Part 2

1142 Words
Sorot cahaya layar monitor masih setia menemani malamku. Tak terasa saat ini jam menunjuk angka delapan. Aku masih saja berkutat dengan laptopku guna memperbaiki berkas-berkasku yang hancur karena ulahku sendiri. Karena kecerobohanku sendiri, aku merusak berkas-berkas yang tadinya hampir selesai. Namun lagi-lagi aku menyalahkan diriku sendiri. Aku sangat kecewa pada diriku. Selain peristiwa tragis tadi siang, Pak Alex, selaku pemimpin perusahaan memintaku menyerahkan hasil meeting kemarin lusa besok pagi. Ini alasan kedua mengapa aku masih berada di kantor. Selain itu, besok pagi juga diadakan meeting penting terkait entahlah aku melupakannya. Meeting besok pagi juga hanya dihadiri oleh staff-staff penting saja. Termasuk aku salah satunya. Aku memang sangat dibutuhkan dalam hal ini. Akhirnya selesai juga. Setumpukan kertas segera ku masukan ke dalam map dan menyimpannya ke dalam laci yang berada di ruang kerjaku. Badanku serasa pegal. Mataku perih. Perutku juga lapar. Ahh sudahlah, aku akan mampir ke warung nasi goreng untuk memanjakan perutku. Setelah selesai membereskan meja kerjaku, aku segera mengemasi barang-barangku untuk ku masukkan ke dalam tas kerja. Aku mendengar suara langkah kaki yang semakin lama semakin dekat saja. Aku meneliti pendengaranku dengan saksama. Aku menoleh ke sumber suara ketika ada seseorang yang membuka pintu. "Selamat malam, Honey. Aku membawakan kopi s**u untuk mu." Pria dengan setelan kerja dan membawa dua cup kopi di tangannya. Senyumnya merekah bak bunga mawar di pagi hari. "Hmmm," jawabku malas dan pura-pura menyibukkan diri dengan tasku. "Minumlah sebelum dingin," pria yang bernama Ferdian itu menyodorkan satu cup kopi s**u ke arahku. "Maaf, aku tidak punya banyak waktu untuk sekedar meminum kopimu. Aku mau pulang," aku melenggang pergi tanpa mempedulikan Ferdian. "Sayang, ayolah. Ini kesempatan kita," Ferdian dengan sigap menarik tanganku setelah meletakkan dua cup kopinya. "Lepaskan! Aku bukan sayangmu!" bentakku. "Jangan sok jual mahal seperti itu, Yuki. Aku semakin menggilaimu. Tidak ada siapapun disini. Kita akan menikmatinya," Ferdian menatapku dengan seringaiannya. Dengan cepat Ferdian mendorongku ke sofa. Aku jatuh tersungkur. Untung saja tubuhku tepat jatuh di sofa. Jika tidak pasti aku dengan senantiasa mencium lantai. Ulah Ferdian pun tak berhenti disana. Ia membalikkan badanku. Mendekatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku meronta. Ku hujani pukulan di d**a, kepala dan apa saja yang bisa ku pukul. "Ternyata kau agresif sekali, Sayang." "Lepaskan!!" aku terus berusaha berteriak. "Percuma. Berteriaklah sesukamu. Tidak ada yang mendengarmu!" Aku sulit bergerak. Sepertinya kakiku di himpit oleh kaki Ferdian. Sedangkan tangan Ferdian mencengkeram tanganku. Aku merasakan panas dan sakit di pergelangan tanganku. Aku terus meronta hingga aku kehilangan tenagaku. Peluh di dahiku mengalir deras. Tenggorokan ku terasa serak. Nafasku sesak saat wajah Ferdian semakin dekat dengan wajahku. Aku juga merasakan ada sesuatu yang mengganjal dibawah sana. Oh tidak! Aku tidak ingin sesuatu terjadi padaku. "Lepaskan aku, Fer!!!" dengan sekuat tenaga aku berteriak. Hampir dua minggu yang lalu, Ferdian, rekan kerjaku, datang ke ruang kerjaku. Bukan tanpa alasan, Ferdian datang ke tempatku mempunyai maksud yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Ia menyatakan perasaannya dengan bangga kepadaku. Mendengar penyataan memalukan itu, aku langaung menolaknya mentah. Pasalnya, yang ku tahu, Ferdian sudah memiliki istri. Bahkan istrinya sedang mengandung. Ferdian terus memaksaku agar menerima perasaannya. Ferdian memang memiliki tampang yang lumayan. Tubuhnya juga proporsional akan tetapi mana mungkin aku berpacaran dengan pria yang sudah beristri. Bahkan sejak kejadian itu, Ferdian kerap kali menggangguku. Di kantin, di kantor bahkan di depan karyawan lainnya. Sejak itu pula karyawan wanita memandangku rendah dan sering mengataiku dengan sebutan pelakor. Aku sering kali merasa risih. Bahkan jengkel sekalipun. Tetapi aku wanita yang lemah jika harua dihadapkan dengan orang banyak. Aku lebih takut membuat masalah dibandingkan dengan sekedar dihina. Aku sama sekali tidak takut dan tidak terpengaruh oleh hinaan mereka. Karena aku tidak seperti yang mereka pikirkan. "Lepaskan dia b******k!!" suara pria menggelegar memenuhi ruangan. Noxa , batinku. Aku melihat Ferdian jatuh tersungkur ke lantai. Wajahnya membentur lantai. Mungkin itu sakit. Ferdian berusaha berdiri. Namun belum sepenuhnya berdiri, Noxa memukul wajah Ferdian berulang kali. Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku. Aku sedikit melihat darah segar mengalir di ujung bibir Ferdian. Ferdian tersenyum. Entah apa yang ada dipikirannya. Sedangkan Noxa menatap Ferdian dengan penuh amarah. Kilatan merah di mata Noxa terlihat jelas bahwa dirinya sedang dikuasai oleh amarah. Ferdian berjalan sempoyongan meninggalkan kami. Sesekali ia menoleh ke arah kami dengan senyuman menyeringai. Bulir-bulir air mataku berjatuhan dengan derasnya. Aku masih menutup wajahku dengan kedua tanganku. Tubuhku terasa bergetar hebat. Dadaku sesak seperti kehabisan carbon dioksida. Sebuah tangan mendarat di bahuku. Mengusap lembut bahuku. Sedetik kemudian, tangan itu menuntunku ke dalam sebuah pelukan. Sial!! Aku menurut. Aku menangis terisak di dalam pelukan seorang pria. Hari ini, sejak sepuluh tahun yang lalu, aku kembali berada dipelukan seseorang selain dia.  "Jangan menangis, Nona. Bajuku basah kena air matamu." Aku menghentikan aktivitas menangisku. Menarik kepalaku dari pelukan Noxa. Mengusap wajahku yang basah karena air mataku. Aku melihat baju Noxa itu basah karena air mataku. "Ma-maaf." "Sudahlah. Kenapa jam segini masih si kantor? Apa kau lembur?" tanya Noxa. Aku menggeleng. "Lalu untuk apa?" Aku menggeleng lagi. "Oke. Sekarang kau pulang. Kau membawa mobil atau motor?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Aku seperti bicara dengan orang sinting saja! Kemasi barangmu, aku akan mengantarmu pulang." "Tidak! Aku tidak mau merepotkanmu," kataku lirih. "Kau sudah terlanjur merepotkanku. Membuatku marah hingga memukul orang. Jika saja orang itu melaporkan aku ke polisi aku bisa kena pidana. Dan semua itu gara-gara kau, Nona Yuki." "Aku?" kurasa wajahku memucat. "Hey, wajahmu langsung pucat. Jangan takut aku hanya bercanda. Mana mungkin aku membiarkan seorang wanita sedang dalam masalah besar seperti itu aku diam saja. Meskipun itu terjadi pada wanita lain aku akan tetap menolongnya dan menghabisi pria b******k seperti Ferdian." terangnya. " Kau mengenalnya?" " Sudah jangan banyak bertanya, besok kau harus bekerja lagi. Sekarang aku akan mengantarmu dan jangan menolak!" Aku mengambil tas kerjaku di meja. Sedangkan Noxa apa yang dia lakukan? Dia meminum kopi yang dibawa Ferdian tadi. Astaga. Pria aneh! " Minumlah ini, masih hangat. Lumayan agar tidak mubadzir, kan?" Noxa menyodorkan satu cup kopi s**u ke arahku. Dua cup kopi itu memiliki rasa berbeda. Satu adalah kopi hitam yang sekarang diminum Noxa. Satunya lagi kopi s**u yang sekarang terpaksa aku minum juga. Tetapi cukup menghangatkan tubuhku. Kurang dari setengah jam, mobil Noxa berhenti di depan kamar kos ku. Kamar kos ku berada di pinggir jalan raya, mempermudah akses mobil melewatinya. Aku menyuruh Noxa untuk mampir ke kamar kos ku. Entah mengapa, aku merasakan aneh pada tubuhku. Panas dan sedikit pening. Aku meminta Noxa menemaniku berjalan masuk ke kamar kos. Kamar kos ku tidak terlalu ketat penjagaannya. Siapa saja boleh berkunjung tanpa batasan waktu. Saat Noxa hendak pergi untuk berpamitan, aku justru menarik lengannya hingga membuat tubuhnya mendekat padaku. "Tetaplah disini. Aku takut pria b******k itu kemari." aku sedikit memelas. "Apa kau yakin? Tetapi aku-" Tanpa mendengar perkataan Noxa, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Aku mengalungkan kedua tanganku ke tengkuk Noxa. Aku memejamkan mata sambil terus berupaya mendekatkan wajahku ke wajah Noxa. "Apa yang kau lakukan, Yuki?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD