Part 3. Meet Her Brother

1823 Words
"Hai, Sayang. Kau makan siang di sini juga?” Sania dan Kevan spontan langsung menoleh ke arah pria yang berani memanggil adiknya dengan sebutan sayang tadi dan terlihat sekarang tengah berdiri di samping meja mereka. Deg. "Chris?" • • • • • "Chris? Maksudku pak Christian? Kebetulan sekali kita bertemu di sini,” 'Atau kebetulan yang aneh,’ Lanjut Sania dalam hati. "Siapa pria yang bersamamu ini, Sayang?" ucap Christian lagi yang membuat Sania hanya berdiri diam dan menatap ke arah Kevan malas. "Dia...,” "Perkenalkan. Kevano Eldert. Kakak dari wanita yang kau panggil Sayang tadi,” Kevan berdiri dan mengulurkan tangannya. Dari perkataannya tadi ia sengaja ingin menantang Christian di sana. Benar, 'kan? "Christian Ashford,” ucap Christian sambil menjabat tangan Kevan. Keduanya terlihat saling berpandangan dingin dan tidak suka sama lain cukup lama hingga, "Sangat aneh, melihat dua pria dewasa saling menatap dan berjabat tangan lama,” ucap Sania berniat mencairkan suasana di sana. Mendengar sindiran Sania, Christian dan Kevan langsung melepaskan tautan tangannya dan salah tingkah. Sania menahan tawanya melihat itu. "Nanti malam akan ada pesta di rumahku. Datanglah jika kalian tidak ada acara,” ucap Christian lalu dengan seenaknya merangkul pundak Sania mesra di sana. Kevan tentu saja langsung menatap geram dan tidak suka ke arah tangan Christian yang merangkul pundak adiknya itu. "Apa kau terganggu dengan ini? Maaf, tapi bukankah sepasang kekasih biasa melakukan ini,” ucap Christian menyadari tatapan Kevan. Sementara Sania, ia hanya diam saja. "Oo... sepasang kekasih ya. Mengetahui hal itu, kami pasti akan datang ke pestamu nanti. Bukan begitu San,” ucap Kevan dengan menyeringai lebar penuh kemenangan di sana. Sania membelalakkan matanya mendengar itu. 'Dia sengaja. Dia tahu aku ada pekerjaan dan akan menolak undangan ini' batin Sania dalam hati. "Maaf Chris, aku tidak bisa datang. Aku ada keperluan,” Sania sedikit tidak enak menolak undangan Christian. Bukan apa-apa. Hanya saja pria itu sudah berniat baik mengundangnya tapi ia semudah itu menolaknya. Sementara Kevan, ia hanya tersenyum licik, karena keinginan dan rencananya tercapai. "Tak apa, Sayang. Aku mengerti,” ucap Christian pengertian. Sania menghembuskan nafas lega dan tersenyum kepada Christian. Berbeda dengan Kevan yang justru menatap malas pada mereka. "Nanti ku beritahu alamat rumahku lewat pesan,” ucap Christian pada Kevan. "Sepertinya aku juga tidak bisa datang tanpa Sania,” ucap Kevan dengan hati-hati. "Sejak kapan kau peduli padaku. Kau selalu pergi ke pesta dengan wanita penyihirmu itu kan,” ucap Sania yang nampaknya masih marah saat mengingat perkelahiannya dengan kakaknya tadi. "Sania, jaga bicaramu,” "Kau tadi bilang tidak bisa datang tanpaku, 'kan. Baiklah aku akan datang setelah urusanku selesai. Kau datanglah lebih dulu dengan wanita penyihir itu dan lihat bagaimana dia minum banyak minuman di sana, dan kau akan tahu, sebenarnya dia itu tidak hamil,” Kevan hanya diam. "Diam mu berarti setuju,” Sania kini beralih menatap Christian. "Apa setelah ini kau ada acara Chris?" ucap Sania dijawab gelengan kecil oleh Christian. "Bisakah kau mengantarku pulang sekarang?” "Tentu saja. Ayo,” ucap Christian bersemangat. Sania merangkul pinggang Christian lalu berjalan keluar. Meninggalkan Kevan sendiri di sana. • • • • • "Kau pulanglah. Aku akan menyetir sendiri,” ucap Christian pada sopirnya. Sopirnya mengangguk, dan memberikan kunci mobil pada Christian lalu pergi. "Silahkan masuk, Sayang,” ucap Christian membukakan pintu untuk Sania. Sania tersenyum kecil dan masuk ke dalam mobil. Christian memutari kap mobil dan masuk ke dalam mobil, duduk di belakang kemudi. "Pakai sabuk pengamanmu, Sayang,” "Aku terbiasa tanpa sabuk pengaman, sudahlah jalan saja,” Christian menggeleng kecil mendengar itu. Ia lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Sania, hendak memakaikan sabuk pengaman untuk wanita itu. Sania menahan nafasnya saat tubuh Christian sangat dekat dengannya. "Sudah,” Sania menghela nafas lega melihat Christian kembali duduk. "Lain kali jangan sedekat itu lagi denganku,” kesal Sania yang hanya dijawab anggukan kecil oleh Christian. "Kita akan ke mana sekarang,” ucap Christian setelah menyalakan mobil. "Jalan saja. Nanti ku beritahu arahnya,” Christian menurut. Ia lalu menjalankan mobilnya, membawanya keluar dari restoran. "Boleh aku tanya sesuatu?” ucap Christian melihat Sania hanya diam dan melihat keluar jendela. "Tanya saja,” "Apa kalian selalu bertengkar?" Sania melihat ke arah Christian dan menaikkan satu alisnya bingung. "Maksudmu aku dan Kevan. Tidak. Aku sering bertengkar dengannya hanya setelah wanita penyihir itu datang dan berada di antara kami,” "Wanita penyihir?" "Ya. Wanita penyihir. Dia___ Hei!! Kenapa aku membicarakan masalah pribadiku denganmu?” 'Aku berbicara tanpa sadar lagi. Kebiasaan buruk ini harus segera hilang,’ batin Sania dalam hati. "Tenang saja. Aku adalah orang yang bisa kau percaya, Sayang,” "Aku tidak mudah percaya pada orang lain lagi sejak 16 tahun yang lalu,” ucap Sania sinis. "Okay, aku hanya ingin tahu satu hal lagi saja. Apa kau tidak suka pada kekasih kakakmu?" Sania menatap tajam ke arah Christian setelah mendengar itu. "Kekasih kau bilang?!! Dia itu seperti kotoran yang selalu menempel pada Kevan. Wanita penyihir murahan seperti dia tidak bisa disebut sebagai kekasih,” "Kata-katamu sangat kasar, Sayang. Jangan seperti itu,” ucap Christian menegur. Tapi Sania malah naik pitam dibuatnya. "Kasar katamu!! Dia itu memang w************n bermuka dua. Jika ada Kevan dia akan menjadi anjing yang jinak pada Tuannya. Jika Kevan tidak ada, dia berubah jadi anjing hutan yang liar,” Christian hanya diam mendengarkan. "Kau tahu berapa kali dia mencoba membunuhku dan membunuh Kevan!! Rasanya sangat sering dia melakukannya hingga tidak terhitung lagi,” Christian hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan Sania. "Kau tahu bagaimana rasanya menahan rasa ingin membunuh orang? Begitulah rasanya setiap kali aku melihat wajahnya yang seperti penyihir itu,” Dada Sania naik turun karena emosi, saat menjelaskan itu. "Di perempatan depan, belok kanan,” Christian mengangguk paham. "Apa Kevan tahu tentang keburukan kekasihnya itu?" "Kevan itu pria bodoh. Dia hanya sibuk menikmati tubuh wanita itu dan tidak memikirkan hal lainnya. Kalau dia bukan kakak ku sudah kutinggalkan dia sedari dulu,” ucap Sania mulai tenang. "Kau mau aku turun tangan dan membantu membereskan wanita itu,” Sania menggeleng kecil. "Aku ingin Kevan sendiri yang membereskannya. Aku ingin dia sadar dan tahu semuanya sendiri. Rumahku ada di depan sana,” ucap Sania dengan nada rendah, hampir tidak terdengar. Sania menatap lurus ke depan. Christian menatap sendu ke arah Sania. Bukan kasihan. Ia hanya tidak tega pada Sania. "Jangan menatapku seperti itu. Aku turun di sini saja,” Christian langsung menepikan mobilnya. Sania membuka sabuk pengamannya dan menoleh ke arah Christian. "Terima kasih sudah__" "Jadi apa jawabanmu?" "Jawaban untuk apa?" "Kau mau jadi kekasihku?" Mendengar itu Sania menatap dalam mata Christian yang juga tengah menatapnya. "Kau tidak mengenalku. Lebih baik kau pikirkan kembali ucapanmu tadi. Aku juga baru melihatmu pagi ini,” "Kita bisa berkenalan nanti,” ucap Christian dengan santainya. "Jangan menjadi seperti Kevan. Kau harus mengenal wanitamu dulu dengan baik. Baru kau bisa menjadikannya sebagai kekasih,” ucap Sania memberi pengertian. "Kau terlihat seperti wanita baik-baik. Itu cukup untukku,” ucap Christian yang terdengar seperti lelucon untuk Sania, hingga wanita itu tidak kuasa menahan tawanya di sana. Wanita baik-baik? "Aku baru bilang tadi. Kenali dulu wanitamu dengan baik. Aku tidak sebaik kelihatannya. Sudahlah. Sampai bertemu nanti malam. Sekali lagi terima kasih. Dah..,” Sania turun dan melambaikan tangannya pada Christian. Christian tersenyum sebelum akhirnya melajukan mobilnya pergi dari sana. Sania berjalan menuju gerbang rumahnya. Lebih tepatnya rumah Kevan. Saat Sania membuka pagar, bersamaan dengan itu Kevan datang dan mengklakson mobilnya. Sania tidak melihat ke belakang sama sekali. Ia malah masuk ke dalam meninggalkan Kevan. "Jangan bukakan pagar untuknya,” ucap Sania pada penjaga yang ada di pos jaga. Sania terus berjalan santai menuju pintu utama. Ia tersenyum sendiri saat mendengar teriakan Kevan dari belakang. "Hei!! Kemari kau. Dasar adik kurang ajar,” Sania terkikik mendengar itu, tapi tidak berlangsung lama karena Kevan berhasil menyusulnya dan menggelitiki pinggangnya. "Kev, sudah berhenti. Haha... sudah cukup. Ini geli. Haha.. hahhaa.,” Tak sampai 5 menit, Kevan menyudahi aksinya itu. "Jadi bagaimana. Apa aku dimaafkan?" Sania membungkuk sambil memegangi perutnya. Ia mencoba mengatur nafasnya. Setelah ia dapat bernafas normal kembali. Ia menegakkan tubuhnya, dan menatap Kevan datar. "Apa arti tatapanmu itu? Apa kau masih marah padaku?" "Berbaliklah. Lihat apa yang ada di belakangmu. Kevan langsung berbalik. "Apa? tidak ada apa pun di___" Ucapan Kevan terpotong karena Sania tiba-tiba naik ke punggungnya. Untung saja tidak jatuh. "Baiklah adik kecil. Kau mau digendong kakakmu yang tampan ini ya. Ayo,” ucap Kevan yang sama sekali tidak keberatan mengetahui adiknya sudah mengerjainya itu. "Ini bukan berarti aku memaafkanmu,” "Aku tahu. Kau selalu bilang 'aku akan memaafkanmu kalau wanita itu sudah pergi dari kehidupanmu' benar ‘kan?” "Kakakku memang pintar,” ucap Sania mengacak rambut Kevan. Sania mengeratkan pelukannya pada leher Kevan. "Ternyata ada wanita penyihir di dalam,” ucap Sania saat melihat mobil hitam terparkir tidak jauh dari tempatnya dan Kevan sekarang. "Ya. Aku yang menyuruhnya kesini. Bukankah kita akan pergi ke pesta kekasihmu,” "Biar ku tebak. Kau akan pergi bersamanya untuk membeli dress baru untuknya,” "Yap,” "Buang-buang uang sekali,” ucap Sania prihatin. "Ucapanmu tadi terdengar lucu. Turunlah. Ayo masuk,” ucap Kevan saat sampai di depan pintu utama rumah. Sania menurut dan turun dari punggung Kevan. Kevan membuka pintu dan masuk ke dalam. Sania mengekor dibelakangnya. "Honey... kau sudah datang,” Sania memutar bola matanya kesal melihat Karen berlalu dan memeluk Kevan. Sania berjalan melewati Kevan dan Karen seakan keberadaan mereka kasat mata. "San, aku bawakan kau kue kesukaanmu. Red velvet. Aku taruh di dapur,” ucap Karen pada Sania. Sania menghentikan langkahnya. Ia berbalik menatap Karen datar. "Makan saja kue beracun itu sendiri,” ucap Sania sinis lalu kembali melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamarnya. "Lihat babe. Kapan adikmu akan menerima kehadiranku?" ucap Karen pada Kevan yang tengah memeluknya mesra. "Entahlah. Untuk membuat suasana hatimu membaik, bagaimana kalau kita pergi belanja sekarang,” "Aku sangat mencintaimu. Ayo,” ucap Karen bersemangat. Kevan bernafas lega lalu membawa kekasihnya itu keluar pergi berbelanja. Sementara itu di dalam kamar... Sania melihat kepergian kakaknya dari jendela kamarnya dengan pandangan tidak suka. Ya, selalu seperti itu setiap harinya selama beberapa tahun ini. Bukan apa-apa. Masalahnya Sania merasa kakaknya memiliki hobi menampung para jalang dari jalanan beberapa tahun belakangan dan itu membuatnya muak dan marah. Pasalnya jalang yang selalu dibawa Kevan tidaklah berbeda. Setiap kali pasti hanya akan membawa masalah saja dan selalu membuat dirinya dan kakaknya bertengkar untuk waktu yang lama. Bukankah itu menyebalkan. 'Dia terlalu bodoh untuk bisa menyadari mana orang yang baik dan buruk, mana orang yang tulus dan pengecut. Lihatlah siapa yang dibelanya selama ini. Dia baru saja mengenal mereka, 'kan? Dengan mudahnya dia mengabaikanku begitu saja seperti ini hanya karena jalang itu. Lihat saja nanti apa yang kulakukan untuk menyadarkanmu dari tipuan para jalangmu yang tidak tahu diri itu. Sebagai adik aku tidak akan diam saja melihatmu didorong masuk ke dalam jurang oleh orang asing. Aku akan menyelamatkanmu seperti yang biasa kita lakukan setiap harinya selama beberapa tahun belakangan ini, yaitu saling melindungi satu sama lain,’ Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD