Part 2. Become Secretary

3177 Words
Ruangan CEO Di sinilah Sania sekarang. Ia duduk di depan Christian yang tengah membaca dan memeriksa berkas-berkas di tangannya. Entah sudah berapa kali Sania menghela nafas beratnya. Ia tidak tahu kenapa ia dipanggil ke ruangan CEO itu. Sudah hampir 15 menit ia hanya duduk diam di sana tanpa melakukan apa-apa. Sungguh Sial. "Tunggu seben-" "Tidak masalah. Sungguh. Silahkan kembali baca berkas-berkas Anda itu lagi dan anggap saja saya tidak ada di sini,” ucap Sania sengaja menyindir halus orang yang membuatnya terjebak disituasi yang tidak menyenangkan itu. Semuanya terasa baik-baik saja sebelum Sania bertemu dengan pria itu. Tapi sekarang? Entah bagaimana Sania harus menyebutnya. Yang jelas ia tidak suka berada di sana apalagi harus duduk tepat di depan pria itu. Ia sangat serius saat ini. Christian menutup berkas yang ada di tangannya, lalu ditaruhnya itu di atas meja. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi lalu menatap Sania lekat dan intens. "Sekretaris CEO harus selalu ada di samping CEO-nya, ‘kan. Anggap saja kau sedang melakukan kewajibanmu itu sekarang,” ucap Christian dingin dengan wajah datarnya. Membuat Sania mengalihkan pandangannya ke arah lain setelah mendengar itu. 'Ingin rasanya aku mencakar wajah datar jelekmu itu pak CEO,' balas Sania dalam hati. "Apakah kau tidak ingin bertanya kenapa aku menjadikanmu sebagai sekretarisku?" ucap Christian sambil terus memandangi wajah Sania. Sania langsung menatap ke arah Christian dan menyeringai padanya. "Saya sudah tahu alasan Anda. Tapi saya tidak pernah memintanya. Bisakah Anda membatalkan pengangkatan tiba-tiba ini,” ucap Sania dengan berani membuat Christian tersenyum mendengar perkataan Sania. "Baguslah, jadi aku tidak perlu repot menjelaskannya lagi padamu, tapi sayangnya aku tidak pernah menarik perkataanku kembali,” ucap Christian santai lalu berdiri dari duduknya dan berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan keramaian kota dari sana. "Dengar, jika kau menaruh harapan padaku, hal itu akan percuma. Aku tahu kau tertarik padaku, tapi kau tidak akan mendapatkan apa pun dariku,” ucap Sania sengaja tidak berbahasa formal. Tapi yang terjadi adalah Christian tidak meresponsnya sama sekali. Christian hanya diam sambil melihat hiruk pikuk kota. Tercipta suasana hening dalam sesaat di sana, hingga dering telepon dari ponsel Sania memecah keheningan yang terjadi. "Hmm" seperti itu dan memang begitulah cara Sania menjawab telepon. "........,” "Makan siang? Baiklah,” "........,” "Tidak, aku mau makan masakanmu,” "........,” "Aku sedang ingin makan chicken parmigiana, crepes, panna cotta dan kroketten,” "........,” "Okay, kroketten-nya tidak jadi. Tapi bawakan aku espresso,” "........,” "Love you, bye.,” Tut tut tut.. Sambungan terputus. Kini suasana hati Sania sedikit membaik karena telepon tadi, membuatnya terus saja tersenyum tanpa henti sambil memainkan ponselnya. "Kau harus izin jika ingin pergi keluar kantor,” ucap Christian tetap pada posisinya. "Ya, saya tahu,” ucap Sania asal. Christian geram karena mendengar jawaban singkat Sania. Ia lalu membalikkan badannya, dan berjalan mendekati Sania. Christian mengambil ponsel yang sedari tadi dimainkan Sania itu tanpa permisi dan tidak peduli jika Sania akan marah. "Apa yang akan kau lakukan dengan ponselku itu?” "Aku hanya ingin mencatat nomorku di sini,” Sania mendesah pelan. Ia membiarkan saja ponselnya di otak-atik Christian. Toh, hanya mencatat nomor telepon, 'kan? "Kau mendengar suara itu?” ucap Sania tiba-tiba membuat Christian mengernyitkan keningnya bingung sambil terus mengotak-atik ponselnya dan ponsel Sania bersamaan dengan kedua tangannya. "Tidak. Memangnya suara apa?” ucap Christian acuh. "Ada suara tembakan. Sepertinya dari lobi,” ucap Sania lalu berjalan ke arah jendela dan melihat ke bawah. "Lihat semua orang berlarian keluar gedung! Cepat kunci ruanganmu ini!” perintah Sania pada Christian, dan tentu saja pria itu hanya diam dan tidak melakukan apa pun. Sania berdecak kesal. Ia lalu berjalan menuju pintu dan mengunci ruangan dengan cepat. Dan Christian? Ia hanya memandangi apa yang dilakukan Sania. Sania lalu dengan cepat mengambil ponselnya yang ada di genggaman Christian, dan digunakannya untuk mengirim pesan pada seseorang melalui ponselnya itu. Setelahnya Sania terlihat berjalan gusar ke sana kemari dengan perasaan tidak tenang, hingga ada yang mengetuk pintu. Sania dan Christian sama-sama melihat ke arah pintu, lalu saling bertukar pandang. "Aku tidak mau membuka pintu itu,” ucap Sania pada Christian. "Mereka tidak berbahaya. Mereka orang-orangku,” ucap Christian santai lalu kembali duduk di kursi kebesarannya. "A-apa? Kau bercanda, 'kan? Untuk apa menyuruh orang-orangmu kesini? Untuk menakuti para karyawan? Untuk apa?" Sania tidak habis pikir. Apa yang ada di pikiran pria itu sebenarnya? "Jika kau ingin tahu, buka saja pintunya,” ucap Christian dingin. Sania memutar bola matanya jengah lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Ingat. Dengan terpaksa. Setelah pintu terbuka, beberapa pria berbadan besar dengan wajah yang sedikit menyeramkan masuk ke dalam. Sania sendiri masih setia berdiri di dekat pintu hingga Christian memanggilnya. Apa lagi yang diinginkan pria itu sekarang? "Kemarilah, Sayang, jangan takut pada mereka,” ucap Christian dengan tangannya memberikan kode pada Sania untuk mendekat. 'Dia benar-benar sinting,’ batin Sania dalam hati. Setelah orang-orang menyeramkan di sana memusatkan perhatian padanya, mau tidak mau Sania dengan terpaksa berjalan mendekati Christian untuk mencari aman. Saat sudah berada di samping Christian, Sania bingung saat Christian merentangkan kedua tangannya ke arahnya. "Kemarilah. Duduk di sini. Aku yakin kau lelah berdiri,” ucap Christian dengan menampilkan ekspresi aneh. Membuat Sania menatap bingung ke arah Christian. Akhirnya karena geram, Christian menarik Sania hingga wanita cantik itu jatuh terduduk di pangkuannya. Sania sedikit terkejut, tapi ia tidak keberatan dengan itu. Atau lebih tepatnya Sania membiarkan itu terjadi. "Biarkan seperti ini. Mereka tidak akan melukaimu karena tahu kau bersamaku,” bisik Christian tepat ditelinga Sania. "Aku tahu,” bisik Sania kesal lalu mencium pipi Christian sekilas. Christian tersenyum akibat perlakuan Sania tadi, meski ia tahu Sania melakukan itu untuk tujuan tertentu. "Bagaimana? Apa semua sudah beres?" ucap Christian pada pria berbadan besar yang ada di depan meja. "Sudah, Bos. Ini berkas-berkas yang Anda minta. Anda bisa meninggalkan tempat ini sekarang,” ucap pria itu pada Christian sambil menyodorkan beberapa map padanya. "Baiklah. Ayo kita tinggalkan perusahaan ini, Sayang,” ucap Christian membuat Sania berdiri. "Aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku ada janji makan siang dengan temanku. Kita akan bertemu lagi nanti, ya” ucap Sania sambil mengambil tasnya di kursi lalu berjalan ke arah Christian lalu mencium pipinya sekilas. Saat Sania hendak pergi, Christian menarik tangannya. "Apa kau perlu ditemani beberapa pengawal?" ucap Christian dengan tersenyum. Sania menatap orang-orang Christian di sana sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Tak perlu. Aku sendirian saja. Dah...,” ucap Sania lalu berjalan keluar dari ruangan itu dengan melewati beberapa pria menyeramkan tadi. Setelah berada di luar, Sania langsung menelepon seseorang. "Kev, kau ada di rumah, ‘kan?” ".....,” "Aku akan ke sana. Kita akan makan siang di rumah saja,” ".....,” "Dah...,” Tut tut tut.. Setelah sambungan terputus, Sania langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia lalu langsung masuk ke dalam lift dan langsung turun menuju lobi. Sementara itu, di ruangan Christian.. "Dia kekasihku yang berarti juga Bos kalian juga mulai sekarang,” ucap Christian pada orang-orang yang ada di ruangan itu. "Seth.. ikuti wanitaku tadi dan jaga dia,” ucap Christian pada orang kepercayaannya. Pria yang dipanggil Seth tadi langsung mengangguk dan pergi dari sana. "Karena suasana hatiku sedang senang hari ini, buat pesta di markas,” ucap Christian dingin lalu ia menyeringai jahat. "Baik, Tuan,” ucap salah seorang pria yang ada di sana lalu mengikuti Christian yang berjalan keluar dari ruangan itu. • • • • • "Kev.. kau ada dimana?!" teriak Sania saat setelah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Rumah kakaknya memang tidak jauh dari kantor. Jadi tidak butuh waktu lama untuk sampai di sana. "Aku di dapur,” teriak Kevan pada Sania. Sania langsung melempar tas dan jasnya sembarangan di sofa ruang tamu lalu ia berjalan cepat ke dapur dimana kakaknya berada. "Hai, Sayangku,” ucap Kevan saat Sania berada di dekatnya sambil mencium pipi Sania bergantian. Kebiasaan itu dilakukan mereka sedari kecil karena mereka mewarisi darah Perancis dari sang ibu. Orang Perancis selalu hangat dan penuh cinta, ‘kan? "Hai..,” ucap Sania ceria seperti biasa. "Kau mau makan sekarang?" ucap Kevan saat melihat Sania mengambil apel merah yang ada di meja. "Tidak. Ini belum waktunya, 'kan?” ucap Sania santai lalu duduk di atas meja pantri sambil memakan apel di tangannya. "Setidaknya cuci dulu sebelum kau makan apel itu,” ucap Kevan kesal sambil terus berkutat dengan masakannya. "Aku tidak akan mati hanya karena bakteri di apel ini, Kev,” ucap Sania asal. Kevan berdecak kesal mendengarnya. "Aku punya berita bahagia. Apa kau mau mendengar_____" "Tidak. Kabar itu pasti mengenai w***********g kesayangan_____" "Jangan bicara kasar seperti itu, San,” ucap Kevan mulai emosi. "Lalu aku harus bicara bagaiman______" "Dia hamil,” ucap Kevan cepat. Tapi Sania terlihat tidak terkejut sama sekali dengan hal itu. "Dan kau percaya jika kau ayah dari anak yang dikandungnya?" ucap Sania yang memang selalu tidak suka saat membicarakan kekasih Kakaknya itu. "Ya. Tentu saja itu anakku,” "Jika aku bicara apa yang kulihat padamu, aku yakin kau tidak akan percaya,” ucap Sania pelan tapi Kevan masih bisa mendengarnya. "Memang apa yang kau lihat?” ucap Kevan tiba-tiba membuat Sania terkejut. "Aku bertemu pria tampan hari ini. Tapi yang satu ini sedikit berbeda,” ucap Sania mengalihkan pembicaraan. Sania tahu ini akan berhasil karena kakaknya tidak suka saat dirinya berdekatan dengan pria tidak jelas. "Pria? Lagi?" ucap Kevan tidak percaya. "Ya. Tapi dia sedikit berbeda,” "Apa yang membuatnya berbeda?" "Kau tahu tempat perusahaan aku bekerja sekarang? Dia adalah anak dari pemilik perusahaan itu, tapi anehnya, tadi dia malah menyuruh orang untuk menyerang perusahaan itu seakan-akan menciptakan skenario jika perusahaan itu mengalami p*********n dan pencurian. Padahal dia bisa saja meminta perusahaan itu pada papanya, ‘kan?” ucap Sania tentang kejadian yang tadi terjadi. "Dan kau ada dimana tadi. Kau tidak apa, ‘kan? Apa kau terluka?" ucap Kevan cemas sambil memeriksa tubuhnya. "Aku tidak apa. Aku ada di ruangan pria itu tadi. Aku sedikit khawatir dan akhirnya aku mengirimkan pesan padamu tadi. Apa kau tidak melihatnya?" ucap Sania sambil tersenyum manis. Kevan hanya berdiri diam atau lebih tepatnya melamun di depan Sania untuk beberapa saat hingga Sania menyadarkannya. "Hei!! Aku tidak mau makan crepes gosong,” ucap Sania membuat Kevan langsung tersadar dari lamunannya dan kembali berkutat dengan masakannya. "Apa aku sudah bilang kau terlihat lucu memakai celemek pink milikku itu?" ucap Sania tersenyum jahil. "Apa kau tadi jadi tawanan di ruangan pria itu?" Sania mendesah mendengar pertanyaan kakaknya itu. Ia tahu jika Kevan akan terus menanyainya sampai nanti. "Tidak. Jadi hari ini aku diangkat menjadi sekretaris baru oleh pria yang sekaligus CEO baru, jadi wajarlah aku ada di ruangannya. Jangan tanya kenapa aku yang dipilihnya karena aku pun tidak tahu jawabannya. Tapi sepertinya hanya karena pria itu tertarik padaku,” "Siapa nama pria itu,” "Christian Ashford,” "Jadi, bagaimana pekerjaanmu? Apa berarti kau tidak memiliki pekerjaan sekarang,” "Tentu saja punya. Aku ada pekerjaan malam ini,” "Siapa targetmu kali ini?” "Seorang bandit tua berperut buncit yang berprofesi sebagai penadah wanita yang siap untuk menjadi pemeran utama dalam film dewasa. Orang seperti itu harus dibasmi bukan?” "Ya kau benar. Semoga berhasil dan hati-hati,” "Aku mulai lapar sekarang. Apa kau masih lama?” "Baru crepes saja yang jadi. Ini makanlah mumpung masih hangat,” ucap Kevan menyodorkan crepesnya pada Sania. "Wah ini enak. Selalu sama seperti buatan___" "Mom. Aku tahu San. Aku juga sangat merindukannya,” ucap Kevan sedih. Sania meruntuki kesalahannya dengan berbicara seperti tadi pada Kevan. "Kev.. maaf. Aku___" "Tidak apa. Kau tidak salah apa-apa. Kau hanya memuji masakanku saja kan,” Kevan tersenyum pada Sania dan Sania juga tersenyum manis kepada Kevan. "Bagaimana jika kita makan di luar. Hitung-hitung aku mengajak adik perempuanku pergi jalan-jalan?" "Tentu saja dengan senang hati aku mau. Tapi sebentar. Aku akan ganti baju dulu. Jangan makan crepes-ku itu,” • • • • • "Halo, Bos. Kekasih Anda masuk ke dalam rumah besar. Saya berada di sini hampir 1 jam, dan tidak ada tanda-tanda jika penghuni rumah itu akan keluar,” "Ikuti dia terus, dan laporkan padaku. "Baik, Bos,” • • • • • "Ayo. Aku siap,” ucap Sania kepada Kevan yang sedang duduk santai di sofa. Kevan melihat penampilan adiknya dari atas ke bawah. "Biar kutebak. Kau membutuhkan waktu lama untuk memilih pakaian yang sangat menumpuk di walk in closet-mu, ‘kan?” ucap Kevan berdiri dari duduknya. Sementara Sania hanya menampilkan senyum manisnya pada Kevan. "Kau selalu tahu diriku Kev. Dan sepertinya aku harus mengurangi baju-baju di lemariku,” ucap Sania sambil merangkul lengan Kevan mesra. "Kenapa baru sadar sekarang? Kemana saja kau kemarin-kemarin saat aku mengeluh padamu tentang itu?" ucap Kevan berjalan menuju pintu utama dengan Sania disampingnya. "Aku masih Sayang dengan baju-baju itu kemarin. Ya... kau tahu kan, bagi wanita baju, sepatu dan tas mahal itu sangat berharga. Aku tahu kau akan bilang 'itu hanya barang-barang pemberian penggemarmu' tapi barang-barang itu benar-benar bagus dan mahal. Bahkan kau tidak pernah membelikanku barang-barang seperti itu. Kau selalu bilang 'belilah barang sesukamu nanti bayar pakai kartu kreditku'. Aku kan lebih suka hadiah dan pemberian Kev,” ucap Sania dengan menirukan gaya berbicara Kevan. Terdengar lucu hingga membuat Kevan menahan tawa. "Kau membandingkan kakakmu ini dengan pria-pria yang hanya tergoda dengan tubuhmu saja. Tega sekali kau,” Kevan berpura-pura kesal, membuat Sania terkikik melihat itu. "Sudahlah, ayo kita makan. Aku sangat lapar,” ucap Sania saat sudah berada di luar rumah. "Jadi kemana kita akan pergi sekarang,” ucap Kevan saat membukakan pintu mobil untuk Sania. "Restoran Italy tentu saja,” ucap Sania antusias. Sania melihat Kevan mendengus sambil menutup pintu mobil. Kevan mengitari kap mobil dan masuk, lalu duduk dibelakang kemudi. "Bagaimana jika kita makan seafood sekarang? Aku sedang ingin makan kepiting,” ucap Kevan pada Sania dengan suara pelan, takut adiknya itu marah. "Kenapa banyak perbedaan di antara kita? Aku suka masakan Italy, kau suka seafood. Wajahku dominan Eropa dan kau Rusia. Aku periang dan banyak bicara, ya.. meski hanya saat bersamamu saja, dan kau orang yang kaku juga terkesan dingin. Apa jangan-jangan perkataan orang benar, jika kita ini tidak sedarah? Menurutmu_____ Aww,” Sania mengaduh karena kepalanya dijitak oleh Kevan. "Jika berbicara seperti itu lagi, akan kutinggalkan kau di pinggir jalan,” ucap Kevan terdengar bersungguh-sungguh. "Iya.. iya, Kev. Aku kan hanya bercanda tadi. Tidak peduli apa pun kata orang, kau itu tetap kakak ku,” Sania memeluk Kevan yang ada disampingnya. "Karena aku sayang padamu, kita akan tetap pergi ke restoran Italy,” Sania menyengir ke arah Kevan. Kevan hanya tersenyum dan mengelus rambut Sania Sayang sebagai balasan. Ia lalu melajukan mobilnya keluar dari rumah menuju restoran. "Oh ya. Mana crepes-ku?” "Sudah kumakan. Kau ganti baju lama sekali. Crepes-nya hampir dingin jadi kumakan saja. Aku juga lapar,” "Meninggalkan makanan bersamamu, memang bukan ide yang bagus,” Kevan hanya menyengir tanpa dosa ke arah Sania yang tengah mengerucutkan bibirnya kesal. "Sudahlah sebentar lagi kita sampai. Kau boleh pesan apa pun sepuasmu nanti,” "Okay. 'Apa pun' terdengar menarik ditelingaku,” "No alkohol. Aku tahu hal itu terlintas di benakmu. Tapi dokter bilang kau harus mengurangi alkohol,” "Jika Wine sedikit saja tidak apa kan,” "Tetap saja tidak boleh. Nanti kau demam lagi,” Sania lalu memilih diam setelah itu sepanjang perjalanan, sebagai bentuk protesnya. Tapi jika dipikir lagi Kevan tidak salah. Kakaknya itu hanya khawatir jika dirinya akan sakit, nanti. "Kev, ada yang mengikuti kita ya,” Sania akhirnya berbicara lagi. "Sepertinya begitu. Kita lihat saja nanti apa yang dia inginkan. Tapi sepertinya dia hanya suruhan orang iseng,” ucap Kevan saat memarkirkan mobilnya. "Kau selalu menganggap enteng, dan mengira semua orang itu tidak berbahaya. Sampai kau memelihara 1 dan kau jadikan dia jalangmu. Sudah sering kali aku bilang. Wanita itu punya maksud terselubung mendekatimu, tapi kau tidak pernah percaya padaku,” Sania keluar dari mobil duluan meninggalkan Kevan. • • • • • "Bos. Nona pergi ke restoran Italy bersama seorang pria. Apa yang saya lakukan setelah ini,” "Aku ada pertemuan juga di restoran Italy. Dari sini aku yang ambil alih. Kau boleh kembali ke markas,” "Baik, Bos,” • • • • • "Aku pesan creme brulee, chicken parmigiana, foie gras, panna cotta, tiramisu, kroketten, dan es krim mix juga espresso,” ucap Sania pada pelayan. Sesaat setelah itu Kevan datang dan duduk di depannya. "Kau pesankan aku apa?” Sania yang ditanya hanya mengedikkan bahu acuh dan menopang dagunya malas. "Kenapa kita selalu bertengkar setiap membicarakan Karen? Dia tidak seburuk itu San. Apa yang salah dengannya?" Sania yang mendengar ucapan kakaknya itu hanya bisa menghela nafas pelan seakan tidak tertarik dengan pembicaraan itu. Kebisuan Sania itu berakhir saat pelayan datang membawakan creme brulee dan chicken parmigiana-nya. Sania langsung memakannya tanpa peduli pada Kevan yang tengah menatapnya. "Jawab pertanyaanku tadi,” "Bukankah kau yang bilang tidak sopan jika kita berbicara saat makan,” "Kita harus menyelesaikan hal ini. Aku tidak mau terus bertengkar denganmu gara-gara kau tidak suka Karen,” Sania yang mendengar itu langsung menatap tajam Kevan dan membanting sendok makannya. "Aku harus bilang apa padamu. Kau tidak pernah percaya padaku. Otakmu itu sudah terisi kata-kata jahat dari penyihir itu. Dia itu____" "Sudah cukup!! Jaga bicaramu itu San,” "See? Kau selalu seperti itu ketika kita membahas ini. Jika bukan karena aku menyayangimu, aku akan meninggalkanmu yang bodoh ini sedari dulu. Kau tahu berapa kali dia mencoba membunuhmu dan membunuhku. Kau tidak tahu itu kan. Kau hanya sibuk menikmati tubuhnya saja. Sial!! Nafsu makanku hilang karena pembicaraan ini,” ucap Sania kesal dan penuh emosi. "Kau sadar apa yang kau katakan tadi,” Sania mengepalakan tangannya menahan emosi mendengar perkataan Kevan. "Ketika kau tahu kebenaran tentang betapa busuknya wanita penyihir itu nanti, aku akan memukul wajahmu dengan sangat keras,” ucap Sania lalu melanjutkan acara makannya. Untung saja jarak antar meja di restoran itu cukup jauh, sehingga pembicaraan mereka tidak sampai terdengar pengunjung lain. Mungkin. Tak lama kemudian, pelayan datang lagi dan membawakan foie gras, kroketten dan es krim-nya. Dan Kevan dengan seenak jidatnya mengambil piring berisi foie gras lalu mulai memakannya. "Jangan mengambil makananku yang lain lagi,” ucap Sania kesal. Tapi Kevan dengam santainya melanjutkan makan tanpa rasa bersalah sedikitpun. Keduanya terus makan dalam diam dan akhirnya Kevan yang menghabiskan makannya terlebih dahulu dengan timingnya yang bersamaan dengan pelayan yang datang membawakan makanan penutup. Panna cotta, tiramisu, dan espresso. Kevan mengambil tanpa permisi panna cotta dan espresso milik Sania itu yang langsung saja mendapat lemparan kain yang ada diatas meja dari Sania. "Sudah kubilang jangan mengambil makananku,” "Lihat. Kroketten, dan es krim mu saja belum habis. Jadi kupikir kau tidakkan makan ini semua,” Kevan langsung memakan panna cotta yang diambilnya tadi dan juga meminum espresso-nya. Sania memutar bola matanya kesal lalu menjauhkan tiramisunya dari jangkauan Kevan. Ia melanjutkan memakan eskrim-nya dengan perasaan kesal pula. Ia dan Kevan saling melayangkan tatapan ingin membunuh satu sama lain di sana, hingga seseorang menyela kegiatan mereka. "Hai, Sayang. Kau makan siang di sini juga?” Sania dan Kevan spontan langsung menoleh ke arah pria yang berani memanggil adiknya dengan sebutan sayang tadi dan terlihat sekarang tengah berdiri di samping meja mereka. Deg. "Chris?" Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD