
Nirmala menumpahkan beban yang kini ditangguhkannya. Tangisannya pun pecah. Tak bisa ditahan lagi. Dia keluarkan semua rasa yang membelenggunya. Dengan begitu Nirmala akan sedikit lega. Meski menangis baginya adalah hal yang tidak begitu berguna jika dilakukan berlama-lama.
***
Sajian makan malam itu telah menghiasi meja makan. Semua anggota keluarga pun telah hadir untuk menikmati makanan yang telah disediakan. Namun ada hal yang terasa sangat aneh. Asila memilih duduk bersama Rosmalina, bukan dengan Nirmala.
Mama Rose yang baru saja datang dan segera duduk. Namun matanya terasa aneh melihat Asila duduk di samping Rosmalina. Tidak di samping Nirmala.
Ada sesuatu yang sepertinya terjadi pada Asila. Gadis itu sangat menyayangi Nirmala lebih dari apa pun. Namun sepertinya memang ada yang disembunyikan dari ketidaktahuan mama Rose.
Nirmala pun hanya tertunduk lesu. Sembari menatap piringnya yang sudah berisi beberapa makanan itu. Dia memegang sendok dan garpu seolah seperti memikul beban. Mama Rose pun hanya mengamati sebelum akahirnya bertindak dengan apa yang akan dilakukannya.
“Papa, besok di sekolah Asila peringatan hari ibu, papa jangan lupa datang, ya. Jangan kerja terus.”
“Iya, besok papa datang.”
“Datang sama mama, ya.”
Hendra terdiam tanpa suara. Mendengar kata mama, Hendra merasa bingung, siapa yang akan menghadiri acara hari ibu besok. Kemudian mata Hendra melirik bergantian ke arah Rosmalina dan juga Nirmala.
“Besok Asila ditemani mama Rosma bukan bunda Nirmala, pa.”
Mendengar penjelasan Asila seolah semua pun terasa begitu mengejutkan. Mama Rose tersedak dan Nirmala segera membantu untuk mengambil segelas air putih, mama Rose segera meminumnya. Hendra pun tak menyangka bila Asila memilih Rosmalina daripada Nirmala.
Namun dari pernyataan Asila, ada yang lebih hancur hatinya. Dia adalah Nirmala. Dia memang sadar bahwa Rosmalina adalah ibu kandung dari Asila. Namun entah mengapa hatinya seolah tak mau menerima dengan mudah.
Nirmala menahan rasa yang sangat sulit untuk dijelaskan. Dia masih tediam dengan makanan yang masih memenuhi mulutnya. Seketika itu Nirmala segera mengambil segelas air untuk mengakhir sarapan paginya.
“Maaf, saya permisi ke belakang dulu.”
Semua mata pun menelisik dengan apa yang dilakukan Nirmala. Mama Rose sepertinya sangat memahami betapa hancur hati menantunya itu. Nirmala yang sudah mengabdikan hidupnya bertahun-tahun. Hanya untuk membahagiakan putri kecilnya itu.
Hari ini menjelang perayaan hari ibu, Asila lebih memilih Rosmalina daripada dirinya. mama Rose pun tak tinggal diam. Dia segera beranjak dari kursinya dan menyusul Nirmala segera.
Sedangkan Rosmalina terus saja tertawa dalam hatinya. Usahanya untuk mempengaruhi Asila sepertinya telah berhasil. Doktrin-doktrin yang direayasa itu telah membuat Asila semakin dekat dengan dirinya.
Perlahan Rosmalina akan terus membuat Nirmala menyerah dengan pernikahannya. Dia ingin Nirmala pun merasakan betapa sakitnya perceraian. Apalagi dengan orang yang sangat dicintai.
Rosmalina tahu bila Nirmala menaruh hati pada Mahendra. Sehingga Rosmalina pun bersikukuh untuk tidak membuat Hendra membalas rasa itu. Rosmalina ingin kehancuran hati Nirmala segera terbalaskan. Seperti saat dirinya diceraikan oleh Roy. Cinta pertamanya dulu.
***
Bulir-bulir air mata menghiasi gundah gulana seorang Nirmala. Dia ingin memberontak tapi tak tahu pada siapa. Dia yang memang bukan siapa-siapa, sadar dengan posisinya. Namun tak ayal hatinya seolah tak bisa menerima dengan lapang dadaa.
Kini hanya tangislah yang bisa mengerti akan tulusnya cinta yang dihadirkan Nirmala untuk keluarganya. Namun tak semua mengerti posisinya. Nirmala terus saja mengeluarkan kegundahan hatinya lewat berjuta air mata di atas bantalnya.
Perayaan hari ibu bagi anaknya membuat Nirmala merasakan derita yang dalam. Meski begitu Nirmala akan terus mencoba untuk menerima. Walau kini dia harus merasakan sakit yang teramat dalam. Tak ada pembalasan cinta yang amat menyakitkan, selain tak dapat pengakuan dari orang yang dicintainya.