Entah mengapa, setelah pertemuan Winston dengan anak kecil bernama Zavier itu membuat ia selalu kepikiran. Padahal sudah beberapa hari berlalu, namun ia masih saja terbayang wajah dan suara anak kecil itu.
Winston menggelengkan kepalanya. Mencoba mengenyahkan bayangan Zavier yang seakan menari-nari di pelupuk matanya.
"Apa aku harus melakukan rencana itu lagi?" gumamnya yang memikirkan tentang rencananya dulu yang ingin memiliki anak melalui ibu pengganti.
Winston pikir, mungkin alasan kenapa ia selalu terbayang wajah anak kecil itu karena keinginannya yang sempat terkubur. Memiliki seorang anak tanpa menikah. Ia tidak suka menjalin hubungan romantis dengan wanita. Bahkan seumur hidupnya saja, ia tidak pernah memiliki seorang kekasih.
Sebenarnya banyak wanita yang mencoba mendekati Winston, tapi tak ada satu pun yang bisa. Winston selalu menanggapi dingin setiap wanita yang mencoba mendekatinya. Baginya menjalin hubungan romantis itu hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan biaya. Ia tak ingin memiliki hubungan dengan wanita. Ia tak berminat memiliki pasangan apalagi sampai menikah. Ia lebih senang hidup sendiri dan menghabiskan waktunya dengan bekerja. Oleh sebab itulah, banyak yang mengira Winston memiliki kelainan seksual. Namun meskipun begitu, para wanita tetap tak pernah lelah mencoba mendekati. Apalagi para wanita materialistis dan gold digger. Karena wajah tampan dan kekayaan Winston jauh lebih menarik dari pada rumor yang belum terbukti kebenarannya.
"Tuan, ada Tuan besar Gideon," lapor Juna.
"Apa? Ayah?"
"Iya, Tuan. Tuan Gideon baru saja datang. Mungkin saat ini Beliau sudah berada di lift."
"Ya, sudah. Biarkan saja Ayah ke mari."
"Baik, Tuan." Juna pun segera undur diri. Tak lama kemudian, sosok yang Juna sebut tadi tiba. Winston pun segera menyambutnya.
"Ayah kenapa tidak bilang-bilang ingin datang ke mari? Kalau aku tau, aku pasti akan meminta Juna menjemput Ayah," ujar Winston pada sang ayah yang berjalan masuk dengan tongkat di tangan kirinya.
Gideon tersenyum. "Tidak perlu terlalu memanjakan Ayah. Ayah belum terlalu jompo. Jangan mentang-mentang Ayah berjalan menggunakan tongkat jadi kau menganggap Ayah tidak sanggup melakukan apa pun," ujar Gideon.
Winston tersenyum. Lalu ia mempersilakan ayahnya duduk. "Sepertinya perusahaan ini semakin besar dan sukses saja di tanganmu, Winston. Ayah bangga padamu. Padahal saat itu perusahaan ini hanya perusahaan kecil. Bahkan hampir pailit karena kekurangan modal. Hutang ada di mana-mana, tapi berkat kau, perusahaan ini bukan hanya berkembang pesat, tapi menjadi salah satu perusahaan besar di negara ini," ucap Gideon sambil tersenyum bangga.
"Berhenti terlalu memujiku. Apa Ayah tidak bosan mengatakan itu selalu setiap bertemu."
Tuan Gideon terbahak. "Ayah hanya merasa bahagia. Anak yang Ayah berusaha besarkan segenap jiwa dan raga bisa tumbuh baik seperti ini. Dia pasti akan menyesal sudah membuang putranya yang hebat ini," ujar Gideon dengan pandangan menerawang.
"Tak perlu mengingatnya lagi, Yah. Aku sudah tidak peduli. Mau menyesal atau tidak, terserah saja. Jangan terus menyiksa diri dengan mengingat masa lalu," sergah Winston membuat Gideon tersenyum kecut.
"Ya, ya, ya, baiklah. Tapi ngomong-ngomong, kapan kau akan memberikan Ayah cucu? Kau tau, Ayah benar-benar kesepian. Carilah perempuan baik-baik dan menikahlah. Tidak semua wanita seperti ibumu, percayalah," nasihat sang ayah.
"Yah, harus berapa kali lagi Aku mengatakan kalau aku tidak akan menikah dan takkan pernah menikah," ucap Winston kesal.
"Winston, Ayah hanya ingin melihatmu bahagia."
"Bahagia tidak harus dengan menikah, Ayah. Dan masalah anak, nanti aku akan memberikannya. Tunggu saja," ucap Winston.
"Dengan cara apa? Jangan bilang kau akan menyewa wanita untuk mengandung anakmu?" sindir Gideon.
"Kalau ada cara yang mudah, kenapa harus dengan cara yang sulit apalagi menikah. Membuang-buang waktu saja."
"Winston, kau pikir membesarkan seorang anak itu mudah? Tidak. Membesarkan anak itu sulit. Dan anak membutuhkan keluarga yang lengkap untuk tumbuh kembangnya."
"Buktinya Ayah bisa membesarkan aku dengan baik. Jadi anakku tak butuh seorang ibu."
"Winston, Ayah tau kau kecewa dengan perbuatan ibumu, tapi jangan ambil hak seorang anak untuk memiliki keluarga lengkap dengan menghadirkannya ke dunia tanpa keluarga yang utuh. Lagipula apa kau ingin anakmu pun tumbuh seperti dirimu? Bila kini kau dendam karena ibumu yang meninggalkanmu, maka Ayah yakin bila kau memiliki anak dengan cara seperti yang kau pikirkan, maka dia akan membencimu karena menghadirkan dirinya tanpa seorang ibu. Naluri seorang anak itu ingin disayangi ayah dan ibunya. Jadi menurut Ayah, kalau kau memang ingin memiliki seorang anak, menikahlah. Percayalah, tak semua wanita seperti ibumu."
Winston membuang wajahnya saat sang ayah mengatakan itu. Mau dibujuk ratusan bahkan ribuan kali pun, dia takkan pernah menggoyahkan prinsipnya untuk tidak menikah seumur hidupnya.
***
"Mami, ada Paman Antales mau mengambil pakaiannya," pekik Zoya yang duduk di meja depan. Sementara Roro sedang menyetrika pakaian di dalam rumah.
"Iya, sebentar." Roro segera memutar tombol off setrika. Setelah itu, ia pun segera beranjak ke depan. Sekarang Roro memang mengurus laundry-nya seorang diri. Itu karena langganannya sudah semakin sedikit. Beberapa pabrik di sana sudah tutup sebab tanahnya dijual ke pengusaha kaya. Alhasil, penghuni mess yang sering laundry ke tempatnya pun semakin sedikit. Roro pun terpaksa memberhentikan pegawainya karena tak sanggup membayar gajinya.
"Maaf, ya. Lama. Aku sedang nyetrika," ujar Roro sambil mengambil pakaian yang Antares laundry pagi tadi.
"Tak masalah. Lagipula aku ditemani Zoya. Dia anak yang lucu dan menyenangkan," ujar Antares.
Roro tertawa kecil. Memang gadis kecilnya itu pandai mencuri hati orang-orang dengan tutur kata dan senyumannya.
"Terima kasih, ya," ujar Roro seraya menyerahkan kantong berisi pakaian yang sudah dicuci dan setrika.
"Sama-sama. Oh, ya, besok masih buka?"
"Sekarang yang laundry semakin sedikit, jadi kami terpaksa buka tiap hari," ujar Roro.
"Wah, sayang sekali."
"Mami, tadi Paman Antales celita di lapangan sana akan ada bazal mulah. Akan ada banyak yang jual makanan enak. Ada wahana pelmainan anak-anak juga, Mi. Zoya mau ke sana, Mi. Mau, ya, Mi?" bujuk Zoya.
"Zoya Sayang, tapi 'kan besok kita mesti buka laundry?"
"Apa yang Mami katakan benar, Zoya. Kita tidak perlu pergi. Memangnya kau punya uang mau ke sana?" sela Zavier. Zoya menunduk membuat Roro menelan ludah. Ia tidak mau datang ke sana memang karena keuangannya yang sedang menipis. Belum lagi ia harus membayar SPP anak-anaknya yang sebentar lagi jatuh tempo. Sudah dua bulan ia menunggak. Sementara sebentar lagi akan masuk bulan ketiga. Semakin ditunda, biaya akan semakin membengkak. Dan ia tak mau anak-anaknya kemudian mengalami bully hanya karena belum membayar biaya sekolah.
Sebenarnya Roro kasihan dengan anak-anaknya. Ia memperhatikan Zavier yang begitu bijaksana. Ia sedih karena harus membuat anak itu dewasa sebelum waktunya. Zavier memang selalu pengertian padanya.
"Ayolah, Ro! Sesekali tak masalah menyenangkan anak-anak. Kau tidak perlu khawatir karena aku yang mengajak mereka, maka semua aku yang menanggung. Kau mau 'kan?"
Roro memerhatikan Zoya yang tampak cemberut. Zoya memang sering mengajaknya jalan-jalan, hanya saja uang yang selalu menjadi penghalang.
"Baiklah. Aku setuju. Tapi kau tidak perlu repot-repot menanggung biayanya. Aku ibunya. Mereka adalah tanggung jawabku. Terima kasih atas kebaikanmu."
Roro masih memiliki harga diri. Ia tidak ingin memanfaatkan kebaikan orang-orang yang mana kapan saja bisa menjadi bumerang baginya.
"Yeay, makasih, Mami. Zoya sayang Mami," pekik Zoya yang langsung melompat dan memeluk Roro. Berbeda dengan Zoya yang ekspresif, maka Zavier selalu memasang tampang cuek. Antares berkali-kali mencoba mendekatinya, tapi ternyata sangat sulit.