Mengingat mie ayam yang tadi sempat dibelikan untuk Yura harus dia relakan terbuang karena menghalau penjahat itu, Rasya dengan terpaksa akan membuat makan malam di dapur rumahnya nanti. Dia memang sering memasak terutama untuk makanan yang disukai Sonia, putrinya.
Mobil telah terparkir di garasi rumahnya lalu mereka berdua berjalan menuju pintu utama, seorang petugas keamanan yang berpapasan di dekat pintu, membawa obeng dan perkakas lainnya membungkuk hormat kepada Rasya.
“Kunci pintu kamar tamu sudah saya perbaiki, Tuan.” Petugas kemanan berbusana safari berwarna hitam itu terus saja menunduk hormat.
“Ya, terima kasih,” jawab Rasya, lalu dia berlalu meninggalkan petugas keamanan yang memakai label nama Ito, di daadanya.
Ito mengangkat wajahnya dan mendapati Yura yang kini tersenyum kepadanya meski senyumnya tampak tak bercahaya dan seolah terpaksa. Ito kembali menunduk dan berjalan agak membungkuk meninggalkan Yura yang kini mengekor Rasya menuju kamar tamu. Rasya yang membawa dua tas besar itu sudah masuk ke dalam kamar tamu. Meletakkan kedua tas itu di atas ranjang.
“Kamu alergi seafood?” tanya Rasya tiba-tiba.
“Enggak, kenapa?” tanya Yura.
“Aku akan menyiapkan makan malam,” ucap Rasya sambil lalu.
“E-enggak per – lu,” ringis Yura yang terlambat karena pintu telah tertutup. Dia pun memilih membereskan pakaiannya dan memasukkan ke dalam lemari. Kembali teringat kejadian pagi tadi, di mana dia tertidur tanpa busana di samping Rasya yang juga hampir tak berbusana. Yura menggeleng, mengingat hal itu hanya membuatnya sedih.
Bayangan sang nenek, senyum terakhirnya kembali merasuk dalam ingatan. Yura menyeka air di sudut matanya. Dia tak boleh terlalu larut akan kesedihan karena neneknya tak akan menyukai hal itu.
Yura membuka kembali gaun nenek Ana, gaun yang tampak tua itu terlalu antik. Dengan lembut dia melipatnya dan meletakkan di lemari teratas. Mengambil buku agenda sang nenek dan duduk di sofa kamar, membuka lembar pertamanya. Sebuah foto jatuh dari buku tersebut, foto hitam putih yang diyakini merupakan foto nenek dan kakek Yura. Yura bahkan belum pernah melihat foto tersebut karena sang nenek benar-benar tidak mau menceritakan tentang masa lalunya.
Di foto itu tampak kakek Yura mengenakan seragam tentara Jepang, dengan topi berhiaskan bintang, kemeja panjang berkerah dengan kancing besar di bagian lehernya. Juga ada lambang bintang di kerahnya. Wajahnya tampak datar ke arah kamera, begitu pula sang nenek yang mengenakan gaun yang sebenarnya lebih mirip seperti design dari eropa, baju terusan dengan kancing-kancing besar. Meski tak tersenyum, namun wajah nenek Ana tampak sangat cantik, sedikit mirip dengan Yura, hanya matanya tampak besar. Tak seperti Yura yang sipit mewarisi mata sang kakek.
Yura melihat tulisan di belakangnya yang berunsur tulisan Kanji, tertulis Ana dan Kenzi. Sedikit banyak Yura bisa membaca tulisan dari negara tersebut meski terkadang dia kesulitan mengartikannya.
Perut Yura kini terasa lapar, dia menutup kembali buku agenda tersebut dan meletakkan di lemari, bersebelahan dengan gaun sang nenek. Dia keluar dari kamar dan menuju dapur. Rasya sedang menata piring di meja. Meletakkan nasi goreng dalam mangkuk besar di tengah meja makan.
“Makan,” tukas Rasya yang langsung duduk di kursi seraya membalik piringnya. Yura pun mengikutinya, duduk di kursi lalu membalik piring di meja makan yang telah tersedia. Dia menenggak air mineral di gelas yang berukuran tinggi.
Rasya menyendok nasi goreng ke piringnya, lalu mulai menikmati makan malam yang dia masak. Begitu pula Yura yang menyuap nasi goreng seafood tersebut. Potongan udang yang ditemukan di nasi goreng itu membuat nasi goreng tersebut terasa nikmat, sayuran dicampur dalam masakan tersebut pun memiliki kematangan yang pas.
Mereka makan dalam diam, Yura yang tak mau memulai percakapan sementara Rasya seolah berkutat pada pemikirannya sendiri. Hanya suara denting sendok yang sesekali beradu dengan piring yang terdengar. Selain itu, hampir tak ada suara lagi. Hingga mereka berdua selesai makan dan Yura memutuskan mencuci piring. Rasya tidak mencegahnya, dia hanya membereskan kelebihan nasi goreng tersebut dan memasukkan dalam satu wadah lain lalu membawanya ke pos penjaga keamanan di sisi gerbang rumahnya.
Yura tahu Rasya sebenarnya lelaki yang baik namun dia seolah tak bisa mengungkapkan secara gamblang. Buktinya, dia pasti sengaja memasak banyak untuk dibagikan juga kepada petugas keamanan meskipun memberikannya selesai dia makan terlebih dahulu.
***
Malam ini, Yura tidur sangat pulas. Ya meskipun dia tetap pada kebiasaannya, namun dia memastikan terlebih dahulu bahwa pintu ini terkunci, barulah dia tidur.
Karena masih hari minggu, dia pun baru terbangun pukul sembilan pagi, mengerjapkan matanya dan mencari ponsel untuk melihat jam. Lalu dia meraba ranjang untuk mencari pakaiannya. Setelah mengenakan pakaian dalam, dia menuju saklar lampu dan menyalakannya. Tampak tubuhnya di kaca yang terletak di pintu lemari.
Wajahnya masih terlihat sangat lesu, bahkan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Dia memutuskan ke toilet untuk membasuh wajahnya, dia telah meletakkan perlengkapan mandinya di toilet ini semalam tadi. Karena itu kini dia menyikat giginya, mengembuskan napas kasar dan memandangi wajahnya dari pantulan bayangan di cermin walk in closet tersebut. Dia hanya mengenakan pakaian dalamnya seperti yang sering dia lakukan jika hanya berada di kamar seorang diri.
Setelahnya, dia pun kembali ke kamar tidur, memakai baju santainya. Baju terusan selutut, dan keluar dari kamar. Rumah itu cukup sepi di pagi ini, namun Yura mendengar suara benda beradu di dapur, aroma masakan pun menyeruak ke indera penciuman Yura, membuatnya yakin pasti ada yang tengah memasak saat ini.
Dia melihat Sonia yang menata makanan di meja, sementara Rasya memakai apronnya dan memasak sarapan pagi ini. Sonia yang pertama menyadari keberadaan Yura, dia melambaikan tangan dan tersenyum manis kepada Yura. Yura pun membalas dan menghampirinya.
‘Kamu sedang apa?’ tanya Yura dalam bahasa isyarat kepada Sonia.
‘Aku membantu papa menyiapkan sarapan, tante sini duduk,’ jawab Sonia sambil menarik kursi untuk Yura. Beberapa hidangan telah tersaji, ada cumi saus asam manis, ayam goreng tepung, juga Rasya sedang menggoreng udang yang ditaburi tepung roti, ada beberapa sayuran rebus yang disajikan di meja.
‘Apa setiap hari papa kamu masak sebanyak ini?’ tanya Yura kepada Sonia. Gadis kecil itu menggeleng dan melirik ke ayahnya yang sedang fokus menggoreng udang.
‘Spesial untuk tante,’ tutur Sonia dalam bahasa isyarat. Yura tersenyum dan membelai rambut Sonia dengan lembut. Rasya membalik tubuhnya dan meletakkan udang yang telah digoreng tersebut ke meja.
Dia menggantung apron di sisi kulkas lalu duduk di kursi, membantu Sonia duduk dan meletakkan lap khusus di pangkuan Sonia untuk menghindari makannya yang berantakan yang mungkin bisa mengotori bajunya.
“Apa tidak ada asisten lainnya?” tanya Yura. Rasya mengangkat wajahnya dan menatap tajam Yura. Dia pun menggunakan bahasa isyarat dengan jemarinya, ‘aku harap kamu bicara bahasa isyarat jika kita berada di depan Yura.’
Yura menempelkan telunjuk dan ibu jarinya yang dibentuk seperti lingkaran, ‘oke.’
Lalu mereka pun melanjutkan makan dalam diam, hanya sesekali Sonia tersenyum seolah sangat bahagia.
Setelah makan, Yura memutuskan mencuci piring, sementara Sonia membereskan meja makan. Rasya seperti menerima panggilan penting karena dia bergegas ke luar dari ruang makan, menuju taman di samping rumah. Ada kolam renang berukuran memanjang di sisi rumah yang berdempetan dengan tembok, tak jauh dari kolam renang pun ada kolam ikan yang tertata sangat indah.
Yura baru mengetahuinya pagi ini, dia menuju kolam ikan bersama Sonia, memberi makan ikan koi itu, senyum Sonia terus terlihat, meski dia tak bisa mendengar dan berbicara, namun dia memiliki senyum yang tulus, wajahnya pun tampak cantik dengan mata bulat besar, tak seperti mata Yura dan Rasya yang kecil.
Yura duduk di kursi dekat kolam ikan, melihat beberapa tumbuhan hias yang terawat, tempat ini rasanya sangat tenang, suara air yang jatuh di kolam ikan, pepohonan hijau yang membuat tempat ini terasa sejuk, dan juga kolam renang yang airnya sangat jernih. Rasya telah menyelesaikan panggilannya, dia berjalan menuju Sonia, berjongkok di samping gadis kecil yang memasukkan tangan ke kolam untuk membelai ikan-ikan tersebut.
Rasya tersenyum melihat Sonia, tangannya mengusap kepala Sonia dengan lembut dan penuh kasih sayang. Tak terlihat sikap dinginnya jika di samping putrinya. Senyum yang membuat wajahnya semakin tampan, namun sayang, jarang sekali ditunjukkan di tempat umum. Ekspresi yang sering dia tampakkan adalah mata menajam seolah mengintimidasi lawan bicaranya, bibir yang jarang terbuka, juga kerutan keningnya yang khas.
Rasya menoleh ke arah Yura yang tergagap karena kedapatan memperhatikannya. Sonia tersenyum melihat Yura yang salah tingkah, dia berucap dengan bahasa isyarat kepada Rasya, ‘aku akan mencuci tangan dan menonton acara favoritku.’ Rasya mengangguk dan Sonia melambaikan tangan ke arah Yura, lalu berjalan menuju rumah.
Yura merasakan suasana yang canggung, berada di samping pria gunung es hanya membuatnya menjadi tertular dingin. Bukan tetap hangat untuk mencairkan kebekuan sang gunung es.
“Apa di rumah ini tidak ada asisten lain?” tanya Yura, memastikan tidak ada Sonia di sekitar mereka, sehingga dia tentu bisa berbicara dengan mulutnya kan?
“Ada, tapi weekend dia libur, dia juga tuna wicara dan tuna rungu seperti Sonia.” Tangan Rasya kembali menyentuh ponselnya seolah membaca pesan.
“Dia bukan pengasuh Sonia? Apa dia membereskan seluruh rumah?”
“Bukan, pengasuh Sonia telah meninggal, dia juga pengasuhku sejak kecil karena itu dia sudah sangat tua. Asisten yang saat ini, namanya Serayu, usianya empat puluh tahun, dia datang pagi pukul enam dan pulang pukul enam sejak pengasuh Sonia meninggal, dia mengerjakan semua termasuk masak.”
“Serayu, hmm oke, seenggaknya nanti aku bisa menyapanya,” ucap Yura.
“Setelah kita menikah, aku ingin kamu berhenti kerja dan fokus di rumah. Jadi Serayu bisa pulang setengah hari.”
“Menikah?” gumam Yura, ah bukankah dia tinggal di sini karena dia akan menjadi istri dari Rasya?
“Dua minggu, cukup untuk menyiapkan segalanya. Aku tidak ingin pesta, tapi Kuncoro tetap memaksa untuk mengadakan pesta. Jadi kamu harus bersiap untuk itu, dan satu lagi, ku harap kamu segera mengajukan resign di perusahaan,” ucap Rasya. Yura belum sempat membantah atau mengatakan sepatah katapun, namun Rasya sudah menerima panggilan dari ponselnya.
“O-denwa arigatoo gozai-masu,” ucap Rasya dalam bahasa Jepang saat menerima panggilan itu, lalu dia melanjutkan, “Rasya Ryoichi gozai masu.” Yura tak mendengar percakapan selanjutnya karena Rasya telah meninggalkannya. Satu yang Yura tahu, mendengar pelafalan Rasya yang lancar, membuat Yura yakin bahwa dia sering menggunakan bahasa itu. Apakah mungkin Tuhan menakdirkan mereka untuk bersama?
***