Selendang Kuning

1063 Words
Semburat jingga mulai menghiasi langit. Kami tertatih pulang dengan saling berpegangan. Bukan sebab tak kuat, tetapi berusaha untuk saling kuat menahan kepedihan. Beberapa mata di sekitar jalanan dan rumah warga, menatap kami dengan pandangan sendu. Tak ada yang menyapa, hanya tatapan nanar mereka tanda berduka yang bisa kami lihat. Aku tahu mereka kasihan, seorang gadis belia harus menjadi yatim piatu begitu saja. Namun, aku tak ingin dikasihani. Aku harus tegar untuk melanjutkan hidup meski sendiri. Sesampainya di rumah. Beberapa ibu tetangga masih ada untuk membantu membereskan rumah. Kembali aku duduk bersila di ruang tengah, menatap keadaan rumah. Kursi panjang tempat Ayah berbaring selama sakit, tengah dibersihkan para pelayat di depan rumah. Debu-debu beterbangan kala seorang ibu mengibasnya menggunakan sapu lidi. Setelahnya, ibu lain menggosok kainnya dengan air sabun dan sikat. Betapa baiknya mereka. Mungkin, mereka tak ingin penyakit itu masih menempel di sana. Tak ingin aku mengalami hal serupa. Kasur Ibu pun tak lepas dari sentuhan kebaikan mereka. Di depan teras, kasur itu dikebas berkali-kali. Seprei yang tadi kuacak, sudah tak menempel pada kasur. Mungkin, mereka mencucinya. Kulihat Nenek yang sedang mengambil sapu dicegah oleh Bu Ida, tetangga sebelah rumah. Ia menyentuh kedua bahu Nenek, lantas mendudukkannya pada kursi dan berkomat-kamit seperti sedang bertutur. Nenek hanya mengangguk dan kembali terisak di depan rumah. Memandang kegiatan baik para tetangga. Sedang aku masih di sini, duduk bersimpuh di atas tikar bambu. Menelisik dan memandang detail setiap sudut rumah. Rumah yang akan segera kutinggalkan setelah ini. Terlalu banyak kenangan indah yang begitu sulit kulupa. Aku memejam, memeluk diri sendiri. Meratapi keadaan diri. Aku berdiri dan memandang isi kamar. Di ambang pintu, kurekam setiap titik sudutnya. Tak ingin melewatkan kesempatan terakhirku. Foto Ayah dan Ibu di dinding kamar menghentikan isakan ini. Kulangkahkan kaki mendekat pada tembok, menatap bingkai foto yang mulai usang. Hujaman air mata semakin luruh tak tertahan, tatkala menatap wajah keduanya yang tengah semringah dalam gambar. Kuambil bingkai itu, meniup debu yang menempel. Mengusap kacanya yang mulai buram. Kupeluk erat bingkai cokelat dalam genggaman. Kembali mata ini memejam dan merintih. Sentuhan pada bahu mengagetkanku. Aku menengok ke sebelah kiri, menemukan wajah Bu Ida di sana. Ia tersenyum, menggosok bahuku pelan. Ia memberikan beberapa barang punya Ibu padaku. Termasuk surat wasiatnya yang tadi kutinggalkan begitu saja saat bergegas ke makam. “Nduk, ini kutemukan di bawah kasur ibumu tadi. Tolong di cek lagi, takutnya ada yang hilang atau kurang.” Tangannya menyodorkan sebuah tas kulit usang, serta secarik kertas di atasnya. Aku hanya mengangguk pelan. “Terima kasih Bu Ida. Narsih percaya sepenuhnya pada sampean. Kalian ini orang-orang baik. Nggak mungkin berbuat jahat sama Narsih.” Suaraku serak bercampur tangis, menerima barang itu dan memeluknya jadi satu dengan bingkai foto. “Kalau butuh apa-apa nggak usah sungkan sama kita semua. Kita ini sudah seperti saudara, dan kamu juga tak anggap anakku sendiri. Nggak usah ragu kalau mau minta tolong ya!” Kembali ia mengusap bahuku lembut. Lantas, pergi meninggalkanku untuk beberes kembali. Meski dengan getir, kucoba menyunggingkan senyum untuk membalas kebaikannya. Kembali aku masuk dalam kamar, mengedarkan pandang pada ruangan 3x3 itu. Kulangkahkan kaki mendekat pada lemari jati sebelah pintu. Tangan ini mulai memegang gagang lemari, memutar kunci dan menarik perlahan. Aroma kapur barus seketika menguar, ketika pintu lemari terbuka. Tumpukan baju Ibu dan Ayah masih tersusun rapi, kuambil sehelai baju Ibu, memeluknya dan kembali terisak. Tangisanku terhenti, tatkala pandangan mata ini menemukan sebuah kotak yang terselip di antara tumpukan pakaian. Kuambil perlahan kotak kayu dengan ukiran bunga yang indah. Kuputar-putar kotak dalam genggaman. Aku bahkan tak pernah melihat benda ini sebelumnya. Dengan penuh rasa penasaran, kutarik penutup kotak berukuran 5x10 cm itu. Ada sebuah kain kuning di dalamnya, aku mengernyit. Tangan ini sigap menarik kain itu, kembali aku terheran ketika kain itu menjulur panjang, seperti sebuah selendang tari yang kulihat di berbagai acara syukuran setelah panen. “Itu selendang milik Ibumu, Cah Ayu.” Sebuah suara membuyarkan konsentrasiku, suara Nenek. “Jadi, Ibu dulu sempat jadi penari?” tanyaku, Nenek mulai masuk dan duduk di atas dipan kayu tanpa kasur. “Tidak, selendang itu pemberian Mbah Sriyani. Ronggeng yang diceritakan Ibumu pada surat wasiatnya.” Kulirik kembali kain indah dalam tangan, membentangkannya dan mulai tersenyum. “Kenapa Ibu tak pernah mencobanya, Nek?” Rasa keingintahuanku kian tinggi. “Ibumu itu punya rasa minder yang tinggi, kalo sudah di depan banyak orang, dia bakal grogi luar biasa. Dari situ, Ibumu bersedih. Dia mengubur cita-citanya saat itu juga dan menyimpan baik-baik selendang itu. Tak kusangka, ternyata Martini ingin kamu yang mewujudkan impiannya.” Tangan Nenek mulai turut meraih selendang yang kupegang. Mengelusnya lembut. “Padahal, Mbah Sriyani itu nggak mungkin sembarangan ngasih sesuatu pada seseorang. Dan dulu Nenek yakin sekali jika beliau punya firasat baik pada Ibumu.” Kutarik kain kuning lembut dari tangan Nenek dan mulai mengalungkan pada leher. Seketika jantungku berdebar, ada hawa hangat yang seperti tengah mengelilingi. Tetapi, begitu syahdu dan menenangkan. Entah, apa ini hanya perasaanku? “Apa aku bisa meneruskan impian Ibu? Sedang aku sendiri punya rasa ketidakpercayaan diri yang besar pula?” Nenek memandangku lekat, terdiam sebentar seolah berpikir. “Nenek yakin kamu bisa, semua orang berhak menentukan nasibnya. Apa salahnya belajar?” Ia mengulas senyum lembut, menarik kedua tanganku untuk mendekat padanya. Ia menengadah memandangku. “Kita mulai kehidupan baru kita berdua. Di rumah Nenek, ada anak dari Mbah Sriyani yang membuka sanggar ronggeng. Nanti kita coba minta bantuan beliau.” Aku mengangguk tersenyum. Kutarik tangan Nenek dan menciumnya dengan takzim. Tak sengaja, ekor mata ini melihat pantulan diri di cermin lemari, aku menoleh. Melepaskan genggaman Nenek dan mendekat pada kaca. Kupandang diri dengan kalung selendang yang masih melingkar. Aneh sekali, kulit serasa memancar. Kedua tangan menepuk pipi dan mengusapnya, apa mungkin sebab kulit kuning langsatku yang beradu dengan warna kuning, hingga membuatnya terlihat bersinar? Kugosok lengan yang terasa bersinar, kembali mematut diri depan cermin. Aku merasa begitu istimewa dan cantik, mulai meliukkan kedua tangan dengan menarik ujung selendang. Badan pun mulai berlenggak-lenggok dengan indahnya. Kenapa gerakan ini tiba-tiba terasa luwes begitu saja, padahal aku bahkan tak pernah mempelajari apa pun sebelumnya. Hanya saja, aku merasa terlalu belia untuk menjadi seorang penari. “Nduk, sepertinya kamu punya bakat. Baiklah, hari ini kita bereskan rumah. Jika besok selesai, kita bisa segera pulang ke rumah Nenek dan mengenalkanmu pada Mbah Painem, sang dukun ronggeng.” Kubalikkan badan dan menatap Nenek. Aku mengangguk, tak sabar rasanya ingin segera belajar dan mewujudkan impian Ibu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD