Surat Terakhir Ibu

1263 Words
Aku terus saja melamun, bahkan tak mengindahkan segala hiruk-pikuk dalam rumah. Beberapa kali ibu-ibu bertanya di mana kain jarik, bakul, atau benda-benda yang dibutuhkan untuk kegiatan pemakaman. Namun, aku hanya bergeming menatap wajah-wajah mereka. Nenek sampai kewalahan. Meski ini rumah anaknya, ia tentu tak mengerti benar letak-letak barang seperti itu. Aku tak peduli, hati ini terlalu pedih untuk mengingat. Hanya sesal dan kecewa yang memenuhi otakku kali ini. Bahkan seorang mudin perempuan, membasuh wajahku dengan air bekas memandikan jenazah. Katanya, agar aku bisa ikhlas dan tak mengingat-ingat kembali saat ini. Aku hanya bisa berdecih, bagaimana mungkin seorang anak lupa pada kematian orang tuanya begitu saja. Ini tak masuk akal. Namun, aku hanya pasrah membiarkan mereka melakukannya. Toh, tak ada ruginya juga untukku. Kepercayaan dan adat memang tak baik untuk dibantah. Rasa sesal terus menyudutkanku, berharap waktu bisa berputar. Andai aku ada di samping mereka kala embusan napas terakhir terhenti. Kupastikan aku ikhlas tanpa bantah, tidak seperti ini. Aku bahkan belum sempat memohon ampun untuk segala dosa yang pernah kutoreh. Catatan-catatan nakal selama ini, seperti roda berputar yang terus menghantui. Mereka juga tak pamit padaku, tega! Bisakah aku kuat, Yah, Bu? Hanya air mata ini tanda sayangku. Ungkapan terakhir sebuah rasa, saat bibir sudah tak mampu berucap. Pedih, sakit, ngilu, semua bercampur dalam d**a. Meletup bagai gunung yang memuntahkan lahar panas. Tak terasa suara eranganku kian mengusik para pelayat. Mereka mulai berbisik seakan tak nyaman. Tak banyak juga yang prihatin. Mengingatkan jangan terlalu banyak menangis agar arwah orang tuaku tak turut bersedih. Aku hanya membalasnya dengan seringai cuek. Andai kalian berada dalam posisiku, bisakah tak bersedih? Kutatap kembali dua jasad di ruang tamu. Mengingat masa-masa indah bersama mereka. Meski Ibu sosok yang sedikit keras saat mengingatkan dan mengajarkanku. Aku tahu, itu semua adalah bentuk cinta padaku. Bila tak dipacu sejak kecil, tak mungkin aku tumbuh menjadi gadis yang setegar ini. Ayah selalu berkata, bahwa wanita itu tangguh. Bahkan lebih tangguh dari seorang lelaki. Ia selalu mewanti-wanti agar aku jadi gadis yang kuat. Tahan banting dan jangan mudah menyerah. Wanita itu harus seperti permata, indah berkilau tetapi kuat, tak mudah hancur. Namun, kini semua kalimat itu tak berlaku untukku saat ini. Aku lemah tanpa kalian di sini. Aku rapuh bagai kelopak dandelion yang tersapu angin. Entah, apa aku bisa jadi permata untukmu Ayah? Sedang kini hatiku terpecah belah bagai serpihan kaca yang remuk. Hancur. Tubuhku kian lemah, aku tertunduk. Berteriak keras memanggil nama keduanya. Semua pandangan mata seketika tertuju padaku. Aku tak peduli lagi, mungkin saat ini aku seperti bayi yang kehilangan botol. Merengek tanpa henti. Nenek pun mengusap punggungku dan berbisik agar aku tenang. Namun, bisikan Nenek kurasa bagai pacuan semangat agar aku lebih keras berteriak. Aku tahu Nenek malu, ia segera menarik tubuhku berdiri lantas memapahku dalam kamar menenangkan. Tetiba kurasa ada rasa pedih menyesakkan d**a, bergemuruh dan memanas. Aku marah! Entah, kepada siapa? Napas memburu seperti seekor kerbau berada dalam pacuan. Kutarik kasar dan mengacak seprei, juga barang-barang di atas meja sebelah kasur. Kuluapkan segala amarah. Berteriak jejeritan tanpa peduli Nenek yang berusaha mencegah. Apa salahku Tuhan? Kenapa Engkau begitu tega padaku, membiarkanku hidup tanpa orang tua seperti ini. Jika boleh aku meminta, aku ingin mendampingi mereka sekalian. Bolehkah? Nenek terus berusaha membujuk dan menenangkan, meski aku tetap jejeritan tanpa henti. Berulang kali ia mencoba memeluk, tapi kutepis dengan kasar. Ia sampai terengah-engah dalam mengimbangiku. Kulihat beberapa kepala menyembul dari balik pintu sembari berbisik pada telinga di sebelahnya. Nenek sampai kewalahan, apalagi tenaganya tak sebanding dengan kekuatan fisikku. "Istighfar, Nduk! Sudah ...!" Berkali kudengar ia berucap demikian, sembari berupaya memegang tanganku yang semakin liar menghancurkan. Bisikan orang-orang di depan kamar membuatku semakin murka. Kubanting kasar meja sebelah kasur. Seketika gumaman para ibu itu tak terdengar lagi. Aku puas! Kepalaku terasa panas, seperti ada luapan asap mendidih memenuhi rongga dalam. Wajahku memerah, layaknya kepiting rebus yang siap disantap. Napas pun terengah-engah sebab emosi yang tak terkendali. Aku pun terhenti, ketika tak sengaja lirikan di ujung mata ini menemukan secarik kertas terselip di pojok ranjang. Kuterdiam sejenak, menarik kertas itu lantas menatap lembaran putih yang kini sudah ada dalam tangan. Dengan hati berdebar, kubuka dan perlahan membaca isinya. Tangan ini refleks menutup mulut saat melihat rangkaian aksara tulisan tangan ibu. "Nduk, mungkin saat kau membaca ini. Ibu sudah tidak ada lagi di dunia ini. kau tahu ... kami di sini tak pernah lelah mengingatmu. Lantunan doa selalu kami panjatkan untuk kehidupanmu di masa depan. Ibu hanya meminta agar kau jadi anak yang baik, jangan pernah merepotkan Nenek. Ibu pernah punya sebuah cita-cita di masa kecil. Ibu ingin sekali menjadi seorang penari ronggeng, Mbah Sriyani adalah panutan Ibu kala itu. Dia adalah ronggeng kebanggaan Desa Sidomaju, desa tempat tinggalmu kini dengan Nenek. Maukah kau meneruskan impian Ibu? Ibu dan Ayah sudah tak kuat lagi merasakan penyakit yang semakin menggerogoti tubuh, ikhlaskan kami, Nduk. Raihlah kesuksesanmu!" Wajahku tertunduk. Memejamkan mata yang telah basah. Kuremas kertas ini dengan tangisan yang semakin pilu, kembali meringkuk memeluk kedua kaki sembari menggenggam erat surat terakhir dari Ibu. Nenek terisak. Ia mendekat, memelukku erat, tangisnya mengharu biru. Kubalas dekapannya dan berpeluk saling menguatkan. Kuberikan lembaran itu padanya, ia menggeleng kemudian tersenyum kecut. "Nenek tak bisa membaca." Kami pun sedikit tertawa di sela isakan tangis. Kubacakan perlahan isi surat itu, tangisnya semakin pecah. Tubuhnya bergetar hebat, menggoyangkan kulit keriputnya. Kini kami bagai butiran debu yang tersapu angin. Lemah, pasrah. Tak tahu arah jalan pulang. Sedu sedan kami pun terhenti, saat seseorang mengetuk pintu. Ia memanggil untuk segera melakukan pemakaman. *** Entah, butuh berapa liter air mata lagi untuk menumpahkan kesedihanku. Kedua mata ini rasanya tak pernah berhenti mengering sejak menginjakkan kaki di sini. Apalagi, kini tatapanku fokus pada gundukan tanah dipenuhi sebaran bunga segar yang masih semerbak wangi. Kusiramkan taburan air bunga sebagai penghormatan terakhirku, pada keduanya. Hanya lantunan doa yang sanggup aku ucapkan sebagai bukti baktiku. Aku ingat betul kata pak ustaz di musala. Bahwa amal yang tak pernah berhenti mengalir adalah doa dari anak-anak saleh yang telah ditinggal mati orang tuanya. Aku hanya berharap untuk ikhlas, agar lebih tabah menghadapi ujian baru di hidupku tanpa mereka. Kelabunya awan mendung dan desiran angin kencang, seakan turut berduka mengiringi kepiluan hatiku. Ditambah suara burung malam yang memekik tinggi seperti menjadi backsound kesenduan kisah ini. Beberapa kali kudengar ucapan sabar, pelukan kecil, juga usapan halus di ubun-ubun dari beberapa tetangga. Perlahan, satu per satu manusia-manusia itu pergi meninggalkanku. Entah, ada rasa berat untuk beranjak dari sini. Wejangan pak ustaz adalah hal terakhir yang kudengar, aku hanya bisa mengangguk dan tersengguk mendengar segala tuturnya. Hingga aku benar-benar sendiri menatap kedua nisan berjejer di depanku. Sungguh romantis, ungkapan sehidup semati benar-benar terjadi dan nyata di depan mata. Rasanya aku tak ingin beranjak dari sini, tak ingin meninggalkan mereka untuk bertemu malaikat munkar nakir. Andai aku bisa membantu, akan kubisikkan segala jawaban untuk setiap pertanyaan malaikat untuk kalian. Hingga sentuhan lembut di bahu menyadarkanku agar kembali pulang. "Nduk, sudahlah ... Ikhlaskan. Jangan terlalu terpuruk, nggak baik. Ingat! Kamu punya amanah dari ibumu untuk dilaksanakan, jangan sampai kamu mengecewakannya," tutur Nenek lembut. Sekali lagi, kami berpeluk. Berjanji untuk saling menguatkan. Kami harus kuat, sebab hidup terus berjalan. Kematian sudah pasti, bahkan kita hanya menunggu giliran untuk dipanggil jua. Tak terkecuali, semua pasti merasakan yang namanya maut. Kita saja yang tak pernah tahu kapan ajal menjemput. Sebab usia bukanlah patokan. Aku pun mengangguk mengerti. Mencerna kalimat dari Nenek. Sungguh manjur, kata-kata itu seolah menjadi pacuan semangat. Yah, mulai saat ini aku harus berusaha mewujudkan impian Ibu dengan cara apa pun! Mungkin, inilah caraku berbakti pada mereka. Hanya doa yang kupinta agar aku bisa sukses menjalani hidup bersama Nenek.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD