[9] Sour Selly itu enak

2084 Words
Siapa, sih, yang enggak tertarik dengan es krim? Sebagian besar orang suka dengan penganan manis yang menyegarkan ini. Aneka rasa pula sekarang. Sampai yang menurut Leony enggak terbayangkan; warna hitam. Sudah gitu, dilengkapi dengan aneka topping buah yang jarang ia konsumsi. Satu, harganya mahal untuknya sekarang. kalau dulu saat orang tuanya masih jaya, sih, Leony biasa makan kiwi dan jeruk mandarin. Sekarang? Mikir dulu deh kalau membeli sekadar untuk menghias meja makan. Lebih baik membeli buah di pasar segar yang masih bisa ditawar harganya. Meski di awal percobaan membeli buah, Leony gagal total. Dimarahi ibunya, lah! Katanya kalau enggak becus, lebih baik berikan saja uangnya. Bukan enggak mau, berapa pun uang yang Leony beri selalu habis untuk ibunya. Sementara ia ingin kedua adiknya makan buah bersama. Apa susahnya dengan keinginan simple itu? Sayang, sang ibu sepertinya enggan menuruti. Kedua, es krim yang kin tersaji di depan matanya juga dibandrol dengan harga yang membuatnya melotot. Astaga, Tuhan! Apa karena tempat di mana outlet es krim ini berdiri, maka harganya mahal? Entah lah. Yang jelas, buat Leony ini semua enggak masuk akal. Ketiga, warnanya itu, lho. Kenapa Naina enggak jijik memakannya? Malah lahap sekali? katanya, “Ini enak, Kak Ony. Coba, deh. Nyesel, lho, kalau engak makan sekarang. Keburu cair.” Leony meringis heran. “Dimakan, Ony.” Kali ini Suny ikut bicara. Walau wanita paruh baya itu enggak memesan dengan menu yang sama seperti cucunya, tapi aneka buah yang menjadi topping yoghurt dingin yang ia pesan, sudah menjelaskan apa yang menjadi kesukaannya. Dua jam lalu, Leony melesat pergi ke sekolah Naina menggunakan ojek. Kalau enggak, ia tak tau apa yang akan ia hadapi. Naina itu keras kepala. Macam dibuat dari batu asteroid entah dari belahan planet mana. Apa yang ia minta, harus segera dituruti, kalau enggak? Yawlaaa! Leony bakalan pusing tujuh keliling karena untuk sementara ini, dikarenakan rangkuman mengenai kerja sama Optima dan Faldom masih ia pelajari, di mana juga ia izin dinas pada sang ibu sampai seminggu ke Medan. Tuhan! Maafkan Leony yang berbohong pada orang tuanya. Tapi sungguh, Leony enggak macam-macam, kok! Dirinya kerja. Meski kadang dikerjai oleh sang bos dan anaknya. Untungnya, tukang ojek pesanan Leony selain tau jalan yang tercepat dan pandai betul menyalip banyak kendaraan di depannya. Walaupun sepanjang jalan Leony ini mengucap banyak doa keselamatan, agar dirinya jangan sampai lecet sedikitpun. Enggak lucu, kan, pulang dinas bohongan ini kakinya tergores panjang? Lututnya luka? Duh … jangan sampai! “Mana Naina?” tanya Leony dengan segera setelah turun dari motor. Tenang, enggak ada drama helm masih tersangkut di kepala. Apalagi sampai meminta dibukakan kancing pengait oleh abang ojeknya. Mengulurkan tangan untuk salim seolah si bapak ojeknya adalah orang terdekat yang Leony tau. Ditambah pula lupa bayar. Enggak, ya. Leony enggak melakukan hal seperti itu. Kebanyakan itu semua hanya konten di media sosial. Iya, kan? Atau ada yang pernah mengalami? Untunglah sejauh ini Leony dijauhkan dari mara bahaya bernama malu karena hal-hal tersebut tadi. “Di mobil, Mbak.” Parjo langsung menghampiri gadis berambut sebahu itu. Ia sendiri sudah gelisah menunggu kedatangannya. Bukan apa. Naina sama sekali tak bisa dibujuk. Entah karena apa. Ia juga sudah menghubungi nyonya besarnya. Ia tak mau terjadi kesalahan lagi terutama selama si nyonya besar ada di rumah. Yang Parjo tak tau, ternyata Bu Suny ada di kantor Tio. “Saya dikunciin.” Leony menepuk jidatnya. Mau bertanya bagaimana bisa, tapi rasanya lucu sekali. Pasti tadi Parjo habis dikerjai oleh Naina. Di mana Parjo menatap Leony dengan penuh harap. Andai ia dimarahi karena mengganggu, tak jadi masalah lah. Yang terpenting, Naina bisa dibujuk pulang. Ia tak mau menyetir dalam kondisi di mana Naina teriak enggak jelas. Bisa jadi, mendadak ia diganggu saat mengedalikan setir. Tidak. Ia tak mau mengambil risiko itu. Parjo biarkan Leony mendekat pada mobil sedan yang ia kendarai. Namun sebelumnya, ia pun berkata, “Mbak, tapi saya sudah hubungi Bu Suny juga.” “Beritahu aja, saya sudah bersama Nai. Nanti ketemu di mana gitu untuk janjian. Jangan di sekolah.” Leony meringis pelan. “Macam ada huru hara aja.” Parjo mengangguk patuh. “Oke, Mbak.” “Nai?” panggil Leony segera di mana dari dalam, Naina membuka kunci pintu. Leony buru-buru membukanya. “Bahaya, Nai, kalau kamu di dalam.” Naina melengos dengan tangan terlipat di d**a. “Ada apa?” “Nilai matematika aku masa tujuh?” Kening Leony berkerut di mana matanya langsung mencari keberadaan tas Naina. Begitu ditemukan, ia pun segera mengambilnya. Tapi sebelumnya, ia pun memanggil Parjo. “Pak, kita pulang sekarang.” “Enggak mau!” pekik Naina dengan segera. “Nai harus pulang. Bi Muji buat masakan enak, lho.” “Aku belum mau pulang, Kak Ony!” Naina belum mau menurunkan kekeras kepalaanya. Yang mana membuat Leony menghela pelan. “Terus mau ke mana?” Di saat bersamaan, Parjo sudah masuk ke dalam kursi kemudi. Menyalakan mesin mobil agar udara di dalam kabin ini berganti. Ia sendiri sangat heran, kenapa Naina membahayakan dirinya seperti ini. “Aku kesal banget.” Ia pun merebut tas ranselnya. Diacak dengan segera isi dalam tasnya. Mengambil lembaran kertas yang tadi ia dapatkan dari sang guru. Lengkap dengan materi yang semalam ia pelajari. “See? Jawaban aku benar, Kak Ony! Kenapa disalahkan?” Leony memejam pelan namun sejurus kemudian, ia tersenyum. “Nai sudah bicara dengan Miss Mia?” Naina terdiam. “Aku cek dulu, ya.” Leony mengulum senyumnya. “Kalau memang Miss Mia salah koreksi, Nai seharusnya memberanikan diri untuk bertanya. Di mana salah kamu?” Gadis itu mulai melunak. Matanya menatap lekat pada sosok berponi yang lengkap dengan kacamata anehnya itu. “Pak Parjo, antar aku ke Sour Sally. Bilang Oma, aku minta traktir.” Parjo menghela lega. “Siap, Non!” Dari kaca spion tengah, bisa ia lihat sang nona mudanya sudah bersandar nyaman meski wajahnya cemberut. Sang peneman sibuk dengan lembaran yang membuat bicah dua belas tahun itu marah. Ia pun segera melakukan apa yang Naina minta juga jangan sampai nyonya besarnya menyusul ke sini. Benar yang Leony katakan; lebih baik bertemu di satu titik untuk membuat Naina tenang. Tangan Leony dengan cepat menjabarkan hitungannya. Sekolah Naina ini ajib betul bikin kepala Leony mau meledak. Kenapa pelajaran anak sekarang berbeda jauh dengannya dulu? Etapi memang seperti itu, kan? Canggihnya zaman membuat kemajuan dalam bidang pendidikan juga enggak bisa dianggap remeh lagi. Semuanya berkembang mengikuti teknologi yang ada. Untungnya, astaga Tuhan, Leony ini benar-benar keturunan Indonesia asli, ya. Segala macam tekanan dan kejadian yang menghimpitnya, masih juga ada kata beruntung di dalamnya. Termasuk sekarang. Padahal ia tengah ditunggu datanya oleh sang bos. Tapi sungguh, ia juga tak bisa meninggalkan Naina begitu saja. kalau sampai anak itu kabur lagi? Dia juga yang repot! Enggak deh, ya! Cukup kala itu ia diteror sepanjang waktu untuk menanyakan keberadaan Naina yang ia sendiri tak tau ada di mana. “Coba Nai lihat perbandingan jawaban aku sama kamu punya.” Leony menyodorkan jawaban versinya di mana ia mengikuti panduan yang ada. Walau ada ragu yang segera ia dapatkan dari Naina, tapi gadis itu pun segera mengambil lembaran yang Leony sodorkan. Dilihat dari segi mana pun, Naina ini memang Barbie berjalan. Matanya bulat sempurna. hidungnya mancung. Kulitnya putih bersih. Rambutnya panjang tergerai meski enggak terlalu terawatt. Di mana tanpa Leony sadar, ia keluarkan sisir dari tas tentengnya. “Sini, Kakak sisir. Mau dikuncir atau dicepol biasa?” Mata serupa boneka itu, yang mana dipayungi bulu mata yang lentik sekali, mengerjap pelan. Menatap lekat Leony seolah apa yang baru saja dikatakan gadis itu sebuah keanehan. Tapi setelahnya, Naina tersenyum lebar. “Kuncir aja. Pakaikan aku jepit mutiara, Kak. Kayaknya ada di tas make up aku, deh.” “Heh? Kamu punya tas make up?” Tanpa ragu Naina mengangguk. “Kemarin beli di Shopa. Lagi diskon.” Tangan Naina terjulur mengambil satu kotak yang ia taruh di sisi sandaran kursi. Mobil yang menjadi ‘rumah siang harinya’ memang banyak ia jejal dengan barang kebutuhannya. Termasuk satu koper khusus pakaian yang ada di bagasi mobil. ia sendiri yang menyiapkan semua kebutuhannya. Daddynya hanya sesekali bertanya, “Kamu di mana, Nai? Sudah makan belum? Jangan sampai kelelahan karena sekolah, ya, Nai. Miss you.” Nai enggak butuh itu. Naina butuh … “Kak, sisirinnya yang rapi, ya. Kapan hari aku disisir Mami, rasanya cantik banget.” “Kamu memang cantik, Nai,” puji Leony. “Habis makan Sour Sally, kita beli vitamin rambut, ya? Rambut kamu kusut.” “Jarang aku sisir soalnya sering telat bangun.” Leony tertawa. “Memang tidurnya malam terus?” Tanpa ragu Naina mengangguk. “Sering enggak bisa tidur jadinya main hape aja.” “Tapi semalam tidurnya cepat, kok?” Leony meledeknya. Di mana gadis itu menoleh dengan cebikan sebal. “Semalam aku capek ngerjain tugas dan menghapal beberapa bagian yang enggak aku pahami.” Lantas matanya kembali memelajari apa yang diberitahu oleh Leony di lembaran lainnya. “Kayaknya aku salah di sini, deh. Makanya sama Miss Mia nilai aku berkurang.” Leony tersenyum tipis. “Sudah tau salahnya?” Kali ini kemarahannya hilang, ia ganti dengan cengiran lebar. “Iya, Kak Ony. Terima kasih.” Pun kepalanya ia goyangnya di mana ia merasa rambutnya ikut bergerak seiring dengan gerakannya. “Kaca lipat aku di mana, ya? Harusnya ada, sih. Apa hilang, ya?” Duh! Anak ini belajar dari mana tentang make up coba? saat Leony cek ini tas make upnya, ia menghela lega. Isinya Cuma sisir, kaca, dan kuncir serta jepit rambut. Untung lah! Leony pikir macam bedak, eye shadow, lip tint, pelembab, atau apa pun yang berkaitan dengan make up remaja! “Kak Ony!” panggil Naina dengan suara agak keras. “Kakak mikirin apaan, sih? Esnya cair!” Leony mengerjap. “Eh!” Ia pun buru-buru menyendok bagian yang cair meski masih ada kernyitan di keningnya. “Ini … yakin enak, Nai?” “Enak. Kak Ony pasti suka.” Naina bicara dengan entengnya. “Kiwinya dibalur gitu, Kak Ony, sama es krimnya.” Meski ragu, sumpah ya, Leony ragu banget. hitam gitu es krimnya, astaga! Tapi karena Naina enggak mendadak keracunan, Leony coba deh. Dan saat masuk ke dalam lidahnya, ia melongo. “Lho, kok enak?” “Apa yang enak?” DOEENGG!!! “Bapak ngapain di sini?” “Kamu itu saya enggak suruh ke kantor, bukan berarti malah enak ngemall, Ony!” *** “Sudah sampai mana?” Ck! Itu pertanyaan ke sekian yang meluncur dari bibir Tio hari ini. padahal ia sibuk dengan setir dan pandangannya tertuju pada jalan yang ada di depan, kadang juga ia menekan klakson meski enggak terlalu kencang. Kenapa juga enggak konsetrasi aja sama jalanan? Malah tanya mengenai kemajuan laporan Leony. “Tahun 2011 enggak ada yang aneh. aliran dana juga oke dan ada pertanggung jawabannya.” Tio mengangguk pelan. “Tahun 2012 di bulan agustus ada dana yang cukup besar keluar mengatasnamanya Optima, tapi enggak masuk ke sana.” “Gimana?” “Saya bingung mau tunjukkan datanya, Pak. Ini yang saya ingat doang, lho.” Leony membuka catatan yang tak pernah ketinggalan. Note yang dihadiahkan khusus untuk Leony dari Tio, yang akan selalu terkenang lantaran ucapan sang bos seenaknya itu. Tio mengembuskan napas kasar. “Saya butuh untuk segera tau, Ony. Makanya saya minta kamu kerja di ruangan saya. Baik, lho, saya nguber kamu dengan deadline tapi kasih fasilitas untuk tenang mengerjakan. Enggak saya recoki apa pun.” Sebelum Leony bicra, Tio kembali bersuara karena yakin, asistennya akan menyela. “kamu tau seberapa penting data itu? Saya butuh untuk membuktikan ada yang enggak beres dari aliran dana beberapa tahun belakangan. Bodohnya saya kurang teliti di tahun itu. dan saya butuh kamu mengecek, Ony.” Sayangnya … dugaan di mana Leony menyanggah ucapannya itu hanya ketersia-siaan. Asisten yang duduk di sampingnya ini malah terdiam, menunduk sembari meremas kedua tangannya. Rambutnya sedikit menutupi sisi wajahnya. meski kacamata berbingkai tebal itu masih bisa Tio lihat dari samping, tapi ia tau, Leony enggan mengangkat wajahnya sekarang. Mau banget, lho, Leony bantah terutama dalam hal merecoki. Dari mana asalnya Tio enggak merecoki selama ia bekerja di rumah Tio? Sejak pagi, lho, banyak banget telepon, chat, email, belum lagi … ah, sudahlah ia malas mendebat Tio. Bosnya selalu benar. “Iya, Pak. Maaf. Saya kerjakan dengan segera.” Tio mencengkeram setir kemudinya dengan kuat. kenapa, sih, Leony enggak pernah mau bicara jujur kalau dimarahi? Kenapa selalu menunduk begitu? Padahal dari pagi, Tio tau kok kalau ia membuat Leony repot. Paling enggak, Leony bicara. Bela dirinya. Bukan malah diam seperti ini. Apalagi tadi. Kenapa juga ia bersama Naina? Dan ibunya? Ck!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD