“Mbak Nirmala, temani aku tidur.”Ucapan itu membuat Nirmala berbalik badan dan menatap Asila. Sesegara mungkin langkah kakinya mengarah ke tempat tidur Asila. Mencoba kembali menidurkan anak asuhnya itu. Sedangkan Rafi hanya berdiri dengan tatapan yang tak lepas pada Nirmala.
Nirmala mencoba mengalihkan tatapan matanya. mencoba dengan tenang menanggapi apa yang dikatakan Rafi padanya. Setelah mengatakan isi hatinya. Rafi mulai gugup. Dia pun segera pergi dari kamar Asila.
Entah Nirmala memiliki rasa yang sama atau tidak dengannya. Namun Rafi sudah menyatakan isi hatinya. Dia tak tahu sejak kapan rasa itu bersemayam dalam hatinya, yang jelas hati tak bisa berbohon jika rasa cinta itu menggebu dan terasa ingin memili orang yang dicintainya.
Rafi segera pulang. tak cukup keberanian untuk tetap berada di rumah Hendra. Dirinya membiarkan angin menerpa cinta yang sudah diungkapkan. Selanjutnya Rafi hanya butuh waktu untuk mengetahui tentang isi hati Nirmala padanya.
***
“Mbak Nirmala.”
Asila membuka matanya dan menatap Nirmala penuh kasih. Nirmala yang masih berada di samping anak asuhnya itu pun membalas tatapan mata penuh cinta.
“Ada apa sayang? Kenapa belum tidur?”
“Mbak Nirmala tetap akan menikah dengan papa, kan? Bukan dengan om Rafi?”
Nirmala terdiam. dirinya tak bisa menjawab pertanyaan yang dilayangkan padanya. Bagaimana mungkin Nirmala bisa berucap, dirinya sendiri masih tak mengerti tentang hatinya. Sepertinya hatinya masih belum bisa mengatakan apa pun.
“Sudah malam, Asila tidur, ya.”
Nirmala mencoba mengalihkan pembicaraan, sembari membetulkan selimut Asila yang kurang tepat. Namun mata Asila tampak lebih lebar. Mendadak kantuknya hilang setelah dia mendengar ucapan Rafi tadi pada Nirmala.
“Kenapa mbak Nirmala tidak menjawab?”
“Sudah malam, waktunya istirahat sayang, besok Asila harus sekolah, mbak Nirmala matikan lampunya, ya.”
Nirmala sengaja tak memperpanjang lagi pembicaraannya dengan Asila. Seolah dirinya pun belum siap dengan alasan yang akan dihadirkan. Nirmala tak menemani Asila sampai tidur. Dirinya bergegas untuk masuk ke kamarnya sendiri. Mencoba menenangkan hatinya yang tengah gundah gulana.
***
Asila tak kunjung bisa mencapai mimpi di dunia maya. Gelap kamarnya tak menjamin matanya bisa cepat terpejam. Asila pun kembali menyalakan lampu. Dirinya ke luar kamar dan ingin menuju ke kamar papanya.
Mengetuk pintu kamar sang papa berkali-kali. Tak lama Hendra pun keluar dengan segera. Menatap wajah putrinya seorang diri di depan pintu kamarnya.
“Sayang, kenapa belum tidur?”
“Papa, bolehkah aku tidur sama papa?”
Hendra segera menggendong putrinya. Membawanya masuk ke dalam kamar. Mengajaknya untuk segera memejamkan mata, membentangkan selimut untuk melindungi tubuh gadis cantiknya itu. hendra yang diselimuti rasa kantuk itu pun segera memejamkan matanya. Namun tidak dengan Asila. Dia terus memandang papanya dalam kegelapan.
“Pa, aku mau papa segera menikah dengan mbak Nirma.”
Suara itu sebenarnya membuat Hendra malas membuka matanya. Namun dirinya tak bisa berkata tidak pada setiap keinginan Asila.
“Iya, sayang. Sekarang tidur ya, sudah malam.”
“Papa nikahnya kapan?”
“Secepatnya.”
“Sebelum hari ibu ya, Pa.”
“Iya.”
Hendra mengecup kening malaikat kecilnya itu dengan perasaan tertahan. Dirinya yang sama sekali tak menaruh rasa pada Nirmala. Kini harus rela mengorbankan hatinya demi sang putri tercinta. Hendra memaksakan matanya untuk terpejam. Tak mau berkelibat lagi tentang hal yang mengganjal tentang Nirmala.
***
Nirmala tak tahu harus bahagia atau bersedih. Ungkapan hati Rafi membuat hatinya berdesir. Seakan diajak terbang menembus cakrawala. Benih-benih cinta itu telah hadir. Sedikit bersemayam dalam hatinya.
Tutur kata sopan dan snagat menyanjungkan membuat Nirmala seolah terpana dengan pribadi Rafi. Laki-laki berkarisma itu telah menjatuhkan hati Nirmala. Andaikata dirinya bisa menjawab, pastinya Nirmala akan mengatakan hal serupa.
Namun di sisi lain. nirmala sangatlah sadar dengan dirinya. anak yatim piatu, sebatang kara dan tak punya apa-apa untuk dibanggakan, sepertinya tak pantas bersanding dengan laki-laki super kaya dengan latar belakang pendidikan yang sangat baik itu.
Nirmala bergeming. Belum lagi permintaan Asila yang juga membuat hidupnya merasa sangat berat. Kasih sayangnya pada Asila memang tak bisa dipungkiri lagi. Dia tak tega bila harus menyakiti putri kecil yang menggemaskan itu. namun bagaimana pernikahan itu bisa terjadi tanpa adanya cinta sebagai landasan utamanya.
Pikiran Nirmala berkecamuk. Tertuju pada dua hal yang sangat tabu bagi dirinya. Kebaikan keluarga Mahendra selama ini padanya begitu baik, meski hal itu tak didapatkannya pada sosok papa Asila. Namun Nirmala tak bisa berbohong dengan hati kecilnya sendiri, bahwa dia mencintai laki-laki yang telah mengungkapkan cinta padanya.
Nirmala memutar badannya. Dia tak kunjung bisa tertidur dengan pulas. Tiba-tiba saja ponsel yang ditaruh di atas mejanya itu berdering. Sebuah pesan diterimanya. Nirmala pun segera membukanya dan membaca dengan cepat.
“Berbicaralah dengan hati bila itu tentang cinta. Nirmala dua kali kukatakan, Aku mencintaimu.”
Nirmala tersentak membaca kalimat itu. Selama mendapatkan ponsel ini. Nirmala belum memberikan nomornya pada siapa pun. Meskipun nomor yang sudah siap untuk dipasangkan di ponselnya juga diperoleh secara gratis. Nirmala sangat yakin, tak ada satu pun orang yang mengetahui tentang nomor ponselnya.
Nirmala membangunkan tubuhnya segera. Ada hal yang merasa janggal. Dia yakin pengirim pesan ini adalah Rafi. Jika Rafi mengetahui nomor ponselnya maka kemungkinan besar ponsel itu pun darinya. Nirmala semakin yakin. Dia tak membalas pesan itu. dibiarkan saja ponselnya tergeletak di atas meja. Nirmala memalingkan wajahnya dan berusaha memejamkan mata secepatnya.
***
Nuna menemui wanita yang datang ke rumahnya. Melangkahkan kaki pelan menuju ruang tamu. Dilihat seseorang yang belum dikenalnya. mata Nuna terus memandang tanpa jeda.
“Kamu siapa?”
“Saya Diana, sepupunya Faisal.”
Faisal adalah calon suami Nuna. Nuna pun mempersilakan Diana untuk duduk segera. Nuna meminta asistennya untuk membuatkan minuman. Setelah itu mereka kembali menatap satu sama lain. nuna semakin penasaran melihat wajah wanita di hadapannya yang sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu. Sayu dan sedikit pucat.
“Ada apa Diana?” tanya Nuna.
“Nun, aku kesini untuk kasih kabar jika ...”
“Apa Diana?”
“Faisal ... Faisal ...”
“Ada apa dengan Faisal? Cepat katakan!”
“Faisal tadi mengalami kecelakaan dan kondisinya sekarang koma di rumah sakit.”
Mendengar kabar itu. Nuna sungguh terkejut. Dirinya tak bisa berkata-kata. Bahkan air matanya seketika itu tumpah. Membanjiri ketidakberdayaan atas apa yang didengarnya.
“Kamu yang sabar, Nun.”
Nuna tak menjawab. Pandangannya kosong. Diana pun memeluknya erat. Setelah itu Nuna menjerit dengan sangat keras. Membuat seisi rumahnya keluar untuk melihat kondisinya.
“Ada apa ini?” tanya sang mama.
Kembali Diana harus menjelaskan duduk permasalahan yang tak bisa dihindari. Semua mata tertuju pada Nuna. Calon pengantin itu kini sedang dilanda nestapa. Dekap erat dan kasih sayang yang diberikan membuatnya terus saja terisak dengan tangisnya.
Nuna dan kedua orang tuanya segera menuju ke rumah sakit untuk memastikan kondisi Faisal. Di sepanjang jalan tak ada tangisan yang tak hadir menemani kegundahan jiwa Nuna. Menocba setegar karang, namun saat melihat kondisi sang calon suami. Nuna seakan tak sanggup untuk terus memandang laki-laki yang sudah memenuhi hatinya itu.
Pernikahan yang tinggal sejengkal pun terancam dibatalkan untuk sementara waktu. Menunggu kesembuhan sang calon imam yang sekarang kondisinya masih sangat kritis. Kedua keluarga pun bertemu. Dalam duka yang melanda terselip doa yang selalu diagungkan, untuk sebuah kesembuhan yang diharapkan.
***
Hendra meminta asisten pribadinya mengurusi segala urusan pernikahan. Bakan tanpa disangka sore itu ketika Nirmala pulang dari mengantar Asila ke sekolah. Asisten pribadi Hendra langsung menjemputnya. Tak ada penolakan yang boleh dilakukan.
Nirmala tak mengerti apa yang sedang laki-laki itu lakukan padanya. Asisten Hendra hanya diam tanpa berkata. Membawanya ke suatu tempat yang sama sekali tak diketahuinya. Lamat-lamat mata Nirmala memandang. Sebuah bangunan dengan papan nama “Sakura Weding” terlihat di pelupuk matanya.
Memasuki ruangan, seorang pegawai pun seolah sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Nirmala mengikuti langkahnya. Lalu beberapa pakaian pengantin itu dipilihkan untuknya. Nirmala menatap kosong. Dirinya yang tak mengerti serasa begitu bodoh.
Pikiran Nirmala melayang. Dia pun berusaha menolak untuk tidak mencoba beberapa gaun pengantin. Namun pegawai itu terus saja memaksanya. Nirmala pun hanya mencoba satu gaun pengantin saja yang berwarna putih.
Menatap wajahnya di cermin. Dirinya penuh dengan pikiran yang berkecamuk dalam d**a. Ada sedikit senyum saat gaun itu menghiasi tubuhnya. Namun seketika senyum itu terbuyarkan. Ketika wajah Hendra berkelibat dalam pelupuk matanya.
Nirmala tak ingin menikah dengan kondisi yang membuatnya sulit memutuskan. Tak ada cinta di antara keduanya. Bagi Nirmala hanya sebuah kasih untuk sang malaikat kecil yang begitu meneduhkan.
Bayangan tentang pernikahan bersama Hendra membuatnya ingin segera melepaskan gaun pengantin itu. Tak ada sedikit rasa pun yang singgah di hatinya. Yang ada hanya kekecewaan yang etrukir jelas dalam setiap kata yang Hendra keluarkan untuknya.
Nirmala memejamkan matanya. sesaat wajah Rafi yang datang dan seakan menyapanya penuh dengan kelembutan. Menyatu dalam setiap embus napasnya. Bisikan cinta mengalun indah pada syairnya yang begitu menentramkan.
Itulah cinta yang dirasakan di hati Nirmala. Namun tak lama Hendra datang dengan asistennya. Membuyarkan lamunan Nirmala yang cukup indah dalam fatamorgana.
“Pilih saja gaun mana yang kamu sukai.”
Hendra berkata seperti guntur yang menyambar. Tak ada kata-kata manis yang bisa menghargai seorang wanita, yang ada hanya sebuah perintah yang sulit sekali diterima Nirmala. Bahkan untuk memilih gaun pengantin dengan harga yang fantastis sekalipun hatinya terasa ingin menolak.
“Jangan terlalu lama di sini, Asila menunggumu di rumah.”
Hendra kemudian berbalik badan dan meninggalkan Nirmala seorang diri. Baginya tak ada hal yang menyenangkan dari diri majikannya itu. Semua super menjengkelkan. Bahkan saat ini perintah untuk menikah itu pun terasa sangat berat bagi Nirmala.
“Mbaknya jai pilih gaun yang mana?” tanya seorang wanita yang melayani Nirmala.
“Pilihkan saja satu untukku, terserah yang mana saja aku terima.”
“Tapi, Mbak apa tidak sebaiknya mbak yang memilih gaunnya sendiri.”
“Tolong mbak yang pilihkan untuk saya.”
Nirmala tak suka dengan hari ini. Di mana harga dirinya terasa tak dihargai lagi. Tak ada sedikit rasa yang hadir dalam benaknya. Dia ingin mundur dengan kisah ini. Nirmala seolah ingin lari dan membuat kisah baru dalam hidupnya.
Sesampainya di rumah. Hendra dan semua anggota keluarganya telah menunggu Nirmala di ruang tengah. Nirmala yang melihat suasana tak menyenangkan itu pun hanya berdiri tanpa berkata. Namun pandangan matanya beralih pada gadis kecil yang sangat merindukan kedatangannya. Asila berlari dengan senyumnya yang terpancar indah.
“Nirmala duduklah di sini bersama kami,” ucap Mama Rose.
Nirmala belum menjawab. Namun sebuah hantaman kata-kata itu melayang padanya. Dia seketika merasa muak dan ingin lari. Namun Asila mencegahnya dengan dekapan erat. Nirmala masih saja berdiri tanpa rasa yang diagungkan itu.
“Tak usah duduk di sini, bersiaplah karena besok kita akan menikah!”
Seperti meteor jatuh tanpa permisi. lagi-lagi Nirmala harus terkejut dengan kata-kata yang kembali keluar dari mulut Hendra. Terasa begitu panas dan menyakitkan. Baginya tak ingin hidupnya diatur, apalagi tentang sebuah pernikahan sakral.
Nirmala berlari menuju kamarnya. Asila yang bahagia dengan kabar gembira itu. segera menyusul Nirmala yang hatinya tengah remuk redam.
^Cengkir^
"Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang."
(Menemui musibah yang tidak disangka-sangka.)