Karma

1037 Words
Satu bulan berlalu sejak keputusan pengadilan itu berlaku. Maharani hidup sendiri di rumah megah nan mewah. Hanya ada pembantu dan para bodyguard yang siap ia perintah kapanpun. Hidup yang sejak dulu ia impikan. Namun, ia tidak puas dan tidak merasa bahagia. Ada tawa yang hilang, dan ia merindukan tawa itu. Ara memandang lurus ke arah timur. Lama ia memandang fajar yang mulai meninggi berganti dengan cahaya terang benderang. Angin dingin di musim kemarau berhembus menerpa rambutnya yang tergerai indah. Perlahan Ara beranjak dari tempatnya, bergerak menuju ruang TV. Hendak melihat berita terupdate tentang artis pendatang baru yang sekarang tengah naik daun. Ara memutar bola matanya malas sembari mengganti saluran channel. "Sial. Dia benar-benar merebut posisiku," desis Ara kesal. Setiap channel selalu menayangkan berita tentang Flora Angela yang dikabarkan mampu menggeser popularitas Maharani Putri. Ara memijit pangkal hidungnya. Sudah seminggu lamanya ia tak mendapat job. Bahkan sinetron yang ia bintangi langsung ditamatkan. Sang produser memutuskam untuk membuat film baru dengan Flora Angel sebagai peran utamanya. "Bagaimana ini," ujar Ara. Dirinya sudah tidak memiliki pemasukan. Saldo dalam rekeningnya pun sudah habis untuk membeli rumah baru yang kini ia tempati. “Bu ... Bu Ara. Di depan ada orang bank yang ingin bertemu dengan ibu.” Teriak salah satu pembantu Ara panik. “Orang bank?" Ara mengulang ucapan pembantunya dengan kening berkerut. “Iya, Bu.” Maharani segera menyeret kakinya menuju beranda. Disela langkahnya, ia berpikir mengapa orang bank mencari dirinya. Selama ini ia tidak pernah telat membayar kartu kredit ataupun berhutang pada pihak tersebut. “Selamat pagi, Bu." Sapa pegawai Bank ramah. “Pagi. Maaf ada apa ya? Kenapa Anda pagi-pagi datang ke rumah saya?” tanya Ara tanpa basa-basi. “Begini Bu, kami mendapatkan perintah untuk memberitahu jika ibu harus segera mengosongkan rumah ini. Karena pak Brian menggadaikan rumah ini, dan beliau tidak mampu untuk mengembalikan dana yang ia pinjam. Sekarang sudah jatuh tempo." Pegawai bank memberikan penjelasan. “Apa?" Ara sontak melebarkan netranya, sangat terkejut dengan kabar buruk yang baru diterimanya. “Benar Bu dan ini surat-suratnya.” Pegawai bank memberikan satu map berisikan surat-surat perjanjian. “Ini tidak mungkin, Pak!” Ara menggeleng-gelengkan kepalanya berulangkali. Lantas mengembalikan map itu pada sang pegawai. “Untuk kebenarannya Anda bisa menghubungi pak Brian.” Tawar pegawai bank untuk menyakinkan Ara. Maharani syok mendengar berita itu, rasanya ia sedang bermimpi. Rumah mewah yang ia bangun dengan hasil kerja kerasnya dalam sekejap hilang. Maharani merasakan dunianya gelap seketika dan seperti ada kunang-kunang yang hinggap di kepalanya. Entah dari mana asalnya, mendadak rasa sakit teramat sangat menjalari perutnya. Tak lama tubuhnya limbung. “Bu Ara.” Teriak pembantu yang sejak tadi berada tak jauh dari Maharani. Ia pun bergegas membawa majikannya ke rumah sakit. "Dok, tolong selamatkan Bu Ara." "Baik, saya akan melakukan yang terbaik. Mohon ibu tunggu di luar ya," balas sang dokter sembari menutup pintu ruangan. Ia dengan cekatan memeriksa Ara. Entah berapa lama Ara terpejam, lamat-lamat kini kelopak matanya mulai terbuka. Ditatapnya seorang dokter muda yang tampak sehabis memeriksanya. "Saya sakit apa dok?" tanya Ara. Rasa sakit diperutnya masih terasa walau tak seberapa. Helaan napas berat lolos dari bibir dokter muda itu. Ia tampak ragu untuk mengatakannya. "Menurut hasil pemeriksaan, Anda didianogsis terkena HIV," ucap sang dokter terus terang. "H I V?" Ara patah-patah mengulang kembali kata terakhir dari sang dokter. Pikirannya mendadak kosong. Buliran hangat perlahan turun dari sudut mata Ara. Hidupnya kini seperti roda yang berputar. Kadang berada di atas kadang juga berada di bawah. Ia harus siap menerima kenyataan bahwa sekarang dia sudah tidak memiliki apapun, popularitas, harta dan keluarga. Dengan luka batin yang masih menganga, Ara memutuskan untuk pergi dari rumah sakit. Menutup mata bila ia terkena penyakit yang kapan saja bisa merenggut nyawanya. *** Satu minggu berlalu, Maharani sekarang tak lagi memiliki tempat pulang serta pekerjaan, membuat wanita itu hidup menjadi gelandangan di pinggir jalan. Kesepian dan kelaparan, senantiasa menemani keseharian Ara. "Awww." Ara memegang kuat-kuat perutnya yang terasa perih. Selama dua hari terkahir ia hanya menenggak air putih untuk mengganjal perutnya. "Kaylani, Adam. Apa kalian masih mau menerima ku?" Sepanjang jalan Maharani terus meracau. Dengan tertatih kakinya terus mengarah pada alamat yang selalu berputar dalam benaknya. Setelah satu jam perjalanan, kini kaki jenjangnya berdiri tegap di depan rumah mantan suaminya, Adam Suseno. Rasa malu membuat dinding pembatas untuknya melangkah masuk ke rumah minimalis itu. "Maafkan Mama, Kay. Mama sadar kalau perbuatan Mama salah. Bisakah kita kembali bersama seperti dulu?" tanya Ara seolah Kaylani berdiri di hadapannya. Sepi. Tentu saja tidak ada jawaban dari pertanyaannya, yang ada hanyalah bayangan akan tatapan tajam penuh kebencian Kaylani saat terakhir mereka bertemu di pengadilan. Dalam benaknya, ia sudah membayangkan penolakan dari putri dan mantan suaminya untuk menerimanya kembali. Sebagai seorang artis tentu saja kebangkrutan dirinya sudah tersebar dimana-mana. Rasa sakit dalam perut Maharani tiba-tiba bergejolak hebat, membuat ia lemah tak berdaya. "Aaarg. Kenapa rasanya sakit sekali," keluh Ara memejamkan matanya erat. Tak ingin terlihat mengenaskan di depan kedua orang yang pernah berarti dalam hidupnya, ia pun berusaha bangkit dan pergi dari depan rumah itu. "Tahan Ra, kau tidak boleh mati di sini," gumam Ara. Di lapangan yang ditumbuhi rumput-rumput liar, Maharani merebahkan tubuhnya meringkuk seperti bayi yang sedang kedinginan. Rasa nyeri itu seperti mengambil separuh jiwanya. Netra Maharani menatap langit yang gelap namun masih ada bintang dan rembulan yang membuat langit itu nampak indah. “Indah,” ucap Maharani, jemarinya menunjuk di salah satu bintang yang paling bersinar. “Dulu aku tidak percaya akan karma. Namun, sekarang semua nampak jelas di mataku. Tuhanku bolehkah aku menebus semua kesalahanku?” desis Ara penuh harap. Walau ia tahu itu hanyalah mimpi, tetapi hati kecilnya tak henti menaruh harapan. “Aku berjanji akan memperbaiki semuanya,” teriak Maharani dengan suara parau. Seolah suaranya sudah hampir habis untuk meratapi nasibnya. Berganti dengan air mata, menyesali semua perbuatannya. Bulan terlihat begitu membulat dengan sempurna, cahaya terang nampak dekat dengan bumi. Maharani seperti anak kecil yang bersanding dengan rembulan itu. Rembulan itu seperti sudah siap untuk melahap Maharani. Maharani tersenyum sembari berkata, “Bulan bawa aku untuk memperbaiki semua.” Angin bertiup kencang, langit yang tadi berwarna hitam namun terang karena ada rembulan dan bintang, kini berubah menjadi gelap gulita, petir menyambar dengan bunyi khasnya. Maharani menutup matanya, menerima segala yang akan terjadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD