[14] Biro jodoh Terpercaya

2117 Words
Ony sampai enggak mau angkat telepon siang ini. Padahal ia butuh ponselnya untuk membuka banyak catatan yang banyak ia sebar di notes tersendiri. Meski ia punya jurnal khusus tapi kalau sesuatu yang cepat dan butuh segera, akan ia catat di ponsel dulu. Barulah ia susun di jurnal miliknya. Hari ini ia sudah berkantor seperti biasanya. Pagi ini juga, ia berangkat bersama si Raptor di mana kopernya ada di mobil sang bos. Pulang nanti akan ia pindahkan ke taksi pesanannya. Beruntungnya ia, kali ini tak ada jadwal Tio keluar kantor. “Kamu ngapain?” Tio heran, karena saat keluar dari ruangannya, di mana ia minta Leony ke divisi keuangan untuk mengambil banyak berkas malah masih duduk di meja kerjanya. Sudah gitu menatap ponsel yang sejak tadi bergetar pelan. Menimbulkan bunyi dengung yang cukup halus tapi tetap saja terdengar menganggu. “Eh!” Leony segera menyambar ponsel itu. Mengantunginya dengan cepat. Lantas tersenyum demikian lebarnya demi menutupi apa yang terjadi. “Enggak apa-apa, Pak.” Tapi Tio mana mau percaya. “Ada apa?” “Saya segera ke divisi keuangan, Pak.” Ia pun segera melesat pergi. Agak terganggu karena getar ponselnya sedikit menyentuh bagian perut Leony. Ia harus tahan dulu. Nanti di tangga darurat ia bisa mengangkatnya. Sebenarnya bisa saja ia bicara tapi sungguh, kepalanya sudah rasa mau meledak. Tio yang sudah ditinggalkan Leony hanya mengerjap bingung. “Dia kenapa coba?” Tak lama berselang, ponselnya berdering. Nama ibunya muncul di layar yang mana membuat ia berdecak. “Ya, Ma?” Enggak mau direspon tapi dirinya pasti dikejar sampai mau mengangkat teleponnya. “Kamu kapan bisa kencan buta? Ada waktunya?” Kening Tio makin jadi kerutannya. Ia sampai menyentuh bagian di sana. merabanya karena takut ia benar-benar akan terlihat berumur lantaran kerutannya bertambah banyak. Tiap pagi juga, ia begitu memperhatikan penampilannya. Jangan sampai rambut hitamnya ini ada uban. Bukan enggak mau bertambah usia, tapi ia masih butuh tampangnya untuk menggaet wanita. Jangan dulu pesonanya luntur sebelum dapatkan istri. Niatnya begitu. Tapi gimana cara dapat istri kalau pekerjaannya selalu banyak? Belum lagi ia harus menyadari satu hal; restu Naina. Kalau ibunya ia yakin tak jadi soal. Naina? Wah ini sih big trouble nomor satu. Ia tak bisa memilih antara istri dan keponakannya tersayang. Yang nantinya, kala ia berkeluarga dengan wanita yang cocok dan sesuai serta selaras dengan kehebohan Naina, nama gadis itu ada di urutan pertama nama anaknya. Naina anaknya. Anak pertamanya. Sang pewarsi sang Faldom yang ia jaga. Meski enggak ketat karena rasanya enggak akan ada bahaya di sekitarnya, kan? “Kencan buta?” Tio menarik salah satu kursi yang ada. Duduk sedikit tak nyaman karena rasanya kursi yang ada di ruangan Leony ini kecil sekali. apa dirinya bertambah besar? Yang benar saja! Baru juga makan malam nambah dua porsi semalam, enggak mungkin badannya kembali seperti saat dirinya sekolah, kan? “Maksudnya apa, Ma?” Pria itu sedikit melonggarkan kaitan dasinya. “Leony enggak bilang sama kamu? sudah pilihkan calon pasangan untuk kamu? yang berambut merah? Sudah agak berumur biar dewasa menghadapi Naina? Sudah Mama pilih juga yang sayang dengan anak kecil? Enggak ada dia bilang seperti itu?” Mulut Tio menganga lebar. “Ma!” sentaknya. “Jangan ngaco, ya. Enggak ada hal seperti itu di hidup aku. Aku enggak mau kencan buta hanya demi memenuhi keinginan Naina yang aneh. Lagian sekarang Nai enggak pernah bahas Mami-Mami itu, kok.” Di ujung sana ibunya berdecak sebal. Terbayang dalam benak Tio, kalau wanita yang melahirkannya itu bibirnya mengerucut kesal. “Dengar Mama, Tio. Sosok wanita seperti itu ideal untuk kamu jadikan istri. Enggak jadi masalah, lah, kalau usianya jauh di atas kamu. Tapi, ya, enggak sepantaran Mama juga. Jangan gila, ya.” “Yang mulai pembicaraan gila ini Mama. Bukan aku,” dengkus Tio tak suka. “Hari ini aku ada diskusi panjang dengan Leony karena bahas aliran dana, Ma. Jangan ganggu konsentrasi aku.” “Enggak bisa,” sela Suny dengan cepatnya. “Mama sudah tanya jadwal kamu sama Leony. Tiga hari lagi kamu bertemu salah satunya. Leony pasti sudah cari yang sesuai sama kriteria kamu.” Tuhan! Cobaan macam apa lagi yang menderanya? “Ma!” “Enggak ada penolakan, Tio. Sekarang Mama menuju rumah kalian. Tinggal di sana karena Papa ke Kalimantan dua minggu.” “Biasanya ikut Papa, Ma,” Tio mengusap wajahnya frustrasi. Ada ibunya, neraka yang sesungguhnya terjadi. Sebentar. Nerakanya enggak semenakutkan yang dikira, enggak seperti itu. Tapi bagi Tio, ia harus banyak menelan kesabaran. Ia tak jadi soal membantah dan mendebat ibunya, tapi enggak sampai buat sang ibu bersedih. Pasti setelah perdebatan mereka, Tio ke kamar sang ibu. Bersimpuh meminta maaf sampai Tio bisa kembali merasakan usapan lembut di kepalanya. “Ma, ayolah jangan buat aku enggak waras!” “Dari mana sebabnya enggak waras? Kalau kamu punya pasangan yang normal, enggak seperti mantan pacar kamu yang banyak itu.” Tio menghela panjang. “Nanti kamu pelajari wanita yang akan kenalan sama kamu dari Leony. Di mana asisten kamu, sih?” Suny berdecak. “Mama butuh dia malah enggak mau angkat telepon” Pada akhirnya Tio tau kenapa wajah Leony berubah macam orang keracunan. Biasanya ada senyum serta kata-kata yang tampak tegas serta enggak ada keraguan di dalamnya. Matanya juga jarang dialihkan kecuali menatap lawan bicaranya dengan tajam. Tipe asisten yang kredibel di bidangnya dan Tio menyukai cara kerja Leony. Makanya Sang ibu menerornya. “Jangan ganggu Ony, Ma.” Kali ini Tio benar-benar meminta. Enggak perlu dengan nada yang terlalu rendah, tapi nada seorang anak yang tak ingin sesuatu terjadi lebih jauh nantinya. “Dia yang tau selera kamu, kan?” Tio memejam pelan. “Dia hanya tau luaran selera aku, Ma.” Saat itu lah matanya bertemu dengan Leony yang masuk ke dalam ruangannya. Tersenyum tipis di mana tangannya mendekap beberapa berkas yang memang dibutuhkan. “Dia enggak tau, inginnya aku mengenai perempuan seperti apa.” Segera ia matikan sambungan ponselnya. Diletakkan begitu saja di meja berlapis kaca. Tak peduli kalau nanti sang ibu mengocehinya macam-macam. “Maaf kalau saya ganggu Bapak,” kata Leony pelan. “Saya enggak tau kalau Bapak lagi terima telepon.” “Biasanya lah.” Ia mengibas pelan. “Sudah kamu sortir belum?” Leony tanpa ragu mengangguk. “Saya juga tandain bagian yang menurut saya terkait sama laporan kemarin, Pak.” Tio mengangguk. Ia kesampingkan dulu mengenai ide gila sang ibu di mana melibatkan Leony. Ingin rasanya banyak bertanya tapi berkas di depannya jauh lebih penting. Yang ia lakukan demi keberlangsungan Faldom saat nanti RUPS berlangsung. Selama ini ia bukan tak mau meneliti berkas lama, tapi banyak sekali yang harus ia kerjakan demi berlangsungnya perusahaan ini. Banyak yang menggantungkan hidupnya di Faldom. Meski masih skala nasional, tapi tangan dingin Abyan serta kebijakan dan strategi marketing yang Azkia kerahkan di sin membuat Faldom termasuk perusahaan yang cukup diperhitungkan. Itu lah yang membuatnya jangan pecah konsentrasi membawa Faldom terus melaju. Baru satu tahun belakangan ini ia terusik. Ah … mungkin dua tahun kala berhadapan dengan kebijakan yang dikemukakan salah satu komisaris yang ada. Ada dua atau tiga jam berlalu di mana pembahasan mereka berdua berlangsung cukup memusingkan. Banyak catatan yang Leony buat. Banyak juga kerutan di dahi Tio saat mengetahui kenyataan yang ada. Bodoh sekali di saat dirinya baru mengetahui hal ini. Tapi kenapa semua aliran dana yang ada, selalu ada persetujuan Abyan? “Kopi, Pak?” tawar Leony seraya menghela pelan. Kalau boleh jujur, kepalanya pusing bukan kepalang. Matanya sampai mengerjap berulang kali mengusir bayang angka yang belum bisa menghilang dengan cepatnya. Kacamatanya sudah ia lepaskan sejenak. agak buram juga menatap Tio. “Capek, ya?” “Lumayan, Pak,” sahut Leony dengan tawa. “Tapi ada banyak yang meski saya telaah lebih jauh untuk dirangkum ke Bapak.” “Akan jadi hari yang panjang, Ony.” Leony tersenyum. “Saya pesankan kopi seperti biasanya? Sepagian ini Bapak baru minum satu cangkir. Saya beri kelonggaran, deh.” Tio tertawa. “Sehari kamu jatah saya dua cangkir aja, Ony. Baru satu, kan? bukan longgar namanya. Memang jatah saya.” Masih dengan senyum, Leony memainkan jemarinya pada layar ponsel. Fokus di sana untuk memesan kopi di kafe langganaan Tio. Namun sejurus kemudian, senyum itu lenyap. [Nyonya Besar : Kalau yang ini menurut kamu gimana? Saya butuh saran kamu segera Ony. Ini demi Tio.] *** Leony minta adik tengahnya untuk memasang lampu depan yang lebih terang. Selain dirinya masih suka merasa gemetaran karena kegelapan, ia juga butuh melihat jelas sekitaran rumah. Bukan takut ada maling, rumah yang kalau Leony bilang tinggal tunggu rubuh, tapi hanya ini satu-satunya rumah yang bisa ia tinggali. Ah … keluarganya juga, sih. “Kak!” sapa Haikal begitu melihat Leony masuk ke dalam rumahnya. Senyum Leony terbit dengan lebarnya. “Abang belum pulang?” Leony terbiasa memanggil adik tengahnya dengan sebutan Abang. “Sudah. Tapi hari ini ada kuliah sore. Pulang untuk ganti lampu aja takutnya Kakak pulang.” Dirangkulnya Haikal dengan segera. rambut ikal adiknya itu ia berantaki. Meski cemberu tapi sang adik langsung mengambil koper Leony dan membawanya. Langkah mereka masuk ke dalam rumah di mana sang ibu duduk bersila tangan. Blouse dengan renda indah, warna kuning gading lembut, di mana ibunya juga agak merias wajahnya. “Mama mau ke mana?” Sang ibu, Seraphine Salsabilla, tersenyum lebar. “Mama ada undangan makan malam.” Leony memejam sejenak. “Oke. Happy waiting.” Ia pun menghampiri ibunya. mengecup singkat pipi sang ibu. Sebenci apa pun ia pada tingkah ibunya, wanita ini yang membesarkannya sampai detik ini. Ia hanya … terlalu terkejut dengan kenyataan yang ada. “Jangan lupa besok kamu bayar listrik, Ony. Tenggat terakhir besok sore jam lima.” “Iya, Ma.” Haikal yang sejak tadi melihat interaksi mereka, hanya melirik sedih. Tapi langkahnya terus mengikuti Leony ke kamarnya. Enggak memperbolehkan sang kakak menenteng kopernya. Katanya, “Aku mau bantu, Kak.” “Sudah makan?” Leony menyalakan semua penerangan di kamarnya. Meski kamar ini enggak begitu luas, enggak punya ranjang besar seperti yang semingguan ini ia tempati, enggak terlalu harum pewangi ruangan yang per sepuluh menit sekali menyemprotkan aroma yang menyegarkan, tapi inilah hidupnya. “Sudah tadi. Abang beli lauk di warung depan. Mama enggak masak, tapi enggak keluar rumah juga, sih.” “Makasih, ya, Haikal sudah jadi anak yang baik. Mau jaga Mama.” Haikal menatap kakaknya dengan sendu. “Kakak … kenapa selalu berpura-pura?” Leony melipat senyumnya dengan segera. “Enggak. Kakak capek, kok. Kakak kesal, marah, benci, enggak terima, tapi enggak bisa membiarkan semua yang ada begitu saja.” Ditepuknya pelan bahu Haikal. Ia pun berjalan menuju ranjangnya yang masih tersusun tapi. “Sini duduk sama Kakak.” Haikal yang masih merengut, tapi enggak mau membantah. Di matanya, Leony sosok yang sangat keren. Ucapannya akan selalu ia turuti. Bukan ibunya. “Sekolah kamu gimana?” “Gitu lah. Aku enggak bolos, aku berusaha fokus sama penjelasan. Aku harus kayak Abang dan Kakak.” “Good boy.” Leony tersenyum bangga. “Kakak bakalan berjuang keras sampai kalian selesai kuliah. Jangan pernah takut bermimpi besar, ya.” “Iya, Kak.” Haikal memeluk kakak sulungnya penuh sayang di mana mendadak mereka terinterupsi dengan kedatangan Hari. ia membawa satu tentengan paper bag. “Welcome home, Kak.” Meski … terkadang Leony lelah harus membiayai mereka, tapi tak bisa dipungkiri. Dengan siapa mereka bergantung. Ibunya? Tak akan mungkin. Ketimbang ia sering bersuara menyatakan keberatannya mengenai mereka berdua yang kadang cuek, lebih baik ia bersyukur masih bisa bersama seperti sekarang. “Kak, hapenya getar terus. Siapa, sih?” Haikal bersuara jadinya. Ucapan itu membuat Leony sedikit mengurai pelukannya. Ia ambil ponsel yang ada di tas tentengnya. Nama Nyonya Besar muncul di sana. “Ya, Bu?” “Kamu sudah pilihkan, kan?” Leony menghela pelan. “Ada empat kandidat yang sesuai dan sudah saya hubungi juga. Jadwalnya tiap seminggu sekali, saya perkenalkan. Tapi berjeda karena Pak Tio banyak jadwal yang harus saya sesuaikan.” “Kamu yang atur lah itu saya enggak paham. Yang jelas, saya mau Tio datang ke kencan buta itu. Jangan sampai enggak.” “Iya, Bu.” “Pastikan dia datang, Ony,” kata Suny penuh peringatan. “Ini demi Naina juga.” Kadang, Leony bingung dengan pemikiran seperti ini. Bukan dirinya enggak mau repot mengurus masalah perjodohan sang bos. Tapi Naina? Rasanya sejak kemarin, gadis itu enggak lagi membahas masalah Mami berambut merah lagi. “Iya, Bu, saya usahakan yang terbaik dari semua daftar yang ada.” “Responnya Tio mau, kan? Kamu sudah bilang, kan?” “Sudah, Bu. Tapi Bapak memang masih keras menolak. Tapi saya coba bicara dengan Non Naina. Kuncinya ada di sana, kan, Bu?” “Nah! Kamu benar banget. Duh … Tio dan Naina beruntung punya kamu. Pilihkan yang terbaik untuk mereka, ya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD