Kesenangan dan Kesedihan

1104 Words
Dentuman musik yang mengalun merdu terdengar menggoda, membuat para pengunjung di dalamnya tak bisa menahan diri untuk tidak menggoyangkan pinggulnya. Tak terkecuali Ara, di bawah keremangan cahaya lampu warna-warni, ia berjoget ria sembari menikmati segelas minuman yang berisi alkohol di tangannya. Di ruang VVIP yang ia sewa, Ara bersama teman-teman sosialitanya sedang asyik merayakan keberhasilannya menggugat cerai Adam. Tidak peduli dengan status janda yang kini melekat padanya, ia sendiri justru menikmati kebebasannya. “Ayo semuanya, kita nikmati malam ini. Malam kebebasan kita sebagai wanita lajang!” Ara menginstruksikan kepada para sahabatnya. Ia menggangkat gelas minumannya ke atas, lantas disambut gelas-gelas lainnya. Trring. Suara gelas kaca yang beradu satu sama lain menjadi pertanda bila pesta yang mereka gelar telah dimulai. “Pesta ini tidak akan seru tanpa adanya pria yang menemani kita kan?” Sasmita mengedipkan matanya. Sembari memanggut-manggut menikmati alunan musik, Yuanita menimpali ucapan Sasmita, “Ah, benar itu. Bagaimana kalau kita menghubungi tante Siska, dia pasti ada stok berondong kece." “Setuju,” sahut Lilis yang tengah terduduk di sofa. Memang inilah yang ia tunggu-tunggu. Ara menenggak minuman yang sedikit mengandung alkohol, lantas menimpalinya. “Jangan lupa sisakan satu yang spesial untukku.” “Tentu saja, kau bos di sini. Pasti yang spesial akan ada untukmu.” Sasmita meraih ponselnya di atas meja, dengan semangat empat lima menghubungi tante Siska, kaki jenjangnya berjalan agak sedikit menjauh mencari tempat yang tidak ramai. Ara mengacungkan jempolnya. Sejak masuk ke dalam tempat yang katanya adalah surga dunia, netranya tak pernah luput dari laki-laki tampan yang berseliweran. Membuat tubuhnya merindukan sebuah sentuhan. "Apa rencanamu selanjutnya, Ra?" tanya Lilis memecah kebisuan diantara mereka. Dibanding berjoget, dirinya lebih senang menghabiskan segelas anggur dengan mengobrol ria. Menghemat tenaganya untuk bertempur nanti. "Yeah. Tentu saja aku akan menjalani aktivitasku seperti biasanya," jawab Ara asal. Dalam kamus hidupnya hanya ada tiga prioritas. Memiliki ketenangan, uang, dan bersenang-senang dengan lelaki tampan. Lilis terkekeh pelan. Sangat hafal dengan tabiat sahabatnya yang satu itu. Dia selalu menjalani hidupnya seperti air yang mengalir, berjalan tenang sesuai alurnya. Sasmita kini telah kembali bergabung. Membuat obrolan receh Lilis dan Ara terputus. Ara menatap Sasmita penuh makna. "Beres." Sasmita kembali duduk di sebelah Lilis. "Kau selalu bisa diandalkan Sas," puji Ara. Mereka berempat kembali bersulang, mengusir kebosanannya menunggu. Tiga puluh menit berlalu, empat lelaki berpenampilan rapi perlahan masuk ke ruangan itu. Perawakannya yang gagah serta tubuhnya yang kekar semakin mendukung untuk dibooking. Ditambah wajah tampan lelaki bayaran itu memanjakan mata para wanita yang hadir di sana. Mereka semua terdiam dengan isi otak yang sudah liar. Empat lelaki itu langsung menempatkan diri mereka masing-masing, memilih satu wanita yang siap mereka layani. Ara menarik napas dalam-dalam saat seorang lelaki duduk di dekatnya. Aroma wangi yang menguar semakin membuat gelora dalam dirinya berkobar hebat. “Kau sangat tampan, mirip sekali dengannya,” ujar Ara yang seketika teringat dengan Adam Suseno saat mereka baru menikah dulu. “Kalau begitu, berikan aku bayaran yang mahal. Aku pasti akan memuaskanmu!” Seru sang lelaki. Pandangan Ara tak sengaja mengarah pada bibir tipis laki-laki itu ketika berbicara. Warnanya yang ranum membuat dirinya ingin cepat merasakan kelembutannya. “Ara, berondongmu sangat profesional. Cepatlah booking,” ucap Yuanita saat Ara tak bergeming menyahuti. Maharani tersenyum tipis, saat tersadar dari imajinasinya. “Baiklah.” Maharani lalu mengeluarkan cek kosong. “Tulis berapa pun yang kau mau," imbuhnya. “Siap, Tante.” Lelaki itu langsung mengajak Maharani memasuki salah satu kamar yang sudah disediakan. Dibawah cahaya lampu yang terang, keduanya perlahan mulai melampiaskan gelora yang kian mendesak. *** Dilain sisi, Adam tampak sedang gelisah. Sejak pulang dari pengadilan, Kaylani sama sekali belum menyentuh makanan. Gadis itu memilih bergelung di bawah selimut tebal. Air matanya keluar dengan deras seperti sungai yang mengalir hingga membasahi bantal dan berakhir jatuh tertidur karena kelelahan. "Kay, sayang, kita makan yuk. Lalu minum obat ya," pinta Adam lembut serata mengelus pucuk kepala anaknya. Entah sejak kapan anaknya demam. Sejak sore Adam membiarkan Kaylani tertidur dan selepas matahari terbit ia baru menemuinya untuk makan malam. Namun, dirinya justru mendapati tubuh Kaylani yang sudah demam. Kaylani mengunci rapat bibirnya. Dengan mata yang terus terpejam. Ia hanya ingin sang ibu berada di sampingnya. “Kai sayang. Minum obat, ya sayang. Biar Kay cepat sembuh," ucap Adam berusaha membujuk sang anak karena Kaylani menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Hening. Bibir kaylani masih tertutup rapat. “Apa Kay sudah tidak sayang lagi dengan Ayah?” tanya Adam. "Kay mau Mama, Yah. Kay mau Mama. Kenapa mamah jahat sama Kay. Kay salah apa?” cecar Kaylani. Air mata yang tadi telah mengering kini membasahi pipinya lagi. “Kay." Adam mengelus rambut putri semata wayangnya. Lalu melanjutkan kalimatnya, “Mama memiliki kehidupannya sendiri. Bukankah tadi Kay sendiri yang memutuskan untuk tidak menganggap mama Ara ibu Kay lagi? Kenapa sekarang Kay justru seperti ini?” “Ayah. Kay hanya emosi saja tadi, tapi mama sepertinya serius menanggapi ucapan Kay dan dia bilang seperti itu, hati Kai sakit, Yah.” Kai menangis sesenggukan mengingat kata Maharani saat di pengadilan. “Kay yang sabar, ya. Bukankah selama ini kita bisa tanpa Mama? Biarkan Mama mencari kehidupannya sendiri,” ucap Adam menasehati. Kay semakin mengencangkan suara tangisnya. Selama ini ia bisa bertahan karena ada harapan setalah pulang syuting sang mamah akan memeluk dirinya sembari menceritakan keseharian di lokasi syuting. Namun, sekarang harapan itu tidak ada lagi. Meskipun sosok Maharani masih hidup, tapi dia sudah tidak berada disisinya lagi. “Ah, Kay benci Mama, Kay benci!” Kay berteriak marah, melampiaskan kekesalannya. Antara sayang dan benci, membuat Kaylani labil dalam perasaannya. Dalam lubuk hatinya, ia sangat menyayangi Ara. Terlepas dari sikap Ara yang dingin dan acuh padanya. Namun, keputusan Ara membuat ia terpaksa membenci mamanya. “Kay, Ayah minta sebenci apapun Kay pada mama Ara. Kay harus tetap memaafkan Mamah. Kita do'akan saja semoga Mama Ara diberi hidayah dan bisa kembali lagi pada kita. Ingat, surga Kay berada di telapak kaki Mama,” tutur Adam lembut mengingatkan Kaylani. “Tapi Kay benci Mama!” Adam menarik napas pelan. Ia tidak bisa menyalahkan Kay jika dia membenci mamanya. Sikap Ara memang salah, seharusnya saat seorang anak menginjak usia ini, peran ibu sangatlah penting. Ia harus mendapatkan perhatian saat-saat seorang anak hendak menuju masa puber agar tidak salah jalan. Apa lagi saat mereka akan mendapatkan tamu bulanan untuk pertama kalinya. Adam mengecup dahi Kay cukup lama. Sembari berkata, "Kita do'akan saja semoga Mama Ara diberi hidayah dan bisa kembali lagi pada kita ya." Kay memejamkan matanya. Memeluk semua rasa sakit yang menderanya. 'Kay benci mama. Selamanya akan tetap begitu. Tak peduli jika mama akan meminta maaf pada Kay dan menyesali semuanya. Kay akan ingat selalu perlakuan mama pada Kay.'
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD