Part 12

1253 Words
Rasa mual yang mendesak membuat Lita berjongkok di depan lubang toilet, tapi tak ada apa pun yang keluar selain matanya yang berair. Perasaan itu masih ada. Tak diinginkan dan dicampakkan. Bagaimana pun caranya ia berusaha terlihat baik-baik saja dan menerima apa yang sudah digariskan untuknya. Ia adalah wanita yang tidak sempurna. Pernikahannya dan Samuel hancur karena ketidaksempurnaan tersebut. Tadinya Lita pikir pernikahannya dan Leo tak akan berarti dengan ketidaksempurnaan tersebut, namun bagaimana jika ternyata kedua orang tua mereka menginginkan anak dalam pernikahan mereka? Apakah mereka akan kecewa? Harapan yang ditumpukan di pundaknya ternyata tak sejalan dengan apa yang mereka inginkan. Hingga kemudian mereka akan kecewa atas ketidakmampuannya mengabulkan harapan tersebut. ‘Mandul?’ ‘Hanya tidak subur, Ma. Jangan membuatnya semakin putus asa sehingga ini akan membuatnya lebih sulit untuk hamil.’ ‘Jangan membelanya, Samuel. Ini jelas-jelas penipuan. Keluarga Sinaga memberikan putrinya yang tak bisa hamil. Kau harus mengembalikannya pada mereka. Siapa yang akan meneruskan perusahaanmu jika dia tidak bisa memberimu anak?’ ‘Apa maksud, Mama?’ ‘Ceraikan dia! Sebagai wanita dia sudah cacat. Mama tak mau menantu yang cacat.’ Pembicaraan itu masih terngiang jelas di kepala Lita. Berputar-putar dan kali ini isi perutnya benar-benar keluar. Ia muntah dengan keras. Mengenyahkan semua ingatan masa lalu dan kembali menguncinya rapat-rapat. Usahanya berhasil membuat sesi muntah itu berakhir. Lita bangkit berdiri dan langsung mengguyur wajahnya di wastafel, tepat Riana muncul di pintu toilet. “Apa kau baik-baik saja?”   Lita mengusap wajahnya dengan tisu sambil menggeleng. “Aku mendengar suara muntah.” Lita tak mengangguk, tapi benaknya memikirkan jawaban untuk berdalik. “Sepertinya badanku sedikit tidak enak.” “Kauingin istirahat saja? Biarkan aku yang mengurus pertemuan ini.” Lita menggeleng sambil membuang tisu basah di tangannya ke tempat sampah. “Aku baik-baik saja. Berikan aku lima menit untuk memperbaiki riasanku.” Mata Riana sedikit menyipit. “Aku benar-benar baik saja. Sepertinya ada yang salah dengan makananku pagi ini.” Riana percaya. Lita memang sedikit sensitif dengan beberapa jenis makanan. Ia pun berbalik dan meninggalkan Lita sendirian. “Aku tunggu di luar.”   ***   Sore hari itu, Riana lagi-lagi berdusta akan pergi ke suatu tempat sebelum ke rumah dan mendorong Lita masuk ke mobil Leo untuk pulang bersama. “Apa kau lapar?” tanya Leo ketika sudah setengah perjalanan menuju rumah. “Tidak,” jawab Lita singkat. “Aku lapar.” Leo mulai mengurangi kecepatan mobil, mendekati sebuah restoran di depan mereka. “Tak sampai lima belas menit kita sudah sampai di rumah,” tolak Lita ketika mobil berhenti di halaman restoran. “Aku ingin makan sekarang.” Leo mematikan mesin. “Turunlah.” Lita mendesah pelan. Menatap restoran yang tampak dipenuhi pelanggan dengan enggan. Ini adalah salah satu restoran yang paling sering ia dan Riana kunjungi untuk pertemuan-pertemuan penting mereka. Beberapa pelanggan maupun manager restoran ini sudah tak asing dengan wajahnya. Ia sungguh tak ingin tampil bersama Leo di depan umum seperti ini. “Kau pergilah. Aku akan pulang dengan taksi.” Leo yang sudah membuka pintu mobil, kembali memutar kepala menatap Lita. “Sulit mendapatkan taksi di jam sibuk seperti ini.” Pandangan Lita terarah ke jalanan yang padat. Di jam-jam sibuk seperti ini, bisa-bisa dua jam kemudian dia baru bisa mendapatkan taksi. “Aku ingin makan bersamamu.” Mata Lita teralih, menatap wajah Leo. ‘Untuk apa lagi pria itu ingin makan bersamanya?’ “Turunlah.” Leo melompat turun, memutari mobil dan membuka pintu di samping Lita. “Cepatlah. Aku tak bisa menunggu lebih lama.” Lita tak tahu kenapa ia menuruti pria itu. Keduanya memasuki restoran dan dengan cepat mendapatkan kursi koosng di pinggir jendela yang ternyata sudah dipesan oleh Leo. “Kau memang tak berniat makan di rumah,” komentar Lita ketika keduanya duduk di kursi. “Ya, memang. Aku sedang tak berselera makan di rumah.” “Karena Olivia?” “Dan aku tak ingin membicarakannya.” Leo menyodorkan menu ke depan Lita. “Pesanlah.” Lita memesan cumi pedas dan jus kiwi, Leo memutuskan menu yang sama dengan Lita. Dalam dia, keduanya melahap isi piring mereka tanpa sepatah kata pun terucap. Kemudian dering ponsel Leo di samping piring membuat pria itu melirik sejenak dan mengabaikannya. Tapi benda pipih itu kembali bergetar dua kali, merasa kesal kesibukannya diganggu, Leo pun langsung mematikan ponselnya dan membalik layarnya dengan setengah membanting. Lita yang sempat melirik deretan nomor tanpa nama di layar itu mengerutkan kening terheran dengan tindakan Leo. “Siapa?” tanyanya. “Bukan siapa-siapa.” Jawaban itu diikuti nada ‘jangan ikut campur’ yang langsung ditangkah oleh Lita. Lita sendiri menyesal telah melemparkan pertanyaan tersebut.          Keduanya kembali diam lagi. “Jadi, apa kau sudah memikirkan permasalahan kita?” ucap Leo ketika piring keduanya sudah tandas dan Leo lebih dulu menghabiskan minumannya. Lita yang tengah menyedok minumannya, seketika membeku. Pandangannya terangkat menemukan wajah pria itu yang menatapnya serius. “Permasalahan apa?” “Tentang hubungan ini.”                              Lita mendorong gelas jusnya ke samping. Hilang selera di saat ia masih ingin menghabiskan jus kiwi kesukaannya itu. “Ada apa dengan hubungan ini?” “Apa kau sudah menyiapkan diri untuk menjadi istriku?” Leo memberi jeda sejenak. “Dengan sepenuhnya.” Perut Lita kembali teraduk. Rasanya ia ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya karena perasaan tak nyaman itu kembali mengaduk-aduk ususnya. “Kau tahu hubungan kita tak akan sejauh itu, Leo,” desisnya dingin. “Kenapa tidak?” Suara Leo sedikit lebih tinggi. “Kau istriku?” Lita menoleh ke samping, ke meja di sekitar mereka dan beruntung suara Leo tak cukup mengusik orang-orang di sekeliling mereka. Dan lebih baik menghindari keributan tersebut sebelum mereka berdua mempermalukan diri sendiri. Lita beranjak berdiri, menyambar tasnya dan berjalan keluar lebih dulu. Leo mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan meletakkannya di meja sebelum berlari mengejar Lita. Ia berhasil menangkap tangan wanita itu di depan halaman restoran. “Hentikan, Leo,” desis Lita penuh peringatan karena mereka tengah berada di tempat umum dan tak ingin menjadi tontonan orang banyak. Leo yang sejujurnya tak sepenuhnya peduli dengan sekeliling mereka, memilih menuruti Lita. Pria itu membawa Lita berjalan ke mobilnya dan mendorong masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Leo belum menyerah. “Lalu apa yang kauinginkan?” “Aku?” Lita menyentuhkan tangan di dadanya. “Tidak ada apa pun yang kuinginkan.” “Aku bisa saja memaksakan kehendak padamu untuk mendapatkan hakku sebagai seorang suami. Tapi aku tak melakukannya karena aku menghargaimu. Tidak bisakah kau mencoba hubungan ini.” “Tidak ada hak dan kewajiban di antara kita, Leo. Pernikahan ini bukan atas kehendakku.” “Tapi kau tetap menyetujui pernikahan ini.” “Karena aku tak punya pilihan.”         “Sekarang kaupun tak punya pilihan selain menetapi kewajibanku sebagai istriku. Aku tak mungkin hidup selibat seumur hidupku, apalagi harus meniduri sembarang wanita untuk menuntaskan libidoku.” Lita menghela napas keras-keras. Wajahnya merah padam. Oleh rasa malu sekaligus amarah. Kehilangan kata-kata, ia membuang wajahnya. “Aku tak pernah siap menjadi istriku. Dan aku tak akan pernah siap. Bagiku, kau hanyalah adikku.” “Sekarang aku bukan lagi adikmu,” geram Leo. Menahan diri untuk tidak menerjang ke arah Lita dan melumat bibir wanita itu. Agar Lita sadar bahwa ia bukan adik kecil wanita itu. Dan agar Lita sadar bahwa tidak ada seorang adik yang begitu b*******h menginginkan kakaknya untuk berbaring di bawah tubuhnya. Wajah merah Lita mengeras, menusuk tajam ke arah Leo. “Dan aku tak pernah menganggapmu sebagai seorang suami.” Lita mendorong pintu di sampingnya dan melompat keluar. Meninggalkan Leo yang membeku di dalam mobil seorang diri. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD