[11] Selimut itu Musuh

2157 Words
“Lho? bapak enggak ke kantor? Nyonya sama Non Nai sudah berangkat.” Wanita paruh baya yang dipercaya mengurus rumah yang didominasi warna putih ini menatap tak percaya ke arah majikannya. Yang mana datang dengan wajah semringah. Kemejanya tak dikancing sempurna tapi terlihat keren dan meski wibawanya sedikit turun. Jas Armany-nya ia tenteng begitu saja. Ia berhenti sembari menatap Muji, tersenyum tipis. “Saya kerja di ruang kerja saja. Siapkan kopi, ya, Bu. Nanti kalau ada tamu datang, suruh langsung masuk ke ruangan saya aja. Oiya, minta Pak Karyo siapkan alat presentasi di ruang tamu. Saya mau meeting.” Muji yang heran tapi tak bisa membantah sama sekali ucapan sang bos pun bergegas melakukan apa yang diminta. Padahal niatnya baru saja akan mengetuk kamar tempat di mana seorang tamu sejak beberapa hari lalu ada di sini. Ia sama sekali tak keberatan karena sang tamu menyenangkan selama tinggal di sini. Suasana rumah juga enggak muram seperti biasanya. Terutama nona mudanya yang tampak lebih ceria dan jarang sekali emosi serta berteriak kesal. Wanita itu pokoknya jalan agak buru-buru. Karena suasana hati sang tuan juga membuat perasaannya jauh lebih lega. Jadinya rumah ini enggak melulu berisikan kemuraman serta sendu belaka. Nyonya besar juga. Malah enggak banyak berdebat dan mengeluh mengenai cucu semata wayangnya. Biasanya Muji sampai ingin sekali menyampaikan isi hatinya terkait sang nona muda. Naina itu hanya gadis kecil yang kesepian. Ia berlaku egois karena enggak ada yang bisa diajak bicara. Enggak ada yang memperhatikannya dengan demikian dekat. Andai ada seseorang yang selalu di sisinya, mungkin menggantikan posisi ibu atau orang tuanya, pasti Naina bisa dikendalikan. Malah bisa jadi, anak itu tumbuh menjadi anak yang manis dan pintar. Muji akui kalau Naina itu pintar, kok. Persis seperti ayahnya, Tuan Abyan. Kecantikan yang Naina punya, padahal ia masih dua belas tahun pun secara langsung diturunkan dari Nyonya Azkia. Muji belum lupa bagaimana kedua orang tua itu semasa hidupnya. Jika mengingat mereka, mendadak juga Muji menjadi sedih. “Namanya umur enggak ada yang tau,” lirihnya pelan. “Bi Muji,” panggil Tio sedikit berteriak karena wanita paruh baya itu hampir saja menghilang di balik koridor arah ke dapur. “Ony tidur di mana?” Wanita itu mengerjap pelan namun sejurus kemudian, ia menunjuk ke arah yang berlawanan. “Di kamar tamu bagian kanan, Tuan.” Kening Tio berkerut. “Kenapa enggak kamar tamu di area ini?” “Non Leony enggak mau. Katanya di sana lebih nyaman.” Tio berdecak kesal jadinya. Rumah bagian kanan itu jarang ditempati. Area pertamanan di rumah ini kebanyakan adanya di bagian kanan. Ada satu kamar yang memang menurutnya paling bagus untuk sebuah kamar tamu. Kamar yang dulunya ia tempati tiap kali menginap di rumah sang kakak. Tapi sekarang, Tio lebih memilih kamar yang ada di samping Naina. Sekalian menjaga anak itu, kalau ia pulang. Yang mana jarang sekali dilakoni lantaran sibuk mengurus Faldom. “ “Di kamar mana?” tanya Tio sekali lagi. untuk pertanyaan kali ini, Muji terdiam. Membuat Tio menyadari pastinya kamar itu dibuka untuk Leony. “Siapa yang suruh Ony tidur di sana?” “Nona bilang mau tempat yang tenang untuk bekerja. Nyonya Besar minta saya rapikan kamar itu.” “Ya sudah. Siapkan kopi aja, Bi. Sudah buat sarapan belum? Kalau sudah sekalian antarnya ke kamar itu saja.” “Baik, Tuan.” Muji tepuk jidat. Ia lupa, tak seharusnya kamar itu ditempato orang lain kecuali sang pemiliknya. Ia pikir, Tio sudah tak lagi menggunakan kamar lamanya. Kamar yang agak susah perawatannya karena sebagian besar terdiri dari kaca. Ranjang besar yang ada di sudut ruang kamar yang cukup luas itu menghadap ke kaca di mana pemandangan taman yang indah sebagai sajiannya. Tak perlu dibuat pekarangan kecil sekadar untuk menikmati area hijau yang diseling banyak bunga di sana. Sementara itu langkah Tio terus mengarah pada tujuannya. Melewati koridor yang mana terdapat beberapa lukisan serta area kolam renang di sisi kanan, ia tak menghentikan gerak kakinya. Begitu tiba tepat di depan pintu berukiran indah, cat cokelat tua yang masih terawat sampai detik ini, senyumnya mendadak terbit. Pelan, ia memutar handle di mana … “Astaga, Ony!” desisnya kesal. Ia berusaha untuk sepelan mungkin masuk ke dalam kamar yang ternyata tidak dikunci ini! Apa gadis itu tak tau betapa berbahayanya kamar yang tak terkunci? Kalau ada seseorang yang berniat jahat pada Leony? Bagaimana cara gadis itu melindungi diri? Etapi … bukankah seharusnya ucapan itu untuknya? Kenapa dirinya masuk tanpa izin? Enggak ketuk terlebih dahulu pula. Main masuk seolah ini kamarnya. Namun kalau dipikir, memang ini bekar kamarnya, kan? Kenapa ia harus izin? Alah! Tetap saja seharusnya Tio enggak seperti ini. Gadis itu masih bergelung dengan selimut. Mata Tio mengedar dengan cepat di mana meja berisi tumpukan berkas tersusun rapi. Tas kerja Leony juga ada di sisi tumpukan file tadi. ponselnya tergeletak di nakas dengan kabel terpasang pada bagian benda pipih tersebut. Koper besar yang pasti berisi pakaian Leony ada di sudut lainnya. Tak ada yang berantakan bahkan dua buah sepatu hak tinggi milik asng asisten, terjajar rapi di dekat meja. Lamput tidurnya masih menyala. Gorden tinggi yang menutup area jendela kaca kamar ini masih tertutup sempurna. temaram dan nyaman sekali di sini. Makanya Tio betah tidur di kamar ini karena selain tenang, bisa ia jadikan tempat melepas kepenatan selama beraktifitas di luar. Bahkan sampai saat di mana ia gantikan posisi sang kakak dengan terpaksa, kamar ini masih sering ia gunakan untuk tidur. Karena Naina memintanya pindah, ia turuti karena merasa kasihan juga. Tak ada yang berubah dari interior di kamar ini. termasuk … mata Tio terbeliak hampir loncat saking terkejutnya. Ia pun buru-buru melangkah tanpa memerhatikan sekitar yang mana menjadi kesialan tersendiri untuknya. Kakinya yang malang, wajah tampannya yang ia sayang, harus rela menyentuh lantai meski beralas karpet hangat. “ADUH!!!” pekiknya. Di mana suara itu segera membuat Leony terbangun. Ia pun menyibak selimut dengan segera serta buru-buru memperhatikan sekitar. Pintu kamarnya terbuka lebar. Sama seperti matanya yang mendadak ketakutan siapa tau ada yang menyusup ke dalam. “Siapa itu?!” tanyanya dengan lantang meski rasa khawatir dengan cepat menguasainya. Saat mata mereka akhirnya bertemu, “Bapak ngapain di sini?” “Kamu enggak ada niat bantuin saya, Ony? Kaki saya sakit.” “Ya kenapa bisa sakit coba?” Leony masih belum percaya apa yang ditangkap matanya. Sang bos duduk di sisi ranjangnya sembari meringis kesakitan. Tangannya memegangi kakinya entah karena apa. Wajahnya sendiri tanpa kesal tapi juga malu? Leony tak tau apa Tio punya malu atau tidak. “Ambilkan saya obat kompres, Ony. Kaki saya sakit banget.” Leony pun bergegas turun dari ranjangnya. Menyingkirkan selimut yang membelitnya dengan segera di mana … “Bapak!!!” “Ony! Astaga!” “Bapak? Nona?” Muji benar-benar terkejut dengan apa yang ia lihat. Leony jatuh tepat di atas Tio. Entah ini ada acara tindih menindih atau bagaimana, yang jelas mereka berdua sangat dekat. Hampir saling memeluk satu sama lain. Sndai tadi ia tak masuk, tapi masa iya dirinya enggak buru-buru masuk ke dalam kamar yang terbuka ini? Sudah ia mendengar ada yang berteriak, ditambah sekarang suaranya Leony semakin keras. Takutnya terjadi sesuatu, kan? Ternyata benar. Ah … sayang, Nyonya Besar enggak melihat pertunjukan ini. Di mana sepertinya, Muji lebih baik keluar, kan? *** “Kenapa kamu cemberut gitu?” tanya Tio dengan decakan sebal. Ekor matanya melirik kea rah Leony yang duduk di sampingnya. Meski begitu, mereka tak dekat, ada jarak yang cukup jauh di antara mereka. “Siapa yang cemberut?” “Seharusnya saya yang marah sama kamu, lho. Sudah saya jatuh, kamu tindihin. Definisi sudah jatuh tertimpa beban berat juga.” Ini Leony boleh enggak, ya, mencabik mulutnya si Raptor? Sejak kapan, sih, Raptor ini kalau bicara enggak pakai dipikir? Tapi kalau ditelaah, apa yang terjadi tadi memang benar adanya. Leony jadinya penasaran. “Kenapa Bapak bisa jatuh tadi?” Nah! Giliran Tio yang enggak mau bersuara. “Sudah. Kamu ambilkan saja berkas yang mau saya pelajari.” “Semalam sudah saya email keseluruhan laporannya, Pak. Bapak tinggal print aja.” Leony mengerjap bingung jadinya. “Bapak juga ada meeting pagi ini, kan?” “Saya batalkan.” Tangan Tio tetap mengarah pada Leony. “Cepat, Ony. Saya butuh pelajari sekarang.” “Memang Bapak sudah sarapan?” Meski berdecak kesal, Leony tetap mengarah pada tumpukan file yang memang sudah ia persiapkan. Sejak kejadian tadi, tak ada yang bicara kecuali mengajak wanita yang Leony kenali sebagai pelayan utama di rumah ini. beberapa perbincangan terjadi sekadar untuk menutup gugup saja. Jangan dikira Leony enggak kalang kabut! Ia belum pernah sedekat itu dengan bosnya Sampai ia bisa merasakan bagaimana detak jantung pria itu. astaga! Kalau bisa memutar waktu, ia mau dikembalikan sesaat setelah bangun. Ia harus berhati-hati karena selimut! Sepertinya ia harus menambah daftar musuh dalam hidupnya. Yang utama adalah selimut. “Belum, lah. Dari mana saya sudah makan? Saya ke sini niatnya mau ambil berkas aja tanpa ganggu kamu. Tapi kenapa saya sial banget, segala kesandung kaki-kaki ranjang?” Tio mendengkus. Matanya kembali melirik pada kakinya yang agak memerah. “kalau kaki saya pincang? Bagaimana coba?” Leony menghela sejenak. Kadang bosnya ini terlalu berlebihan kala menanggapi sesuatu. Seperti sekarang. di mana kakinya masih utuh, tak ada luka satu pun, hanya agak memerah karena sandungan tadi. Tapi Leony perhatikan, Tio jalannya masih sempurna, kok. Enggak perlu alat bantu atau malah ke rumah sakit. “Itu karena Bapak masuk ke kamar tanpa izin.” Leony pun meletakkan berkas yang sudah ia print dan susun dengan rapi di meja yang ada. “Ini kamar saya, ya.” Gerak Leony yang akan mengambil baki sarapan yang sudah Muji bawa, terhenti begitu saja. Ia menatap Tio dengan pandangan tak terbaca. “Serius?” “Kenapa saya mesti bohong?” Tio memilih menyamankan duduknya. “Siapkan saya sarapan, Ony. Pertu saya harus diisi karena banyak agenda penting hari ini.” Leony masih belum mau melepaskan matanya dari Tio. “Ony, please. Hurry up! Saya enggak suka kalau lambat.” Gadis yang masih mengenakan piyama berbahan satin itu masih belum mau beranjak dari posisinya. Piyama yang Leony pakai enggak lengan pendek atau memamerkan bahunya, kok. Leony lebih suka yang tertutup rapat dan berlengan panjang. Jadi ia tak khawatir saat menyibak selimut tadi. “Kalau Bapak sibuk, kenapa pulang?” Tio menatap lekat asistennya itu. Yang mana menurutnya pagi ini, agak manusiawi lantaran melepas kacamatanya. Rambut panjangnya tergerai berantakan. Wajahnya belum diberi pemulas apa pun. Natural sekali. Sayangnya pipi Leony entah kenapa makin tirus. “Saya harus pastikan kamu dapat cuti yang tepat.” Tio belum tuli, kok, saat mendengar decakan sebal dari Leony. Tampak penuh hati-hati gadis itu membawa nampan, matanya berulang kali berusaha untuk fokus. Hal ini membuat Tio bergerak cepat. “Biar saya yang bawa. Kacamata kamu di mana?” Leony terkesiap. Saat nampan yang ia bawa, diambil alih oleh Tio. Mau ditepis tapi ia juga takut semuanya tumpah berantakan. Yang ada mereka tak jadi sarapan. Ah … kacamatanya kalau tidak salah ada di meja yang terletak di samping ranjang. “Ony?” “Mau ambil kacamata, Pak.” Leony berkata dengan senyum tipis. “Bapak sarapan aja dulu. Apa ada yang kurang? Saya ambilkan di dapur?” “Kacamata kamu di mana memangnya?” “Di sana,” tunjuk Leony dengan polosnya. Di mana tempat yang ia tunjuk, adalah tempat di mana foto-foto Tio terpajang rapi di sana. Hal itu membuat Tio melotot tak percaya menatap Leony. “Kamu … perhatikan foto itu juga?” “Iya.” Leony mengangguk dengan lugunya. “Astaga!” Tio tepuk jidak. “Memalukan!” Ia pun bergegas menuju nakas tempat di mana foto masa kecilnya terpajang di sana. “Harus disembunyikan.” Leony terbahak heboh jadinya. “Jadi karena itu Bapak jatuh?” “Apalagi?” kata Tio dengan decak sebal. Ia pun dengan cepat melewati Leony. Lebih baik dirinya yang mengambilkan kacamata itu serta menyembunyikan foto yang menurutnya tak perlu Leony tau. kenapa juga ia lupa menyingkirkan foto itu, sih? “Padahal Bapak lucu banget, lho, di sana. Chubby pipinya. Pengin nyubit karena gemes. Kenapa sudah sedewasa ini malah menyebalkan, ya?” Ucapan itu membuat Tio menoleh. “Bicara apa kamu?” Enggak. Tio enggak marah. Ia merasa, Leony kali ini berbeda sekali dengan keseharian yang biasanya. Apalagi garis tawa gadis itu tampak berbeda. “Saya enggak bicara apa pun, Pak. hanya mengomentari foto masa kecil Bapak yang menurut saya menggemaskan. Mirip Naina versi lelaki dan agak chubby.” “Begitu?” Leony tanpa ragu mengangguk. “Niatnya saya mau sembunyikan. Atau … biarkan saja?” “Senyamannya Bapak saja. kalau menurut Bapak, saya seharusnya enggak melihat foto itu. Saya lupakan foto itu, kok.” “Kalau menurut saya, enggak masalah untuk kamu tau?” Tio melangkah mendekat pada Leony. Gadis itu juga seperti biasanya. Jarang mundur saat Tio mendekat baik kala marah, bicara, memberi arahan, atau sekadar saat Tio berdiskusi panjang dengannya. “Saya simpan di memori terdalam, kalau Bapak pernah menjadi sosok menggemaskan. Yang berganti menjadi sosok yang mengagumkan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD