Tujuh

1548 Words
Pekan olah raga kantor Bamboo sudah dimulai, sama seperti kebanyakan karyawan. Yura pun tak mau ketinggalan mengikuti turnamen antar divisi itu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia memainkan badminton mewakili bagiannya. Tahun lalu dia menjadi runner up, dia bertekad tahun ini akan mengalahkan juara bertahan. Meski mungkin akan menjadi piala juara pertama sekaligus terakhir untuknya. Mengingat dia yang akan menikah dengan Rasya dan mengajukan resign untuk menjaga Sonia di rumah. Sebenarnya dia bisa saja menolak pernikahan itu, toh dia belum mencintai Rasya meski hati kecilnya merasa tertarik. Namun ... dia tidak memiliki siapapun lagi di dunia ini setelah kepergian nenek Ana. Dia tak yakin bisa hidup sendirian. Bukan masalah financial, karena selama ini pun dia membantu menyokong perekonomian neneknya. Hanya saja, dia yang tak pernah hidup sendiri akan merasa hampa. Dan dia selalu dibayangi perasaan tidak enak sejak kepergian nenek. Ketika berangkat ke kantor saja, dia merasa selalu ada yang memperhatikannya. Bukan tatapan kagum seperti yang dia terima, namun seolah ada yang mengintainya. Bahkan di perusahaan dia tetap tidak merasakan aman. Bayangan nenek yang meninggal karena dibunuh membuatnya terkecam ketakutan. Hanya di rumah Rasya dia merasakan tenang. Rumah itu sangat tertutup, terletak di paling pojok komplek, ada petugas keamanan yang selalu berjaga di pos dan tak membiarkan siapapun masuk tanpa persetujuan Rasya. Mungkin di tempat itu dia akan merasa aman, sambil mencari tahu apakah feelingnya tentang kematian sang nenek benar adanya? Pukul tiga sore, hampir semua karyawan keluar dari tempat kerja mereka, menuju lapangan olah raga, hari ini pertandingan basket antar tim, nanti akan di seling dengan badminton lalu kembali tanding basket. Waktu pertandingan pun singkat tak dibuat normal seperti biasanya. Satu babak basket hanya dua puluh menit, sedangkan satu set badminton hanya lima belas point. Yura bersama Mia, teman kerjanya, duduk di tepian lapangan basket, ketika Yura mendengar dering ponselnya yang mendapat panggilan dari Dela. Dia pun berjalan menjauh untuk menghindar dari suara sorakan penonton yang mendukung bagiannya. “Ya Del,” sapa Yura ketika menerima panggilan itu. “Kamu di mana?” tanya Dela. “Kantor, ada apa?” “Hmmm calon suami kamu?” “Ada, lagi tanding basket tuh,” ujar Yura, menoleh ke arah lapangan outdoor yang terletak di belakang gedung perusahaan. Rasya memang selalu menjadi andalan tim basket, setiap pergantian divisi pekerjaannya, tim basket di mana ada Rasya selalu memenangkan juara satu. Meski dia terlihat pendiam namun saat bertanding dia akan bertindak profesional, tak segan memanggil temannya dan menginstruksikan beberapa hal layaknya kapten. Sama seperti saat ini, baru sepuluh menit bertanding, peluh sudah membasahi baju olah raganya, dia kedapatan melirik ke arah Yura yang menerima panggilan di kejauhan, lalu fokus kembali membawa bola itu ke ring lawan dan nice shot! Berhasil memasukan bola ke ring dengan tepat. “Yura ... hello!!” teriakan Dela menyadarkan Yura dari lamunannya, Yura sampai tertawa dibuatnya. “Oiya maaf, ada apa?” “Tadi kata bapak aku, di rumah kamu ada laki-laki, dikira calon suami kamu, saat bapak mau panggil tapi orang itu udah pergi, badannya kayak calon suami kamu, siapa namanya?” “Rasya? Nggak kok Del, dia ada tuh lagi tanding basket. Mungkin petugas listrik, soalnya aku belum bayar tagihan, biarlah pulang kerja nanti aku bayar listriknya, padahal baru sebulan telat,” gerutu Yura. “Hmm mungkin, ya sudah deh aku kerja lagi ya, kamu mau tanding ya? Semangat semoga menang,” tutur Dela dari seberang sana. “Makasih Dela, makasih juga infonya,” ucap Yura. Dia kembali ke tempat duduknya di samping Mia, mengambil botol minum dan menenggaknya. “Ada apa?” tanya Mia. “Tadi kata Dela ada orang di rumah, tapi entah siapa?” tukas Yura seraya meletakkan botol di dekat kakinya. “Rasya!! Rasya!! Rasya!!!” sorakan dari orang-orang di belakang Yura terdengar memekakkan telinga. Yura dan Mia menoleh, tampak segerombolan wanita bermake up menyemangati Rasya, padahal Mia dan Yura sangat tahu bahwa wanita itu bukan divisi Rasya. “Biasa deh bintang olah raga, kalau hari biasa, mana ada yang berani memanggil namanya,” cibir Mia membuat Yura tertawa. Yura sampai lupa memberi tahu Mia, apa dia akan terkejut jika mengetahui bahwa wanita di sampingnya adalah calon istri dari pria yang namanya dielukan sejak tadi itu? “Mi, aku mau ngomong,” ucap Yura. “Ah- apa? Yang kenceng dikit,” ujar Mia karena sorakan itu kian terdengar seiring dengan waktu yang hampir habis untuk babak pertama. “Aku mau nikah,” ujar Yura tepat di telinga Mia, membuat Mia membuka mulutnya lebar. “Bercanda?” “Serius.” “Sama siapa?” ‘PRITTTTTTTTTT!’ Suara peluit nyaring terdengar menandakan babak pertama pertandingan basket selesai. Rasya menuju tasnya, mengambil handuk lalu menyeka keringat dari arah belakang leher dan juga lengannya, dia berjalan menghampiri Yura dan dengan tiba-tiba duduk di sampingnya. Tentu hal itu membuat orang di sekitar Yura membeku dan menjadikannya pusat perhatian. Dengan tanpa banyak bicara, Rasya mengambil botol air mineral Yura dan menenggaknya hingga hampir habis separuh. Sama seperti Mia yang menganga, Yura pun lupa menutup mulutnya. Lalu Rasya melirik ke arah Yura dan memegang dagu Yura agar bibirnya terkatup. Dia melepas botol minuman dari bibirnya dan menutupnya, lalu kembali meletakkan di tempatnya semula. Rekan basket Rasya memanggilnya, hingga Rasya kembali bangkit, meletakkan handuk bekas keringat itu di pangkuan Yura. “Ini nyata kan?” tanya Mia, Yura mengangguk dan memegang handuk yang agak lembab itu. “Kok dia?” tanya Mia dengan wajah seperti orang bodoh. “Ya, dia ... ,” ucap Yura, menoleh ke arah Mia, “dia yang akan menikahiku.” Ucapan Yura jelas membuat Mia hampir menjerit jika saja Yura tak segera membekap mulutnya. ‘PRITTTTTTTTT!’ Peluit kembali terdengar menandakan waktu istirahat lima menit telah habis, tim basket yang babak pertama dimenangkan tim Rasya itu pun kembali ke lapangan. “Kamu nggak mau cerita?” tanya Mia dengan pandangan menyelidik. “Baru kenal kan?” “Apa kalian menyembunyikan hubungan kalian selama ini?” “Yura, bicara, jangan bikin aku mati karena penasaran!” decak Mia sebal karena rentetan pertanyaannnya tak jua dijawab oleh orang yang saat ini berada di sampingnya itu.   “Ceritanya pendek,” ujarnya membuat Mia hampir tertawa, biasanya orang akan berkata, ceritanya panjang kan? “Terus?” “Nenek meninggal,” ucap Yura membuat Mia gemas, dia tentu tahu nenek Ana meninggal, meskipun dia tak bisa datang karena ibunya yang masuk rumah sakit. Namun dia sempat menelepon Yura dan mengucapkan bela sungkawa saat itu.  “And then?” tutur Mia kian geram. Yura menarik napas cukup keras dan mengembuskannya lalu dia menoleh ke arah Mia, menatap sorot matanya yang dipenuhi rasa penasaran. “Aku enggak terbiasa hidup sendiri dan aku memutuskan menikah dengannya,” ucap Yura. “Ra, dengar aku  ya, pernikahan enggak sesimple itu, Sayang. Apalagi jika tanpa cinta? Pernikahan yang diawali rasa cinta pun bisa kandas, bisa diterpa banyak masalah. Kamu belum terlalu mengenalnya. Kamu  yakin dengan apa yang akan kamu jalani ini?” “Mi,” ucap Yura, lalu dia menoleh ke arah Rasya yang saat ini bersiap melemparkan bola ke ring. Dan gotcha! Masuk bolanya dengan mulus. “Sepertinya aku sudah tertarik dengannya, enggak sulit jatuh cinta dengannya, sama seperti yang kamu bilang tadi,” ucap Yura, kembali menatap mata rekan kerja yang paling dekat dengannya, “pernikahan yang didasari cinta pun bisa kandas, jadi masalah kelanggengan rumah tangga, itu urusan Tuhan,” kekeh Yura. Mia hanya mendengus sebal. “Aku hanya berharap yang terbaik untuk kamu Ra, aku tahu banget kisah kamu, sejak awal kamu masuk kantor sini, kamu hanya menempel sama aku, kamu yang ramah namun masih sering takut bertemu orang baru, kamu yang punya potensi tapi terlalu banyak kekhawatiran. Aku harap Rasya bisa memperlakukan kamu dengan sangat baik.” “Aku juga berharap seperti  itu, ya happy ending hanya di dongeng kan? Nyatanya dalam hidup selalu saja ada awal yang baru untuk sebuah peristiwa setelah keputusan,” tutur Yura. Suara peluit dari wasit menandakan berakhirnya pertandingan basket antar divisi yang tentu dimenangkan oleh tim Rasya yang akan melawan tim lainnya besok. Sementara itu panitia pekan olahraga memasang tiang dan net untuk pertandingan badminton karena memang hanya ada satu lapangan yang dipakai bergantian di tempat ini. Yura pun bersiap untuk bertanding, dia berdiri dan melepas training panjangnya, menyisakan celana olah raga pendek yang memamerkan paha mulusnya. Kini para penonton wanita mundur bergantian dengan penonton pria yang sepertinya sudah menantikan pertandingan Yura yang selalu menjadi pusat perhatian terutama saat pekan olah raga seperti ini. Rasya membawa tasnya ke arah Yura, mengambil botol mineral Yura dan menenggaknya lagi sampai tandas, Yura hanya menggeleng pasrah, hingga panitia memanggilnya, Yura menitipkan celana panjangnya kepada Mia. Tatapan mata Rasya bersirobok dengan Mia, dia pun menunjukkan botol kosong milik Yura seolah mengatakan bahwa dia akan mengisinya, Mia hanya mengangguk meski tak terlalu mengerti. Rasya pun meninggalkan Mia dengan tas miliknya yang tergeletak. Mia mengangkat bahunya acuh dan menoleh ke arah Yura yang sedang briefing dengan wasit pertandingan hari ini. Rasya berjalan menuju ruang khusus yang berada tak jauh dari lapangan, di tempat itu dia bisa mengisi air di botol Yura. Tak terlalu ramai di sana sehingga dengan cepat dia bisa kembali ke lapangan untuk melihat Yura bertanding. Sekelebat ingatannya melayang, kepada pekan olah raga tahun lalu, pertama kali dia menyadari bahwa Yura ada di dunia ini! ***  note : Maaf yaa kelamaan updatenya ^^ semoga masih ada yang nungguin. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD