Seperti janjinya, Antares–laki-laki yang menaruh hati pada Roro pun menjemput ibu dan kedua anak kembarnya tersebut. Antares bekerja sebagai supervisor di sebuah pabrik helm yang tak jauh dari tempat tinggal Roro. Ia juga menyewa rumah cukup besar di sana untuk tempat tinggalnya selama bekerja.
Rumah Antares sebenarnya ada di kota lain. Jadi setiap Senin sampai Jum'at, Antares akan tinggal di sana, sedangkan Sabtu-Minggu ia akan pulang ke kotanya. Namun, karena hari Sabtu hingga malam Minggu akan diadakan bazar murah dan aneka wahana permainan di lapangan dekat kediaman Roro, Antares pun memilih tidak pulang. Ia berniat mengajak Roro dan kedua anaknya jalan-jalan sebagai cara untuk mendekati Roro. Karena ia tahu Roro tak bisa pergi di siang hari, Antares pun memilih menjemputnya di malam hari. Dan kebetulan sekali saat ia datang ternyata ketiga orang itu sudah bersiap untuk pergi.
"Antares, kau di sini?" Roro pikir Antares tidak jadi menjemput mereka sebab bukankah setiap Sabtu dan Minggu, laki-laki itu akan kembali ke kotanya.
"Bukannya aku sudah berjanji akan mengajak kalian ke bazar di lapangan sana?" ujar Antares mengingatkan.
"Tapi ...."
"Ayo, anak-anak! Mau naik mobil atau jalan kaki saja?"
"Naik mobil."
"Jalan kaki," ujar Zoya dan Zavier bersamaan. Zoya menatap datar pada saudara kembarnya, sementara Zoya tampak cemberut.
"Mami," panggil Zoya yang meminta dukungan.
"Jalan kaki saja. Lebih sehat. Lagipula bukankah tempatnya tidak jauh," ujar Roro membuat Zoya memasang puppy eyes-nya. Namun, Roro tetap dengan keputusannya membuat Zavier tersenyum mengejek karena merasa menang.
"Ya udah, deh. Tapi nanti Zoya boleh beli es klim, ya? Please!" melas Zoya membuat Roro menghela nafasnya. Ia pun terpaksa mengangguk karena tak ingin membuat Zoya semakin bersedih.
Akhirnya, keempat orang itu pun pergi ke bazar yang diadakan oleh pemerintahan kota setempat.
"Aku dengar tanah lapangan itu sudah dijual ke pengusaha kaya. Dan katanya, sebagian warga juga sudah menjual tanah mereka karena pengusaha itu ingin membangun tempat wisata di sini, apa kau sudah mendengarnya!" tanya Antares memulai percakapan sebab sejak tadi Roro hanya sibuk menimpali kata-kata anak-anaknya.
Roro mengangguk. "Kamu benar. Sebenarnya sayang sekali, ya. Apalagi wilayah ini strategis. Tapi tak sedikit juga yang mengapresiasi sebab di kota ini memang belum ada tempat wisatanya. Kita hanya bisa berwisata ke luar kota sementara tidak semua warga memiliki keuangan yang cukup untuk liburan ke luar. Mungkin dengan adanya tempat wisata ini, kita bisa mendukung perekonomian warga dan daerah juga," ujar Roro mengeluarkan uneg-unegnya.
"Tapi kalau hal itu memang direalisasikan, bukannya tempat tinggalmu akan terdampak?"
"Eh, maksudnya?"
"Kabarnya pengusaha itu akan membeli semua lahan di sini termasuk lahan di mana kontrakanmu berdiri," timpal Antares membuat mata Roro terbelalak.
"Benarkah? Bukannya katanya mereka tidak akan menyentuh pemukiman penduduk di sekitar tempat tinggal kami?"
"Memang berita ini masih simpang siur, tapi tidak sedikit yang ikut membenarkan," imbuh membuat Roro resah.
Bagaimana tidak, bila hal itu benar terjadi, lalu bagaimana dengan mereka? Mereka akan tinggal di mana sebab hanya kontrakan itu yang harganya tergolong murah. Bahkan ia juga diizinkan mendirikan tempat usaha laundry.
Bukannya Roro tak pernah mencoba mencari kontrakan di tempat lain. Ia sudah mencoba mencari tempat yang lebih strategis maupun murah, tapi kenyataannya tak ada. Rata-rata kontrakan di sana lebih mahal. Bahkan bisa dua kali lipat dari kontrakan Roro sekarang. Bangunannya pun lebih kecil dan tak bisa ia manfaatkan sesuka hati.
Kontrakan itu sebenarnya milik sepasang suami istri paruh baya. Rumah itu awalnya dibangun untuk anaknya berharap anaknya mau tinggal di kota yang sama dengan mereka. Namun, ternyata anaknya lebih memilih tinggal di kota dengan istrinya. Alhasil, mereka pun menyewakan rumah dengan Roro karena suka dengan sikap Roro yang santun dan ramah. Terlebih saat mengetahui Roro hamil dan melahirkan, mereka jadi semakin suka.
Mereka sudah menganggap Roro seperti anak kandung mereka sendiri. Terlebih pada Zoya dan Zavier. Mereka sudah menganggap kedua anak itu seperti cucu mereka sendiri. Oleh sebab itulah, harga kontrakan Roro murah bahkan tak pernah naik semenjak ia tinggal di sana. Hanya saja, Roro kerap tak enak hati. Jadi ia sering meminta Zoya dan Zavier mengantarkan makanan sebagai ungkapan terima kasih. Apalagi Roro merasa kasihan dengan kedua paruh baya yang kurang dipedulikan anaknya sendiri.
"Tak perlu terlalu dipikirkan. Bisa saja itu hanya sekedar rumor warga saja," ucap Antares tak ingin membuat Roro semakin terbebani.
"Ya. Kau benar juga," ujar Roro.
"Mami, aku mau naik itu!" tunjuk Zoya pada roda lambung.
"Zavier mau ikut naik ke sana?" tanya Roro.
Zavier menggeleng. Ia tidak tertarik.
"Tidak, Mom."
"Ya sudah, bagaimana kalau Zoya naik ke sana sama Paman?" tawar Antares yang ingin mendekati Zoya.
"Tidak. Zoya naik sama Zavier saja. Ayo!" ajak Zavier yang langsung menggandeng tangan Zoya. Roro sampai melongo saat melihat Zavier yang sudah menarik tangan Zoya. Padahal tadi dia menolak. Pun Antares. Ia hanya bisa menghela nafas karena terlihat jelas kalau anak laki-laki itu tidak menyukai dirinya.
"Ya sudah. Sebentar. Mami bilang ke orangnya dulu, ya!"
"Baik, Mami."
Zoya tampak senang sekali karena bisa mencoba berbagai wahana permainan. Mulai dari roda lambung, carousel atau kuda-kudaan yang berputar, mobilan, dan mesin capit.
"Ck, kok nggak dapat telus sih?" omel Zoya. Roro tampak sedang membeli pop corn permintaan Zoya, sementara Antares sedang ke toilet. Sedangkan Zavier sedang memainkan mesin permainan tembak-tembakan. Zoya tampak mengomel kesal karena koinnya sudah tinggal satu saja. Tapi ia belum juga mendapatkan boneka yang ia mau. Zoya pun segera menarik tangan laki-laki di belakangnya dan memintanya memainkan mesin capit tersebut.
"Paman, tolong menangin boneka itu, ya! Please!" melas Zoya sambil menunjuk ke arah boneka kuda pony berwarna merah muda di yang ada di dalam kota kaca. "Paman bisa 'kan?" Mata Zoya tampak terpaku pada boneka yang sangat ia inginkan itu. Sebenarnya ia bisa saja meminta pada sang ibu. Meskipun harus bersabar, tapi Roro selalu mengabulkan permintaannya. Hanya saja, Zavier sering menasihatinya agar tidak terlalu sering meminta ini dan itu dengan sang ibu sebab keuangan sang ibu sedang tidak baik-baik saja. Oleh sebab itu, Zoya pun terpaksa menahan keinginannya.
Melihat boneka yang diinginkannya ada di dalam mesin capit membuat Zoya berusaha mendapatkan boneka itu. Namun, ternyata untuk mendapatkan boneka itu tidak semudah yang ia kira. Padahal ia sudah menghabiskan lima koin, tapi ia belum juga berhasil mendapatkan boneka impiannya. Sekarang, koin yang diberikan Roro tinggal satu saja. Ia harap dengan koin yang tersisa itu, ia berhasil memenangkan boneka yang diinginkannya itu.
"Paman mau, 'kan?" Zoya menoleh pada sosok laki-laki yang tangannya masih ia pegang. Kepala Zoya mendongak. Matanya seketika terbelalak. Ia pikir tangan yang ia pegang itu milik Antares, tapi ternyata ... bukan. Zoya pun reflek melepaskannya.