Leony sekali lagi mengembuskan napas kasar. Dilirik Baby G yang melingkari tangannya, sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tapi ia enggak bisa pergi begitu saja. Maunya, sih, pulang dengan segera. Selamat sampai tujuan alias di rumahnya, lalu tertidur pulas dan kembali beraktifitas di esok hari. Harusnya seperti itu, kan? Kenapa malah dirinya ada di depan pintu kamar Naina coba?
Apa yang tengah ia lakukan?
“Nai,” panggil Leony dengan lembut. Ketukan kembali ia buat di pintu bercat cokelat dengan papan nama milik sang gadis. “Kak Ony benar-benar enggak boleh masuk?”
“Enggk!!!”
Leony bersabar tapi tangannya enggak bisa sabar. Ia malah memutar kenop pintu itu sedikit paksa. Yakin sekali kalau Naina enggak akan mengunci kamarnya. Ia mengetuk demi rasa sopan santun karena biar bagaimana pun, gadis itu punya privasi. Ia tak ingin melanggar hal itu. Namun sudah tiga kali Leony berusaha untuk membujuk, enggak ada responnya juga. Bukan apa. Kepulangan mereka kali ini, masih menyimpan kekesalan di hati Naina.
Leony paham sekali akan hal itu.
Selama di kantor tadi, sepulang makan siang yang berantakan itu, Naina diam. Memang enggak banyak bertingkah. Duduk manis di kursi yang Leony sediakan di ruangannya. Sudah ia pesankan juga banyak camilan serta menemani bocah itu makan ayam pesanan yang tadi ia singkirkan. Enggak ada yang salah. Sungguh. Beberapa kali Leony meninggalkan Naina untuk mengurus pekerjaannya. Juga menemani Tio meeting dengan tim marketing.
Proyek di Sidoarjo harus berjalan dan sang bos mau, sudah ada kemajuan dalam hal kesepakatan dengan warga sekitar. Hubungannya dengan tim marketing, ia harus bahas sejak awal mengenai kantor di sana diperuntukkan untuk apa. Jadi mereka semua bisa bekerja dengan kontinyu sembari menunggu bangunan di Sidoarjo selesai.
Walau sibuk, Leony enggak lantas mengabaikan Naina begitu saja kok. Ia punya tanggung jawab membuat gadis itu nyaman. Makanya ia heran saat pulang, kenapa gadis itu marah? Adakah yang salah?
Matanya mengedar saat memasuki kamar Naina. Boneka masih ada di tempatnya. Hanya tas dan sepatu yang berserak ditambah paper bag sisa kemarin mereka berbelanja, masih ada di sudut lemari. Artinya gadis itu belum merapikan isi belanjaannya.
“Kamu … kenapa?” Leony duduk di tepi ranjang sang gadis. Ia tau, Naina ada di dalam sana. Menggelung tubuhnya dengan selimut tebal karena suhu di ruangan ini sudah dinyalakan.
“Enggak.” Naina masih belum mau menyibak selimutnya. “Kak Ony pulang aja sana.”
“Kak Ony harus tau dulu kamu kenapa?” Leony berusaha menyentuh Naina. Entah kenapa ia merasa ikut andil membuat mood gadis itu anjlok. Walau ia tak tau, di mana salahnya. “Kamu juga belum makan malam, kan? Enggak lapar memangnya?”
“Nanti aja biar Bi Muji antarkan aku makanan.”
Leony mendesah pelan. “Kak Ony mau pulang tapi kalau kamu ngambek gini, Kak Ony gimana?”
“Biasanya juga Kak Ony selalu pergi, kan? Kenapa jadi sekarang mikirin aku?”
Yah … Leony salah lagi aja.
“Kemarin aku minta Kak Ony nginap, tapi Kak Ony nurutin apa yang Daddy bilang. Malah pulang, kan? Padahal aku ada PR, lho.”
“Tapi Kak Ony bantuin, kan?”
Naina mencebik lantas membuka selimutnya agar bisa bernapas sedikit. “Aku mau Daddy pulang, Kak. Ke mana, sih, dia?”
Nah itu Leony enggak tau. meetingnya berakhir agak sore, banyak yang dibahas soalnya. Lalu Tio malah pergi begitu saja. Enggak bicara apa pun pada Leony. Malah minta si asisten mengajak Naina pulang. Katanya dia ada urusan. Namun kepala Leony langsung merangkai apa urusan yang bisa membuat Tio pergi begitu saja kecuali perempuan? Pasti Tio mau bertemu dengan Rara.
Enggak bisa dipungkiri!
Lagian makan siang tadi, kan, pasti tanggung banget. Entah bagaimana cara Rara membujuk Tio untuk menghampirinya, Leony yakin hal itu yang terjadi. Toh, Tio juga tampaknya tersenyum lebar. Macam menang lotere ratusan juta aja. Sialnya, karena kepergian Tio sore ini menyisakan tanda tanya di benak Naina. Belum lagi, si Naina ini enggak bisa dibohongi begitu saja.
“Pasti Daddy bertemu Tante Aneh itu. iya, kan?”
Apa yang harus Leony jawab? Dia saja enggak tau ke mana Tio pergi. Dihubungi enggak ada respon sama sekali. bahkan dari ponsel Naina juga, Tio mengabaikan beberapa panggilan itu. artinya … Tio memang tak ingin diganggu, kan? Hal yang membuat Tio enggak mau ada gangguan biasanya berkaitan dengan perempuan.
Ah … Leony jadinya agak kesal. Walau Naina ia perbolehkan main di kantor, bukan berarti sebagai daddy alias paman yang paling disayang bocah itu malah sibuk dengan urusannya pribadi, kan?
“Kakak enggak tau Daddy kamu pergi ke mana,” sahut Leony dengan senyumnya yang tipis. dirapikan rambut Naina yang agak berantakan. “Kak Ony lapar. Makan dulu, yuk. Sebelum Kak Ony pulang, biar Kakak tenang kamu sudah makan.”
Agak lama Naina terdiam. “AKu benci banget kalau Daddy bertemu wanita aneh di luar sana. kenapa, sih, enggak pulang aja temani aku? katanya capek kerja. Capek bukannya istirahat malah main. Heran.”
“Daddy kamu, kan, Raptor.”
“Memang Raptor itu kelakuannya begitu, Kak?”
Leony tertawa. “Raptor itu pemburu, Nai. Enggak akan melepas buruannya dengan gampang. Sudah gitu, paling repot dan cerewet. Ketimbang T-Rex, Raptor ini paling sering bersuara. Bawel gitu.”
“Iya, sih, mirip Daddy. Tapi Daddy memangnya memburu apa? Wanita Aneh? Kemarin aku minta Mami Farah, dia enggak mau. Katanya Mami Farah punya keluarga sendiri.”
“Memang.” Leony tertawa. “Ayo, sembari makan. Biar Kak Ony pulang enggak terlalu malam.” Ia pun mengulurkan tangannya agar sang bocah mau menerimanya.
“Nginep aja, Kak.” Naina memang menggenggam tangan Leony. Berjalan bersama menuju meja makan. Biar gimana juga, Naina enggak bisa menolak apa yang diminta Leony. Enggak tau kenapa, mungkin karena ia sudah lama mengenal asisten daddynya, ditambah sering sepaham dalam hal menjelek-jelekkan sang daddy, membuatnya nyaman.
Meski nantinya ia dinasihati, tapi enggak seperti Daddy atau Omanya yang cerewet. Leony membuat ia nurut tanpa banyak bantah.
“Enggak bisa. Besok ada banyak yang harus diurus, Nai.”
“Kak Ony kapan enggak sibuk?”
“Mungkin pas Kak Ony enggak kerja sama Daddy?” kata Leony sembari nyengir selebar mungkin. di mana wajahnya juga ia buat serileks mungkin. ucapan itu bernada bercanda. Tak ada kesan serius di sana yang segera saja membuat Naina tergelak.
“Kenapa aku jadi kasihan sama Daddy kalau Kak Ony enggak kerja lagi, ya? Pasti dia kerepotan.”
“Sebenarnya Raptor itu paling jago urusan kerjaan, Nai.” Leony bercelotoh ringan. “Dia pemangsa kecil tapi sadisnya hampir sama kayak T-rex.” Itu benar. Tio memang bergerak lincah tapi selalu tepat sasaran. Mungkin Faldom masih terbilang kecil untuk kategori perusahaan yang bergerak di bidang distribusi namun perusahaan yang Tio bawa, bisa terus eksis enggak tergerus zaman yang semakin canggih.
Leony akui itu.
Ditambah, sang bos juga selalu tepat sasaran kalau bicara mengenai perempuan. Memang tipe pemangsa ulung, kan?
“Apa aku bilang sama Nenek dan Oma, ya, kalau Daddy masih enggak mau nyari Mami rambut merah?”
Leony ngakak. “Jadi itu semua ide kamu, ya?”
“Ide punya Mami berambut merah? Dari pada rambutnya macam tante Aneh itu. enggak jelas. Benar-benar kayak Ulet Unicorn, Kak. Kak Ony sesekali harus lihat youtube.”
Makin jadi tawa yang ada di bibir Leony. “Nanti deh.”
“Kalian tertawakan apa?”
Kaki Leony terhenti begitu saja langkahnya. Tio ada di ujung tangga. Matanya menatap lekat pada Leony. “Kamu belum pulang, Ony?”
“Belum, Pak.” Leony menelan ludah gugup. Ia berpikir, kira-kira obrolan mereka mengenai Raptor dan cara kerja hewan buas itu terdengar enggak, ya? Jangan sampai semua ucapan Leony terdengar, sih. Bisa-bisa ia dapatkan ceramah lanjutan dari Tio.
“Daddy dari mana?” tanya Naina dengan muka cemberut. Tangannya bersidekap kesal. Matanya enggak mau dikurangi sinisnya.
“Bertemu Tante Marta, kok.” Tio menyeringai lebar. “Sudah makan belum? Daddy bawakan sate. Pasti kamu suka. Iya, kan?”
“Bohong!” Naina masih belum mau menurunkan nada merajuknya.
“Enggak. Justru minggu depan dia ajak kamu bertemu. Sudah lama enggak ketemu Tante Marta, kan?”
Naina enggak lupa mengenai teman Daddynya yang satu itu. Soalnya ia pernah mengusili wanita yang menurutnya ingin mendekati sang daddy. Tapi ternyata enggak. sepertinya ia berutang maaf. “Ketemu di mana?”
“Pasific Place? Kamu mau?”
“Ajak Kak Ony boleh?”
“Boleh, lah. Kenapa enggak?” Tio merangkul Naina. “Makan dulu anak Daddy yang paling cantik sedunia.”
Naina mencebik tapi kemudian tersenyum lebar. “Daddy juga paling ganteng sedunia deh.”
Mereka berdua kembali berdamai. Membuat Leony lega jadinya. Ia pun sepertinya enggak dibutuhkan, kan? Pulang adalah opsi yang paling bagus.
“Ony, ngapain kamu masih di situ? Makan dulu. Saya sengaja belikan porsi untuk kamu spesial.”
Kening Leony berkerut.
“Kamu sukanya sate ayam bumbu kecap, kan?”
Melongo lah Leony dibuatnya.
“Dan saya masih butuh banyak penjelasan kenapa Raptor dibilang pemburu sadis? Memangnya saya pernah membuat orang lain menderita?”
Apa Tio bicara seperti itu enggak pakai cermin? Yang paling sering dibuat menderita itu, ya … Leony. Banyak tingkah Tio yang menyebalkan. Eh, kalau Leony pikir di kantor juga Tio dikenal menjengkelkan, sih. Kebijakan yang ia ambil terkadang di luar nalar tapi hasil yang didapat enggak ada yang enggak oke.
“Cepat, Ony!”
***
Maunya, sih, menoleh dan mengajak si supir untuk bicara. Tapi Leony agak takut karena wajah sang pria, tampaknya enggak dalam keadaan santai. Tapi gimana lagi kalau dirinya harus mengutarakan ucapan yang tertahan di ujung lidahnya. “Pak,” panggilnya pelan.
“Jangan ajak saya bicara dulu, Ony. Kepala saya pusing.”
Leony mengatupkann bibirnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah meremas pelan tautan tangannya. Kepalanya memutar memori makan malam yang berlangsung seru, kok. Naina enggak lagi merajuk. Leony bisa pulang dengan mudahnya. Janjinya juga jelas, menemani mereka bertemu entah wanita mana lagi dalam hidup Tio. Leony enggak terlalu peduli, sih, asalkan situasinya aman terkendali.
Enggak seperti saat makan siang yang menurutnya agak kacau. Tio belum pernah meninggalkan wanita yang ia ajak kencan begitu saja. Entah benar atau enggak ucapan Tio saat itu, Leony enggak punya kuasa bertanya. Berbeda banget dengan makan malam bertiga yang penuh keseruan ini. Walau gadis berkacamata itu akui, dirinya repot.
Ada saja yang Tio dan Naina minta. Tapi saat semuanya sudah ia penuhi, piringnya mendadak penuh dengan aneka menu yang dipilih oleh Tio juga Naina. Katanya, “Kak Ony harus coba. Ini enak. Enggak pedas, sih. Nanti kasih sambelnya aja lagi.”
Lalu Tio yang menyodorkan mangkuk tongsengnya. “Ini enak, Ony. Kamu musti coba.”
Tapi semua itu mendadak hilang saat Tio selesai menerima telepon. Entah dari siapa. Tio memilih menyingkir dari meja makan karena tak ingin mengganggu sepertinya. Eh … malah suasana tiba-tiba berubah begitu saja. Tio jadi jauh lebih pendiam.
“Kalau Bapak repot harusnya enggak per—“
“Bisa kita temui Bu Nadia?” sela Tio dengan cepatnya.
“Ya, Pak?”
“Besok kamu enggak usah ke kantor. enggak ada yang urgent, kan? Saya bisa tangani sendiri. Seperti yang kamu bilang, Raptor bekerja sendiri juga hasilnya oke.”
Leony kehilangan kata-kata jadinya.
“Enggak perlu shock gitu. Saya terbiasa dengar kamu bicara asal.” Tio menyeringai tipis. “Tapi saya minta kamu stand by di hotel dan temui Nadia. Dia kuncinya, kan?”
“Sepertinya begitu, Pak.”
“Akan jadi hari yang panjang, Ony, buat kita berdua.”
Leony menunduk jadinya. “Rapat komisaris memang menguras banget energi.”
“Makanya jangan kamu tambah dengan hal-hal konyol, Ony.”
“Saya?” tunjuk Leony pada dirinya sendiri pun ia beranikan diri mengangkat matanya menatap Tio. “Kapan saya berbuat konyol?”
“Ck! Enggak sadar pula. Saya sudah bilang, kan, saya enggak mau ada kencan buta. Kenapa masih disodori juga nama-nama wanita yang harus ditemui?”
Leony mengerjap heboh. “Enggak, Pak.”
“Enggak dari mana,” Tio masih mencebik kesal. “Buktinya Rara datang ke sini katanya karena perintah Oma Yesy. Kamu kalau mau buat saya pusing enggak gitu caranya, Ony. Rara itu hanya sekelebatan.”
Otak Leony cepat sekali digali untuk menemukan korelasi. Tapi ia enggak temukan apa pun di sana. Dirinya sendiri heran, kenapa nama Yesy disebut oleh Tio? Kapan dirinya berbincang dengan nenek Naina dari pihak sang ibu?
“Pokoknya saya menolak apa pun rencana Oma juga ibu saya. Seharusnya kamu ada di sisi saya dong. Kamu yang paling tau saya seperti apa bukan malah mendorong saya untuk ikut kegilaan mereka,” dengkus Tio.
“Maaf, Pak,” kata Leony pelan.
“Bukan salah kamu, sih,” Tio terkekeh jadinya. “Sudah. Jangan kamu pikirkan. Yang jadi fokus kamu sekarang, jangan pergi dari sisi saya dulu. Ternyata enggak mudah membongkar kisah lama.”
Dari sisi Leony, wajah Tio dari samping juga sudah demikian menarik. Hidungnya mancung, bulu halus di sekitar rahangnya juga memanggilannya untuk ia sentuh. Belum lagi sorot matanya yang tegas dan tajam menatap jalan raya yang mana membuatnya semakin fokus pada apa yang menjadi tujuannya, begitu seksi. Sayangnya … Leony enggak mudah lupa dengan apa yang menjadi keseharian Tio.
Beberapa waktu belakangan saja dirinya jarang melihat sang bos bersama wanita yang silih berganti.
“Mau, kan, ada di sisi saya sampai rapat komisaris selesai dan kita ungkap Optima seperti apa?”
“Memang saya mau ke mana?” Leony tertawa kecil.
“Yah … siapa tau mau resign seperti yang tadi kamu bilang.”