-----
Author Pov
-----
Vallery membanting tubuhnya di kasur apartement miliknya, ia merasa sangat lelah hari ini. Ia memejamkan matanya, mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Ketika Brian mengucapkan nama seorang wanita saat ia berada di pelukan pria itu, entah mengapa hal itu membuat hati Vallery terasa sakit dan saat ini ia sedang berfikir, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
"Ada apa dengan ku?" Vallery bangkit dari tidur nya lalu menekan dadanya.
Apa aku jatuh cinta padanya? Vallery kemudian tertawa, tertawa yang dipaksakan. Ia teringat bahwa Brian sempat berkata bahwa ia memiliki tunangan, dan mungkin nama yang Brian sebutkan beberapa jam yang lalu adalah nama tunangannya.
Fuck! Kau benar-benar keterlaluan, Vallery. Bagaimana bisa kau mencintai seseorang yang telah bertunangan? Tanyanya pada diri sendiri. Ia menggelengkan kepalanya menepis perasaan itu. Vallery kembali merebahkan tubuhnya dan tertidur.
•••VB•••
Vallery membuka matanya yang terasa perih.
"Kau sudah bangun?" Vallery terkejut dan mendapati Ruberta tengah duduk di sofa yang ada di samping tempat tidur nya.
"Sejak kapan kau di situ?" Vallery menaikkan salah satu alisnya lalu duduk menyandar di ujung tempat tidur.
"Setengah jam yang lalu." Vallery melihat wajah Ruberta seperti sedang marah.
"Kenapa wajahmu seperti itu?" tanya Vallery dengan heran melihat wajah Ruberta yang ditekuk.
"Kau masih duduk santai di situ sedangkan kita sudah terlambat setengah jam? Apa kau lupa kita ada acara pagi ini?" Vallery lalu menoleh ke arah jam yang ada di nakas, jam menunjukkan pukul sembilan pagi. Vallery memutar bola matanya.
"Sudah ku katakan aku tidak mau melakukan hal itu," ucap Vallery kesal.
Ruberta melipat kedua tangannya di depan d**a. "Selain model kau juga dancer, Vallery!" Ruberta terlihat sangat marah.
"Okay, aku mau jika hal itu dilakukan di dalam ruangan, bukan di luar ruangan apalagi di depan public, oh yang benar saja kau ini. Mau ditaruh dimana wajahku?" Vallery terlihat frustasi mendengar perkataan Ruberta.
"Kau sudah membacanya di kontrak dan kau dengan sadarnya menandatangani kontrak itu, sekarang bagaimana bisa kau berkata seperti itu, Vallery?!" Sekarang Ruberta yang terlihat frustasi.
Vallery mengangkat kedua bahunya "Kalimat di kontrak itu terlalu panjang dan aku malas untuk membacanya, jadi aku langsung tanda tanda tangan saja."
Mendengar perkataan itu Ruberta langsung bangun dari duduk nya. "Vallery!" Ia menggeram namun terlihat menggemaskan di mata Vallery.
Vallery tertawa dan hal itu membuat Ruberta semakin kesal. "Okay, okay." Vallery bangkit dari tempat tidur nya dan berjalan menuju kamar mandi.
-----
Jack Pov
-----
Aku melihat Vallery berjalan keluar dari loby apartement nya, selama ini aku memata-matainya, aku merasa bersalah saat aku meninggalkan Vallery dua tahun yang lalu. Aku melupakan semua janji yang ku katakan padanya saat kita masih bersama, aku tahu bahwa aku salah, tidak seharusnya aku pergi meninggalkannya dan menikah dengan Diva. Dua tahun berlalu dan ia masih cantik seperti saat ini.
Vallery menaiki mobil Lamborghini miliknya dan aku mengikuti arah tujuan nya dari belakang. Mobil Vallery berhenti di depan sebuah bangunan berpilar, aku sedikit terkejut saat melihat banyak orang yang berada di sekitar bangunan itu. Ku pandangi Vallery yang turun dari mobil, membuat orang-orang itu histeris. Tak lama kemudian sebuah musik mengalun dengan sangat keras dan aku terkejut mendengar lagu ini.
Serriously? Black Pink?
Aku menggelengkan kepalaku, tapi yang ku dengar saat ini benar-benar lagu Black Pink yang mengalun dengan keras di antara kerumunan orang-orang itu. Tanpa pikir panjang aku tutun dari mobil ku dan melihat beberapa orang melakukan dance di tengah-tengah kerumunan tersebut. Aku berjalan mendekat dan melihat Vallery berada di antara para dancer dengan lagu Black Pink yang mengiringi gerakan mereka. Aku tersenyum melihat Vallery. Bahkan hingga saat ini kau masih menyukai dance.
-----
Author Pov
-----
"Kau menemukannya?"
"Ya," jawab seorang pria di seberang telfon.
"Tahan dia hingga aku datang, dia sudah menantang ku!" Brian menutup panggilan tersebut lalu berjalan melewati Vinic yang sedang menonton televisi namun langkahnya terhenti saat Vinic bersuara.
"Kau mau kemana?" tanya Vinic tiba-tiba namun masih mengunyah popcorn yang ada di dalam mulutnya.
"Show time," jawab Brian dengan datar.
Vinic lalu bangkit dari duduk nya menatap Brian. "Really?"
"Aku tidak memiliki waktu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang ada di kepalamu saat ini, Vin." Vinic mengerutkan dahinya.
"Kau tinggal menjawab YA dan aku tidak akan bertanya lagi!" ketus Vinic.
Brian menghela nafas dengan kasar. "YA, kau puas?"
Mata Vinic terlihat berbinar. "Sepertinya ini akan seru!" ucap Vinic bersemangat lalu menyambar jaket yang tersampir di bahu sofa, tanpa permisi ia berjalan melewati Brian. Brian memutar bola matanya, ia merasa adiknya satu itu seperti anak kecil yang sangat senang diajak liburan.
Dia lebih bersemangat dibandingkan dengan ku. Apa dia akan menjadi seperti ku jika setiap aku beraksi dia selalu ikut? tanya Brian pada diri sendiri.
Vinic yang sudah berada di amabang pintu utama mansion menoleh ke belakang, kakaknya masih berdiri mematung memandanginya.
"Apa lagi yang kau tunggu? Come on dan berhenti menatap ku seperti itu, kau menatap ku seolah kita ini adalah gay!" ucap Vinic dengan suara lantang.
"f**k!" Vinic lalu tertawa mendengar perkataan Brian, ia membuka pintu dan berlari menghampiri mobil sport milik Brian diikuti dengan langkah Brian di belakang nya. Brian terkejut saat Vinic membuka pintu kemudi.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Brian heran.
"Aku yang akan mengemudikan mobilnya, why?" tanya Vinic dengan polos, Brian memutar bola matanya.
"Tidakkah kau ingat jika trauma ku akan datang ketika aku duduk di kursi penumpang? Kau lupa kejadian tadi malam?" tanya Brian dengan kesal.
Vinic menepuk dahinya lalu terkekeh pelan. "I'm so sorry, I'm forget it."
Setelah Brian dan Vinic tiba di tempat yang ditunjukkan oleh Rafael, mereka bergegas memasuki tempat itu. Rafael Dadh Khan adalah orang kepercayaan Brian sekaligus sahabatnya. Rafael berdiri di sebuah ruangan yang remang, di sebelah nya terdapat seorang pria yang sedang duduk di sebuah kursi dengan lengan terborgol ke belakang dan kaki terikat, pria itu menundukkan wajahnya, mendengar suara langkah kaki masuk, pria itu tertawa, membuat Rafael merasa heran dengan apa yang ia tertawakan. Saat Brian tiba di depan pria itu, pria itu mendongak.
"Senang bertemu lagi dengan mu, Brian," ujar Alex kemudian menyeringai.
Brian menunduk mendekati wajah pria itu, ia tersenyum miring "Aku tidak hanya senang, tapi SA-NGAT SE-NANG," ucap Brian menekankan dua kata terakhir pada kalimat yang baru saja ia ucapkan. Brian bangkit dan menegakkan tubuhnya, di belakang Brian ada Vinic yang sedari tadi tersenyum lebar seolah bertemu dengan teman lama.
"Buka ikatan di kakinya, Rafa," seru Brian kepada Rafael, Rafael segera membuka ikatan pada kaki pria itu tanpa membuka borgol seperti yang Brian perintahkan tadi, hanya ikatan di kaki.
"Apa kau takut dengan ku hingga menyuruh pria b******k ini mengikat ku? Aku harap kau bukan pengecut," ucap pria itu dengan nada yang begitu sinis namun Brian tidak memperdulikannya.
"Aku hanya tidak ingin kau menjadi pengecut karena melarikan diri, jadi, aku terpaksa mengikat mu," jawab Brian dengan nada yang sangat tenang.
Pria itu tertawa. "Oh, come on. Aku tidak seperti yang kau pikirkan, aku ke sini untuk membalaskan rasa sakit di hatiku."
Brian menoleh dan tertawa melihat pria itu "Kau sakit hati? Oh, pasti terasa sangat menyiksa bukan?" cibir Brian memancing emosi pria itu.
"b******k!" Pria itu berdiri dengan napas memburu di hadapan Brian. Brian tersenyum melihat pemandangan di hadapannya.
"Buka borgolnya, My Brother. Aku ingin tahu seberapa beraninya pria ini." Brian tersenyum.
Saat Rafael mendekat, pria itu menendang perut Rafael, membuat Brian marah.
"Kau benar-benar membuat ku muak!" tanpa pikir panjang Brian mengambil pisau yang ada di antara kakinya lalu menusuk pipi pria itu, darah segar mengalir begitu banyak saat Brian menarik pisau yang menusuk pipi kiri pria itu. Pria itu merintih kesakitan lalu berlari ke arah pintu keluar yang ada di belakang nya, dengan sigap Brian mengeluarkan pistol nya lalu menembak pria itu.
DORR!!
Shit! umpat Brian. Peluru itu hanya mengenai lengan pria itu dan ia berhasil kabur. Saat Vinic akan mengejarnya Brian menahan tubuh Vinic.
"Biarkan," ucap Brian tenang seraya menatap adiknya namun perkataan itu membuat Vinic merasa frustasi.
"Why?!" bentak Vinic. Brian tersenyum lalu melihat ke arah pria itu pergi.
"Dia ingin bermain-main dengan ku, aku akan menerimanya dengan senang hati. Lihatlah siapa yang pengecut di sini." Brian tersenyum menyeringai. Rafael mengerti dengan apa yang Brian maksud, ia tersenyum.
"Kau tidak pernah berubah," ucap Rafael seraya menepuk bahu Brian.
Vinic menghela nafas kasar. "Ini tidak seseru seperti yang aku bayangkan! Benar-benar di luar ekspektasi ku!" Ia melenggang pergi dari hadapan Brian dan Rafael.
Rafael menatap Vinic dengan heran. "Apa yang terjadi dengan adikmu?"
"Entahlah, aku rasa dia akan menjadi pshycopath seperti ku," jawab Brian menatap punggung Vinic yang mulai menjauh.
"Dia selalu mengikuti ku saat membunuh seseorang," tambah Brian.
"Ku rasa hanya Dave yang masih memiliki hati, ia tidak pernah seperti mu apalagi Vinic, membunuh seseorang. Walaupun aku tahu Vinic hanya sekali melakukan itu, berbeda dengan mu yang sudah puluhan kali, namun tetap saja kau dan Vinic sama." Ucapan Rafael membuat Brian terkekeh pelan.
"Mungkin sifat ibuku menurun pada Dave, aku harap ia selalu baik-baik saja." Brian berlalu meninggalkan Rafael, tak lama kemudian Rafael berjalan mengikuti Brian. Setelah keluar dari tempat itu, langkah Brian terhenti mendengar pertanyaan dari Rafael.
"Kau sudah menemukan pengganti Liza?"
"Sebenarnya aku tidak ingin mencari penggantinya, tapi aku tidak tahu kehendak Tuhan selanjutnya apa," balas Brian.
"Ku harap kau bisa seperti Dave." Brian terkekeh mendengar perkataan sahabatnya.
"Aku berusaha untuk tidak menjadi pria baik-baik dan menjalani kehidupan seperti orang-orang, tapi entahlah, kembali lagi pada rencana Tuhan." Brian memasuki mobilnya dan meninggalkan Rafael di tempat itu sendiri.
Ku harap sahabatku itu bisa kembali seperti dulu. ucap Rafael dalam hati kemudian tersenyum menatapi kepergian mobil Brian