Symphony-14

1375 Words
Syfo merasa permintaan maaf dan penyesalan yang diucapkan oleh Sagara terkesan terlalu berlebihan. Kesalahannya juga terlalu sederhana sampai-sampai harus tidak mendapatkan maaf. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Syfo. Sebenarnya dia sudah tidak mempermasalahkan soal kejadian hari itu lagi. Dia hanya pura-pura saat mengancam Sagara tadi. Tentu saja dia tidak akan melakukan hal seperti yang dikatakan dalam ancamannya tadi. Karena Sagara sendiri menyimpan kartu As yang dapat melemahkan posisinya. Dia tidak ingin Sagara nanti malah justru balik menyerangnya, kalau dia benar-benar melakukan ancaman tadi.  “Iya, saya sudah memaafkan kesalahan kamu,” jawab Syfo akhirnya sambil melempar senyum pada Sagara.  Sagara membalas senyum itu dengan senyum pilu. Lidahnya terasa kebas untuk melanjutkan obrolan. Dia merasa seperti pecundang saat ini. Dan dia tidak ingin berlama-lama di tempat ini.  "Aku pamit dulu ya, tante," ujar Sagara buru-buru bangkit dari sofanya.  Syfo yang menyadari pergerakan Sagara ikut bangkit dari Syfo. "Kamu mau ke mana? Kayaknya buru-buru banget?" tanya Syfo.  "Aku mau menemui Tante Melo. Lagipula kalau aku berlama-lama di sini akan mengganggu waktu istirahat Tante Syfo."  Syfo tersenyum lembut. "Nggak ganggu kok," jawabnya. "Oiya, kebetulan kamu ada di sini, saya pengen lihat kepandaian kamu dalam bermain piano."  Sagara terdiam sejenak sebelum akhirnya dia mengangguk dan mengikuti langkah Syfo menuju ruang sunyi.  “Tante Syfo yakin mau dengar permainan pianoku?” tanya Sagara ragu.  Syfo mengangguk yakin lalu meminta Sagara duduk di bangku kecil depan sebuah piano klasik yang cukup mewah untuk ukuran Sagara. Syfo melangkah menuju lemari kecil yang terletak di dekat pintu. Dia mengambil sebuah buku berisi kumpulan sheets music lalu meletakkan di depan Sagara.  “Ayo! Tunggu apa lagi?” tanya Syfo saat Sagara menoleh padanya.  Sagara melakukan pelemasan pada kesepuluh jarinya. Setelah menarik napas panjang Sagara mulai menekan tuts piano. Awalnya hanya terdengar seperti intro sebuah lagu. Sedetik kemudian intro itu berubah menjadi gabungan nada-nada yang membuat Symphony tertegun.  Symphony sebenarnya hanya ingin menikmati permainan piano Sagara sambil duduk di sofa. Namun tanpa sadar dia berdiri lalu berjalan ke arah Sagara yang masih fokus memainkan piano. Permainan piano Sagara seolah menjadi magnet tersendiri yang mampu menarik perhatian Symphony untuk mendengar sekaligus melihat lebih dekat.  Saat Sagara telah mengakhiri permainan pianonya, Syfo masih terpaku di samping piano sambil menatap laki-laki berusia sepuluh tahun lebih muda darinya itu.  “Kamu pernah les piano?” tanya Syfo heran. Sagara menggeleng. “Tidak terlalu buruk untuk orang yang tidak pernah mendapat pelatihan khusus dalam mendalami alat musik serumit piano,” komentar Syfo heran.  Sagara menunduk seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia mengartikan pertanyaan Syfo sebagai pujian untuknya. Dan kini dia sedang salah tingkah karena dipuji oleh wanita yang selama ini dikaguminya.  “Tante Syfo bisa aja. Permainan pianoku biasa aja. Masih banyak yang lebih hebat dari aku,” jawabnya malu-malu.  “Tentu saja banyak yang lebih hebat daripada kamu. Tapi mereka sudah melewati puluhan bahkan ratusan jam bersama piano dan menghapal sheets music dengan berbagai tingkat kesulitan,” ucap Syfo masih dalam pengaruh kekagumannya pada permainan piano Sagara.  “Kamu yakin nggak pernah ikut les piano?” tanya Syfo tidak percaya. Lagi-lagi Sagara menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan Syfo.  Syfo tercengang dengan jawaban sederhana Sagara. “Dani saja yang pernah menjalani pelatihan khusus piano nggak bermain sebaik kamu. Bahkan Melody yang jelas-jelas dialiri darah seni dari ibunya, tidak mampu bermain piano dengan benar.” Sagara merasa pipinya benar-benar panas saat ini. Bahkan dia yakin warna pipinya kini sudah berubah merah seperti kepiting rebus. Dia hanya mengangguk tanpa mengerti harus menjawab apa semua pujian yang diberikan oleh Syfo padanya.  “Oh iya, Bukannya waktu itu kamu pernah bilang lebih mendalami biola ketimbang piano?” “Aku pernah belajar organ dan juga keyboard saat bekerja paruh waktu untuk membersihkan barang-barang di toko alat musik nggak jauh dari sekolahku.” Syfo mengangguk paham. “Lalu dari mana kamu bisa membaca sheets music untuk permainan musik piano seperti ini?” “Dari Youtube. Kalau lagi santai aku sering lihat video-video tutorial bermain piano dari Youtube. Dan kalau punya waktu senggang lebih banyak, aku mampir ke toko alat musik tempat aku bekerja paruh waktu dulu untuk mengulang kembali video tutorial yang sudah aku download dengan organ yang ada di toko itu. Meski organ milik bapak tua itu sudah seumuranku, masih bisa dimainkan.”  Lagi-lagi Syfo hanya mengangguk paham. “Apa itu menyenangkan? Kamu nggak pernah merasa bosan dengan apa yang kamu lakukan?” tanya Syfo kemudian.  Sagara menggeleng ragu. “Kenapa aku harus merasa bosan saat melakukan hal yang aku suka?” tanyanya merasa aneh pada pertanyaan yang dilontarkan oleh Syfo.  “Kamu benar juga,” jawab Syfo. “Kalau kamu mau menemui Melody, kamu bisa pergi sekarang. Maaf ya, saya sudah mengganggu waktu kerja kamu,” sambungnya.  “Kalau boleh, aku juga pengen dengar Tante Syfo bermain piano.” Syfo tampak berpikir sejenak. Dia lalu meminta Sagara bergeser sedikit untuk memberikan ruang duduk padanya. Tanpa banyak tanya Sagara melakukan apa yang diminta oleh Syfo. Beruntung Syfo tidak bisa mendengar debaran jantung Sagara yang meningkat berkali-kali lipat saat mereka berdua duduk berdekatan seperti ini.  Sagara menatap wajah Syfo yang tengah menikmati permainan pianonya sendiri. Saat kedua mata Syfo sedang terpejam Sagara mengambil kesempatan untuk menatap Syfo dari ujung rambut hingga kaki dari jarak sedekat ini. Tatapan Sagara berhenti pada ibu jari Syfo yang gemetaran saat menekan tuts piano.  “Tante Syfo sakit?” tanya Sagara setelah Syfo menyelesaikan permainan pianonya.  “Saya tadi sudah bilang hanya sedang tidak enak badan.” “Bukan itu. Maksud aku...” Sagara tidak melanjutkan ucapannya. Yang dia lakukan malah menunjuk ke arah tangan Syfo.  “Oh, ini,” jawab Syfo sambil menunjukkan ibu jari lentiknya. “Iya saya mengalami tenosynovitis. Saya pernah menjalani pengobatan bahkan sampai ke luar negeri, tapi nggak ada hasil. Saya terlalu keras dalam latihan piano karena saya ingin menjadi sehebat ibu saya dalam dunia orkestra. Tapi mimpi saya harus musnah karena tenosynovitis yang saya derita sudah terlalu akut, membuat saya nggak bisa bermain piano lebih dari lima belas menit. Ditambah lagi kejadian mengerikan yang terjadi di depan mata dan merenggut nyawa ibu saya. Padahal waktu itu saya akan mengikuti sebuah kompetisi piano.”  “Kejadian apa? Kecelakaan?”  “Kecelakaan mobil. Sejak itu saya memutuskan untuk berhenti bermain piano secara profesional. Sampai saat ini saya bermain piano karena hobi saja. Dan juga cara saya menyampaikan rasa rindu pada ibu saya.” Syfo lalu menceritakan kejadian mengerikan yang dimaksudnya tadi, tapi versi yang beredar di publik. Mobil yang ditumpangi mendiang ibu Syfo mengalami tabrak. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Kejadian yang sebenarnya adalah kecelakaan pada hari itu terjadi karena kelalaian Luthfi dalam mengendarai mobil sehingga menyebabkan nyawa orang lain melayang. Sampai detik ini tidak ada yang tahu kejadian sebenarnya selain Syfo, Luthfi dan mendiang papanya karena orang-orang yang kebetulan tahu sudah diberikan uang tutup mulut yang jumlahnya lebih dari cukup. Ketiganya sepakat untuk menganggap bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh orang lain, lalu melupakannya bersama-sama. Hal tersebut dilakukan oleh mendiang papanya Luthfi untuk menghindari tuntutan dari pihak berwajib, lalu membuat Luthfi harus diseret ke meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Syfo sudah memaafkan kelalaian Luthfi hari itu. Dia menganggap kalau kejadian itu murni karena takdir Tuhan. Dulu Luthfi harus kehilangan ibunya karena kehadiran ibu Syfo sebagai orang ketiga dalam rumah tangga orang tua Luthfi. Dan ketika Tuhan mengambil nyawa ibunya melalui tangan Luthfi, Syfo tidak merasa harus marah besar. Dia hanya merasa sedih karena kehilangan ibu. Namun kesedihan Syfo benar-benar tergantikan dengan perhatian dan kasih sayang Luthfi yang luar biasa padanya dan juga Melody. Syfo beranjak dari kursi yang sejak beberapa menit lalu didudukinya bersama Sagara. Dia merasakan perasaan yang tidak biasanya dia rasakan saat berhadapan dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan kerabat dengannya. Baru kali ini dia membicarakan kejadian buruk dua puluh tahun silam pada orang lain yang tidak memiliki hubungan keakraban dalam bentuk apa pun dengannya. Bahkan orang-orang terdekatnya tidak ada yang pernah membahas lagi soal kejadian naas itu. Tidak ingin membuka rahasianya pada Sagara, Syfo lalu menepuk pundak Sagara dan memintanya untuk keluar dari ruang sunyi sekaligus rumahnya saat itu juga dengan alasan dia ingin istirahat.  ~~~ ^vee^ De Quervain's tenosynovitis atau de Quervain syndrome adalah rasa sakit disertai pembengkakan di pangkal ibu jari dan pergelangan tangan. Rasa sakit ini disebabkan oleh peradangan pada selubung tendon yang terletak di pangkal ibu jari
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD