Part 11 – Kesadaran

1049 Words
Jantung Nirmala berdetak lebih kencang. Seakan dirinya akan ikut berperang melawan musuh. Wulan meninggalkan dirinya di dalam sebuah kamar. Nirmala mencoba meyakinkan hatinya. Ini hanya sebatas mendapatkan uang yang banyak untuk bayar hutang. Nirmala yakin, laki-laki itu tak akan mengganggu dirinya. Nirmala sebelumnya sudah berpesan pada Wulan. Dia hanya mau menemani laki-laki untuk jalan di luar.Seperti makan bersama, nonton atau sekadar beli sesuatu. Degup jantung yang terus meriuhkan Nirmala. Belum apa-apa napasnya pun terasa tersengal. Nirmala sangat gugup. Dia melihat tampilannya di cermin. Baru kali ini Nirmala berani memakai baju yang tak nyaman baginya. Baju milik Wulan itu membuat beberapa bagian tubuh Nirma terlihat begitu terbentuk. Rambutnya yang dibuat curly. Ditambah lagi riasan di wajah membuat Nirma ingin cepat mengakhirinya. Namun ini semua hanya sementara. Hanya empat hari untuk melunasi hutang ayahnya. Nirmala tak mau dikejar hutang. Tak mau bila dirinya akan dinikahi laki-laki yang sama sekali tak dicintainya. Nirmala terus saja membisikkan kata motivasi dalam dadaanya. Supaya kegugupan itu sedikit menepis. “Ayo, Mala. Cepat keluar!” Nirma mendengar suara Wulan memanggilnya. Dia pun segera bangkit dari kursi. Sepatu hak tinggi pun menghiasi kakinya. Membuat Nirma tak bisa berjalan dengan cepat. Maklum saja dirinya tak terbiasa dengan hal itu. Di kantor saja dialebih suka memakai sepatu flat, agar mudah memberi gerak pada kakinya. Sesampainya di ruang tamu. Nirma menunduk ke arah lantai. Dia sama sekali tak berani menatap wajah laki-laki itu. Sedangkan si laki-laki itu segera menggandengnya untuk diajak pergi. Saat tangan kakan Nirma disentuh laki-laki. Refleks dia menjerit dengan suara kerasnya. Laki-laki itu pun hanya tertawa dengan terus menggandengnya. Nirma semakin bingung dengan apa yang kini dilakukannya. Dia tak bisa berpikir lagi. “Sabar ya, Om. Maklum masih ori.” Suara Wulan terdengar lirih saat Nirma dan laki-laki itu ke luar rumah. Keduanya segera menaiki mobil yang sudah terparkir rapi di depan rumah. Laki-laki itu menyetir mobilnya sendiri. Nirma tak cukup keberanian untuk menatap laki-laki yang mengajaknya. Cukup lama mobil itu melaju. Hingga akhirnya terhenti di depan hotel. Nirma kembali merasakan dadaanya penuh dengan huru-hara. Laki-laki itu segera memaksanya keluar. Dia dengan tatapan terus menuduk, pun menuruti untuk sebuah tujuan. Satu kamar dipesan. Nirma cukup positif pikirannya. Dia hanya mengira laki-laki itu meminta ditemani makan di hotel. Namun ternyata saat kamar hotel itu terkunci. Laki-laki itu hampir saja melakukan hal yang tak diterima Nirma. Jeritan Nirma membahana. Laki-laki itu terus memaksa. Nirma mencoba melawan. Dia menggunakan seluruh kekuatan. Bahkan tanpa disengaja, Nirma memukul laki-laki itu dengan sepatunya. Nirma segera berlari untuk ke luar. Dugaannya salah. Lelaki ini memintanya melakukan sesuatu lebih. Nirma dengan peluh yang menetes. Dia berlari untuk menghindar. Wajah laki-laki yang seperti seumuran ayahnya jika ayahnya masih hidup, berusaha mengejarnya. Namun keadaan seolah menjaga Nirma. Dia sudah memperoleh taksi dan segera pergi dari tempat itu. *** Nuna tersedak. Ketika sang mama menceritakan padanya. Bahwa nanti malam akan ada seorang laki-laki yang ingin berkenalan dengannya. Nuna tak menyangka, fisiknya yang sedikit melebar dan wajah hitamnya itu, ada sosok yang mau mendekatinya. Nuna terdiam dengan hati berbunga-bunga. Betapa tidak, selama ini tak ada satu pun laki-laki yang mau serius dengan sebuah hubungan. Dirinya yang dulu sangat iri dengan sahabatnya, Nirma. selalu saja menjadi penerima surat atau barang-barang sebagai hadiah untuk sang wanita pujaan. Namun kali ini berita itu membuatnya tersenyum merekah. Meski dia tak tahu bagaimana reaksi seorang laki-laki itu saat melihatnya. Makan pagi itu pun berlalu saat Nuna sudah akan berangkat ke kantornya. *** Nirmala meratapi nasibnya. Dia tak menyangka bahwa dirinya akan melakukan hal sekonyol itu. kali ini dirinya tak masuk kantor. Menyesali perbuatan yang sangat tak bisa dinalar. Kini dirinya seakan pasrah. Tiga hari lagi merupakan waktu yang sulit baginya untuk mendapatkan tiga ratus juta. Usaha apa pun sudah dilakoninya. Namun kali ini jalannya seakan buntu. Dia tak menemukan setitik jalan lain agar dirinya bisa keluar dari tempat samar itu. Nirma dengan air matanya yang menetes. Dunia ini terasa begitu menyakitkan baginya. Bantalnya basah. Dia tak mampu lagi berpikir dengan baik. Siang menyapa dengan terik matahari yang memanggang kulit. Nuna yang sedang berbunga-bunga itu menghubungi sahabatnya. Mengajaknya untuk makan siang. Namun tak ada respon dari Nirma. panggilannya tak dijawab. “Mungkin dia sedang sibuk, tapi inikan jam makan siang.” Nuna pun mencoba mencari cara lain. Dia pun menelepon papanya. Setidaknya papanya bisa sedikit membantunya. Meski papanya pun hars menanyakan kembali pada orang lain. “Halo, sayang.” “Pa, tolong bilang ke Nirma, Aku menunggunya di tempat biasa, soalnya Aku telepon dia gak ada respon, Pa.” “Dia gak ada, tadi pagi ada briefing semua karyawan, Papa tidak melihatnya.” “Papa serius?” “Iya, apa perlu papa tanyakan HRD?” “Tidak usah, Pa.” Nuna mengakhiri pembicaraan itu. Dirinya seakan tak percaya. Nirma bukan tipikil orang yang mudah ijin untuk urusan apa pun. Apalagi kini dirinya sedang butuh banyak uang. Pikiran Nuna pun melayang. Dia tak tinggal diam. Segera bergerak menuju kos Nirma. “Kamu kenapa?” Nirma menggelengkan kepalanya. Dia masih menikmati empuk tempat tidur itu. tubuhnya masih dililit selimut. Dia belum juga bangun sejak pagi. “Kamu sakit, Ma.” “Enggak, Cuma sedang sedikit tak enak badan saja.” “Nanti Aku antar ke dokter, ya.” “Tak perlu, hanya butuh istirahat saja, Nun.” “Ya sudah kalau begitu, istirahatlah. Aku bawakan kamu makanan. Aku balik dulu ya.” “Terima Kasih, Nun.” “Oh, iya. Aku lupa. Nanti malam akan ada laki-laki datang ke rumah, Ma. Kata Mama dia mau kenal sama aku. Semoga dia jodohku, ya.” “Iya, Nun.” Nuna segera pergi. Nirma kembali meneteskan air matanya. Bahagia yang terukir di wajah sahabatnya itu tak seperti luka yang kini dia rasakan. Berjuta penyesalan menyelimuti. Seolah Nirma telah melanggar sebuah norma. Bayangan ibunya tersemat sekejap. Bagaimana mungkin dirinya bisa melakukan hal buruk itu. Nirma terus saja meratap. Penyesalan itu tak bisa hilang dari benaknya. Ingin memejamkan matanya, agar bayangan penyesalan itu segera berakhir. Tiba-tiba saja ponselnya berdering. Waktumu tinggal tiga hari lagi Nirma membanting ponselnya. Dia tak tahu harus bagaimana mencari cara. Tak ada cahaya terang yang bisa diikutinya, kelu bibir dan hatinya kini. Terus meratapi permainan dunia yang kini membuatnya jatuh tanpa bisa meminta tolong. Harus bangkit sendiri, naun dirinya tetap tak kuasa dengan permainan itu. ^Cengkir^ "Kena iwake aja nganti buthek banyune." (Berusahalah mencapai tujuan tanpa menimbulkan kerusakan)  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD