Part 7

1356 Words
“Jangan bercanda kau?!” “Ya.” Olivia melirik ke bawah stik berwarna merah muda yang jatuh di lantai di antara mereka. “Apa dua garis itu belum cukup sebagai bukti? Aku punya surat keterangan dari dokter. Kemarin. Kauingin melihatnya juga?” “Aku tak pernah menyentuhmu,” desis Leo. “Kita suami istri, tak ada yang salah dengan anak yang ada di kandunganku,” ucap Olivia seraya merogoh sesuatu di dalam tasnya dan mengeluarkan amplop putih berlogo rumah sakit. Kemudian menempelkannya di d**a Leo. Leo jelas tak percaya dengan semua bukti itu, apalagi untuk peduli. “Jangan mempermainkanku Olivia.” Olivia berdecak. “Kau mungkin bisa tidak memercayaiku, Leo. Tapi semua bukti ini, kau tak mungkin bisa menyangkalnya. Aku mengandung anakmu.” Olivia menoleh ke arah meja makan, menatap lurus ekspresi wajah Lita yang masih membeku. “Penerus Sinaga yang sah, dan pertama. Yang pasti masih satu-satunya, untuk saat ini,” ucapnya dilumuri kepuasan tak terkira dan penuh kemenangan yang telak atas Lita, juga seluruh keluarga Sinaga. Leo tak punya pilihan, ia membuka amplop putih tersebut dan membacanya dengan teliti. Tak ingin melewatkan satu kata pun. Olivia jelas sedang mengandung. Hasil lab, keterangan dokter, dan ditambah foto hasil usg. Umur janin mereka masih tujuh minggu. “Tujuh minggu?” “Ya. Hubungan kita memang memburuk, tapi kau masih sempat kembali ke apartemen. Meski kau selalu pulang dalam keadaan mabuk dan ... menyedihkan.” Wajah Leo mengeras. Merobek semua lembaran tersebut dan melemparnya ke arah Olivia. “Aku tak semabuk itu.” Olivia mendengus. “Jangan konyol, Leo. Apa kau ingin mencampakkan darah dagingmu sendiri?” “Leo?” panggil Amira. Untuk pertama kalinya salah satu keluarga bersuara. Berjalan menghampiri Olivia dan Leo. Menyentuh pundak Leo yang tegang  dan berucap dengan penuh kelembutan. “Mungkin kita bisa membicarakan masalah ini baik-baik.” Leo menyangsikan ide super tidak cemerlang mama tiri sekaligus mama mertuanya. “Dan kamu, Olivia. Mungkin sebaiknya kita bicarakan masalah ini setelah emosi Leo mereda dan kalian bisa bicara dengan hati yang terbuka untuk masa depan anak kalian,” ucap Amira pada Olivia. “Aku ingin tes DNA.” Leo berkata tepat setelah Amira selesai. Olivia menyeringai. “Lakukan sesukamu, Leo. Aku sama sekali tak keberatan.” Lea tampak tak suka dengan jawaban meyakinkan Olivia. “Tes DNA bisa dilakukan saat janin berumur 12 minggu, dan itu masih memiliki resiko keguguran. Jadi aku menolak melakukannya hingga usianya benar-benar aman sebelum melakukan tes DNA,” tambah Olivia. Mata Leo menyipit curiga. “Aku tahu kau akan meragukan anak ini, jadi aku sudah mempersiapkan untuk bertanya pada dokter. Kau bisa mencari tahunya sendiri jika tidak memercayaiku.” Jawaban Olivia penuh ketenangan. Tak ada gurat kebohongan yang tersirat di wajahnya yang berusaha Leo kais. Seolah wanita memang tahu apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukannya. Leo merasa sangat kesal, remasan Amira di pundaknya sama sekali tak membantu. Setelah usahanya untuk lepas dari pernikahannya dan Olivia, wanita itu masih saja mengganggu hidupnya. “Dan selama menunggu tes DNA dilakukan, aku ingin menuntut kewajibanmu sebagai ayah dari anak ini.” Olivia menyentuh perutnya yang masih rata. “Kau tahu aku tinggal di apartemen sendirian, kan. Dan kehamilanku ini butuh perhatian lebih. Aku sering mual dan muntah. Kepalaku juga pusing. Aku tak mungkin tinggal di sana lagi.” Leo menggeram. Membaca keinginan Olivia dengan sangat jelas bahkan sebelum wanita itu mengucapkannya. “Kau tak akan mendapatkan apa pun yang kauharapkan, Olivia.” “Leo?” Amira berusaha menenangkan emosi Leo yang kembali membludak. “Aku hanya akan bertanggung jawab jika anak itu terbukti memiliki DNA yang sama denganku. Apa kau mengerti?” Wajah Olivia ikut mengeras. Kali ini suaranya keluar dengan penuh ketegasan dan emosi yang sama besarnya dengan yang dilemparkan Leo padanya. “Aku istrimu, kau tahu aku tak pernah tidur dengan siapa pun selain dirimu.” “Mantan,” koreksi Leo pedas. “Sekarang, kau bisa keluar dari rumah ini dan kembali saat kita tahu bahwa anak itu anakku. Aku tak mau tahu apa pun, apalagi bertanggung pada anak yang tak jelas asal usulnya ...” Plaaakkkk ... Telapak tangan Olivia melayang, mendaratkan satu tamparan keras di pipi Leo. Amira dan Lita terperangah sedangkan Tama dan Riana tampak terlihat lebih tenang dibandingkan yang lainnya. “Berengsek, pengecut,” umpat Olivia. “Kaupikir aku wanita macam apa, huh?” “Lita, bawa Leo ke kamar kalian dan Olivia, kita bicara di tempat lain,” lerai Amira. Merangkul pundak Olivia dan membawa wanita itu ke salah satu kamar tamu yang ada di lorong selatan. Lita segera mendekati Leo dan menarik lengan pria itu keluar dari rumah utama menuju paviliun. Sedangkan Tama dan Riana tampak menghubungi sekretaris untuk membatalkan jadwal pagi mereka. Leo sama sekali tak berbicara apa pun, hanya duduk di sofa dengan kepala tertunduk dan jemari tangan tenggelam di rambutnya yang sudah tersisir rapi. Lita duduk di seberang meja, ikut membungkam. Memangnya apa yang perlu ia bahas dengan Leo mengenai Olivia. Terutama tentang anak mereka. Ia sama sekali tak ada hubungan apa pun dengan Olivia. “Kau tak ingin bicara apa pun?” tanya Leo mengangkat kepala ke arah Lita. Memecah keheningan yang dipenuhi kemelut. Lita menoleh. “Kauingin aku mengatakan apa?” “Aku yakin itu bukan anakku.” Lita menghela napas. “Aku tak tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga kalian sehingga kau meragukan anak yang dikandung oleh istrimu sendiri, Leo. Tapi semua itu jelas tak membenarkan semua sikap kasarmu pada Olivia.” “Kau tak tahu dia seperti apa.” “Dan aku tak merasa perlu tahu.” Bibir Leo menipis. “Kauingin dia tinggal di sini?” “Aku bahkan tak peduli dan aku merasa tak perlu peduli. Aku menikah denganmu, yang entah apa tujuan dari pernikahan ini. Aku sudah cukup dipusingkan oleh permasalahan ini dan tekanan kebahagiaan keluarga kita yang membebani pundakku. Masalah Olivia? Itu urusanmu sendiri. Aku tak ingin menjadi pengganggu di antara kalian. Terutama dengan adanya anak di antara kalian.” Leo tak berkata apa pun, tapi sorot pria itu menajam. Lita bangkit berdiri. “Setidaknya, bersikaplah sedikit bertanggung jawab untuk keputusan yang pernah kau ambil.” Leo masih termangu di tempatnya beberapa lama setelah kepergian Lita. Semua jajaran ingatan ketika ia meninggalkan rumah ini demi menikahi Olivia, pernikahannya dan Olivia yang awalnya terasa sangat manis dan membahagiakan. Hingga hubungan mereka yang memburuk dan semakin tak tertolong lagi. Kemudian pernikahannya dan Lita, yang ia pikir adalah satu-satunya kesempatan yang ia miliki untuk mendapatkan kembali semua yang pernah ia tinggalkan. Namun, ia kembali hanya untuk membawa badai di keluarganya. Menyakiti Lita. Atau setidaknya itu yang ia pikirkan. Pada kenyataannya, Lita tak peduli pada dirinya.   ***   “Jadi? Apa yang keputusan Leo?” Riana mencondongkan tubuhnya ke dekat Lita dan berbisik lirih di telinga wanita itu. Keduanya duduk di sofa panjang ruang tengah. Tama di sofa tunggal, tampak berpikir keras yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaan. Lita hanya menggeleng pelan. “Aku tak suka memikirkan harus tinggal di atap yang sama dengan wanita itu.” Tama berdehem, menatap penuh peringatan pada Riana yang langsung membungkam. Tak lama Amira dan Olivia muncul dari arah kamar mandi, duduk berdampingan di sofa panjang di seberang meja. Olivia duduk tepat di depan Lita. Sejenak tatapan Lita dan Olivia bertemu. Kemudian pelayan datang dengan nampan berisi cangkir teh yang masih mengepulkan asap. Amira mengambilnya dan menyerahkannya pada Olivia. “Minumlah, ini akan membuat perutmu terasa lebih baik.” Olivia mengangguk pelan, mengambil cangkir tersebut dan menyesap teh. “Aku tak yakin dia benar-benar hamil,” bisik Riana lagi di telinga Lita. “Aku bisa melihat kilat di matanya. Mama tak pernah pintar menilai sifat orang, kan?” Lita tak menanggapi kalimat Riana. Tepat setelah Olivia menandaskan minumannya, Leo muncul dari arah ruang tamu. Langsung duduk di sofa tunggal. Di antara Lita dan Olivia. Pria itu memandang Lita cukup lama kemudian Riana, bergantian Amira dan Tama, dan terakhir pada Olivia. Bibirnya berkedut tak suka . “Aku akan membiarkanmu tinggal di sini.” Olivia tampak tersenyum puas, berbanding terbalik dengan ekspresi Leo saat mengujarkan keputusan berat tersebut. “Hanya sampai tes DNA keluar. Setelah hasil tesnya keluar, kita bicarakan masalah ini lagi nanti.” 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD