Di dunia ini banyak hal yang tak bisa kau jelaskan dengan kata-kata. Tak ada banyak alasan yang menyebabkan banyak duka, banyak kegilaan, dan juga banyaknya kehancuran, selain cinta yang tak dianggap. Pada akhirnya, kau tak bisa benar-benar menjelaskan bagaimana cara cinta datang, merasuki sanubarimu, dan mampu membuatmu begitu hancur. Kau berusaha keras agar bisa menjadi sesuatu baginya atau sekadar memiliki hubungan yang bisa membuatmu terus berada di sisinya. Pada akhirnya, kau ingin mencari tahu arti dirimu di matanya.
Dahlia menatap Cantika dengan penuh amarah. Tangannya kembali terkepal kuat. Ia menggertakkan giginya melihat keangkuhan Cantika. Harusnya, perempuan itu tahu akan posisinya yang tidak lain hanyalah istri di atas kertas. Tak memiliki kekuatan atau hak apa pun untuk membuatnya gentar. Harusnya Cantika menghargai dan takut padanya. Bukan malah menentangnya. Apa wanita itu tak tahu bila saja Dahlia mengadu, maka Tian bisa marah padanya? Tentu saja Dahlia tak ‘kan segan-segan untuk membuat Tian membenci Cantika.
“Kamu hanya seperti dompet yang menyimpan uangnya dan dikeluarkan saat ia butuhkan. Pada akhirnya, kamu hanya dimanfaatkan oleh Mas Tian dan kamu bangga dengan kebenaran itu?” Dahlia menatap Cantika dengan tatapan menggejek, sedang Cantika mati-matian menahan rasa perih yang menguasai sanubarinya. Semua yang dikatakan wanita itu adalah kebenaran yang tentu saja tak bisa ia abaikan begitu saja. Kebenaran yang selalu menampar pipinya dengan keras, membuatnya segera terbangun dari tidur panjangnya. Tak memberikannya waktu untuk sekadar menikmati dunia khayalan ataupun tidur lebih panjang agar bisa terus bermimpi.
Cantika menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, mencoba kembali berdamai dengan rasa perih yang menyiksa sanubarinya. Ia tak boleh menyerah. Tak juga bisa mundur lagi. Tanpa wanita itu beritahu sekali pun. Cantika tahu benar bila Tian hanya memanfaatkannya selama ini. Pria itu tak bisa menolak pernikahan mereka karena sadar benar bila keluarga mereka begitu membutuhkan bantuan dari ayah Cantika. Tentu saja, Cantika menggunakan kelemahan pria itu untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Pada akhirnya, Cantika tak sepolos ataupun sebaik seperti yang wanita itu pikirkan. Cantika pun sama liciknya seperti para orang tua mereka yang menggunakan hubungan suci untuk saling mengikat. Ia hanya memanfaatkan keadaan.
“Sayang sekali. Aku sudah tahu benar bila dia memanfaatkanku, tapi terasa jauh lebih baik daripada menjadi kekasih yang dicintai, tapi nggak bisa dikenalkan pada keluarga ataupun dibawa ke publik,” Cantika tersenyum mengejek, “Jauh lebih baik, dari pada seorang kekasih yang hanya bisa diajak bersenang-senang di belakang dan pasti akan kaku bila bertemu dengan kenalan kami. Dia pasti nggak bisa mengakuimu,” Cantika menatap wanita itu dengan tatapan merendahkan. Otak Cantika memang telah kehilangan fungsinya karena ia mencoba mengabaikan kenyataan dan juga perih yang menguasai sanubarinya. Ia mencoba terlihat seolah dimanfaatkan adalah sesuatu yang lebih menguntungkan baginya. Bodoh sekali, bukan?
Fokus Cantika teralihkan begitu mendengarkan suara langkah kaki dan kesempatan itu membuat Dahlia berhasil mendaratkan sebuah tamparan di wajah Cantika. Sementara itu, Cantika memegang pipinya yang terasa sakit dan menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan tak percaya. Wanita itu sangat licik karena mengambil kesampatan dalam kesempitan.
“Dahlia, apa yang kamu lakukan?” Suara itu terdengar dari belakang punggung Cantika dan wanita itu tahu benar siapa pemiliki suara itu tanpa harus membalik tubuhnya. Entah mengapa, pertanyaan pria itu pada Dahlia membuat hati Cantika merasa sedikit senang. Mungkin saja, ada sedikit kebaikan yang bisa pria itu tunjukkan pada Cantika. Mungkin saja, ada sedikit rasa iba yang pria itu miliki untuk Cantika. Perempuan itu tak mampu mencegah harapan yang muncul begitu saja di dalam hatinya, membuat hatinya merasa bahagia.
Dahlia tersenyum kikuk, lalu segera memeluk lengan Tian dengan erat. Tangis wanita itu jatuh begitu saja. Padahal, tadi perempuan itu tampak baik-baik saja. Perubahan wajah perempuan itu membuat Cantika kagum. Ternyata wanita itu sangat pintar berakting. Dirinya yang terbiasa menonton sinetron tak bisa disamakan dengan keahlian perempuan itu.
“Istrimu ini mengataiku buruk karena aku mengatakan padanya kalau aku mencintaimu dan sudah berjanji untuk menyiapkan sarapan untukmu, tapi tiba-tiba saja dia marah. Dia mengataiku nggak tahu diri dan mengatakan tentang tugas-tugasnya sebagai istrimu,” Ujar Dahlia dengan terisak. Apa yang dikatakan perempuan itu membuat Cantika tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Wanita itu benar-benar ular. Bagaimana bisa ia mengatakan hal yang begitu buruk? Ya, Cantika memang mengatakan tentang statusnya pada Dahlia.
“Tika … apa yang kamu lakukan pada Dahlia?” Pria itu bertanya dengan setengah berteriak pada Cantika, menghancurkan semua harap dan juga kegembiraan yang sempat merasuki sanubari Cantika. Kemudian pria itu menangkup wajah Dahlia, menatap wanita itu dengan lembut, dan mengusap air mata yang membasahi pipi Dahlia. Pemandangan itu membuat hati Cantika teriris perih. Sungguh, bathinnya tersiksa melihat pemandangan yang mengerikan itu. Bukankah harusnya pria itu menanyakan dulu apa yang terjadi? Mencari tahu kejadian yang sebenarnya dan tak bisa menyalahkannya begitu saja? Dirinya yang seharusnya diperlakukan dengan baik. Harusnya, dirinya yang harus ditenangkan dan dibujuk, bukan Dahlia.
“Jika kamu mau terus-terusan berpura-pura menjadi istri yang baik. Kamu bisa melakukan hal yang lain dan biarkan Dahlia melakukan apa pun yang dia inginkan,” Pria itu kembali meoleh pada Cantika karena tak menerima jawaban apa pun dari perempuan itu yang membuat Tian semakin kesal, “Kenapa kamu harus memarahinya seperti ini? Dia sudah bersikap sangat baik dengan membantu meringakan pekerjaanmu. Setidaknya bilang terima kasih padanya!”
Cantika mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dirinya adalah korban di sini, akan tetapi dirinya pula yang harus diperlakukan bak seorang tersangka. Bagaimana bisa pria itu tak pernah puas menyakiti hatinya? Sebesar itukah kebencian Tian padanya? Setelah satu tahun pernikahan mereka, tak ada sedikit pun rasa untuknya. Semua perjuangannya sia-sia belaka. Miris.
“Aku nggak melakukan apa pun padanya. Aku bahkan nggak menghalanginya yang mau memasak untukmu. Aku hanya membantunya membuatkan minuman karena dia hanya memasak nasi goreng untuk kalian berdua,” Cantika tak rela bila dituduh begitu saja dan disalahkan oleh Tian tanpa mengetahui hal apa yang sebenarnya tengah terjadi, “Lihatlah meja itu. Hanya ada dua nasi goreng. Kopi s**u kesukaanmu dan aku menuangkannya teh manis hangat. Aku nggak berusaha mencari masalah di sini,” Cantika menjelaskan. Selama ini dirinnya hanya diam saja saat disalahkan. Menerima semua hal yang dituduhkan padanya, tapi dia bukan lagi orang yang sama. Ia tak ‘kan membiarkan Tian merendahkannya. Apa lagi, pria itu akan membuat kekasihnya merasa menang dan bisa terus-terusan menyiksanya. Pria itu merasa berkuasa karena tahu bila Cantika begitu mencintainya. Namun cintanya bukanlah senjata yang harus pria itu gunakan untuk membunuhnya. Ia tak lagi ingin merasa mati. Cantika ingin melihat pria itu melihat ke arahnya dan untuk mendapatkan keinginannya. Ia tak lagi bisa berdiam diri.
“Nggak usah membela diri dan mencoba membuatku percaya padamu. Aku mengenalmu dengan sangat baik, Tika,” Pria itu menatap Cantika penuh amarah, “Aku tahu jika selama ini kamu selalu berusaha menjadi istri yang baik dan penurut. Semua itu hanya kedok untuk menutupi kebusukanmu,” Lagi-lagi, hanya kata-kata kejam lah yang selalu diutarakan pria itu, “Kamu selalu berusaha terlihat baik di depan semua orang. Kaku dan selalu ingin dilihat sebagai wanita sempurna. Kamu mau membuatku terlihat begitu rendah. Jangan pikir, bila uang ayahmu bisa membeliku, Tika,” Lanjut pria itu dengan sarkastis. Bibir bagian bawah Cantika bergetar hebat. Wanita itu menggigit bibirnya kuat-kuat, mencegah air matanya untuk jatuh.
“Ya, aku memang merasa sudah membelimu dan sebagai barang yang sudah dibeli. Nggak seharusnya kamu memperlakukanku dengan tidak hormat,” Cantika belajar banyak dari hidup dan juga rasa sakit bila menjadi malaikat yang penurut hanya akan membuat hatimu semakin hancur lebur. Oleh karena itu, terkadang kau harus membunuh hatimu dan bersikap seperti seorang pahlawan super yang tak mampu merasakan sakit apa pun. Kau harus terlihat seolah kau mampu menguasai hatimu sendiri dan mampu mencegah luka menghancurkanmu.
“Secara tidak lain, kamu hanyalah pria yang ku bayar untuk menjadi suamiku, tak lebih dari itu. Aku hanya membayarmu untuk melakukan hal yang ku mau,” Cantika tersenyum miring, “Bukankah aneh karena selama ini akulah yang melayanimu, meski seharusnya kamu yang melakukan semua itu untukku? Bukankah ada kekeliruan di antara kita selama ini? Semestinya, aku yang memperlakukanmu bak seorang b***k karena aku adalah majikanmu.”
Bukannya semakin tenang. Pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat karena apa yang dikatakan Cantika padanya. Secara tak langsung, memang apa yang dikatakan Cantika ada benarnya. Namun selama ini Tian menggunakan perasaan Cantika untuk membuat wanita itu menderita. Ia tahu bila wanita itu mencintainya dan hal itu menambah rasa benci yang menguasai sanubarinya. Cinta wanita itu hanya membuatnya semakin tersiksa. Ia tak mempunya pilihan ataupun kebebasan saat ayahnya mengatakan bila Cantika mencintainya dan setuju untuk menerima perjodohan mereka. Ayahnya bahkan tak peduli ketika Tian mengatakan bila dirinya tak mencintai Cantika. Dirinya memiliki seorang yang ia cintai. Semuanya hancur karena Cantika. Wajar bila Tian memendam kebencian yang begitu besar untuk Cantika, bukan? Wanita yang berlagak bak seorang putri yang bisa membeli apa pun yang dia inginkan. Mengenaskan.
Tian yang terpancing amarahnya segera mencengkram dagu Cantika kuat-kuat dan menatap tajam wajah perempuan itu. “Aku adalah budaakmu? Begitukah menurutmu? Apa sekarang, kamu akan mengadu pada ayahmu untuk mengancamku? Kamu akan membuatnya menyusahkanku atau memarahiku karena nggak bisa menjaga anak gadisnya dengan baik?” Pria itu tersenyum miring, “Kamu pikir, aku takut dengan ancamanmu? Kamu pikir, aku akan mau menjadi budakmu?” Pria itu tertawa garing, akan tetapi Cantika tak menunjukkan rasa sedihnya. Wanita itu malah tersenyum manis seolah hatinya baik-baik saja. Cantika mencoba menjadi dirinya yang dulu. Perempuan kuat yang tak takut apa pun. Wanita yang dengan mudah menolak pria manapun yang mengejarnya. Kini, dirinya harus bangkit kembali dari ketepurukannya.
“Aku nggak mau mengancammu. Aku hanya bilang bila selama ini hubungan di antara kita begitu salah. Di mana-mana, pembeli adalah raja. Oleh karena itu, aku akan berhenti melayanimu dan berharap kalau kamu memiliki itikad baik untuk melayaniku,” Cantika menepis kasar tangan Tian dari dagunya, “Aku nggak akan bersikap jahat dengan memintamu menjadi budakku. Hanya saja, aku mau menikmati posisiku sebagai pembelimu dan melakukan apa pun yang ku inginkan padamu. Tak mengapa kalau kamu nggak bisa memberikan hatimu padaku. Toh, hati dan perasaan bukanlah sesuatu yang bisa dibeli, bukan?” Lanjut Cantika.
Perempuan itu menatap wajah Tian yang terkejut dan kekasihnya secara bergantian. “Selamat menikmati sarapannya karena aku juga harus pergi ke butik,” Cantika menghentikan langkahnya yang hendak meninggalkan tempat itu dan memutar tubuhnya. Ia tersenyum pada Tian, “Jangan takut. Aku bukan seorang pengadu dan aku nggak akan mengadukanmu pada Papa. Ternyata, perusahaan papamu masih sangat membutuhkan suntikan dana. Sayang sekali, hal itu pasti membuatmu nggak bisa melepaskanku. Sekarang, kamu yang harus tahu tempatmu.”
Cantika tersenyum puas dan berlalu pergi dari keduanya. Matanya berkaca-kaca begitu ia membalikkan tubuhnya. Air mata mengalir dan membasahi pipinya. Dadanya begitu sesak dan hatinya teriris perih. Bagi Tian, dirinya hanyalah seorang istri di atas kertas. Hubungan di antara mereka sebatas saling memanfaatkan. Tak heran bila hanya ada rasa sakit yang menguasai setiap relung hatinya. Tak heran bila pria itu memanfaatkan kebenciannya untuk bertahan di dalam hubungan yang salah itu. Sayangnya, cinta yang digunakan Cantika untuk tetap bertahan di dalam pernikahan itu, tak memberikan hal baik apa pun baginya. Hanya kehancuran.