Olivia melangkah dengan anggunnya mendekati sosok Marvin.
"Pagi, Pak Marvin!" Sapaan Olivia membuat Marvin menoleh ke arah sosok gadis matang di sampingnya itu.
"Pagi." Marvin kembali memasang wajah datarnya.
"Jika saya boleh tahu. Pak Marvin sedang apa disini?" Tanya Olivia.
"Apa setiap hal yang aku lakukan harus kau ketahui juga?" Ucapan dingin Marvin berhasil membungkam seorang Olivia.
Tanpa kata lagi Marvin melangkah pergi dan tidak lagi menoleh ke arah Olivia yang tengah mematung disana.
Gadis itu jelas saja terkejut karena untuk pertama kalinya seorang Marvin berbicara sedingin itu pada dirinya.
Tanpa bisa dicegah. Olivia mengepalkan kedua tangannya menahan amarah yang tiba-tiba saja hinggap dihatinya.
"Sialan." Maki Olivia di dalam hati. Belum pernah ia merasa begitu direndahkan disini." Lihat saja, akan aku buat kau menyesal suatu hari nanti karena sudah berani bersikap kurang ajar padaku. Lihat. Apa yang akan seorang Olivia lakukan untuk bisa mencapai ambisinya." Ujar Olivia menggebu-gebu.
Disisi lain, tanpa Olivia sadari Roni mendengar semuanya. Pria itu hanya mampu mengelengkan kepalanya merasa jika Olivia sudah sangat keterlaluan.
"Wanita yang sama sekali tidak pantas untuk dicintai." Batin Roni yang segera melangkah berniat untuk memasuki perusahaan Archelaus.
"Roni tunggu?" Panggilan Olivia sama sekali tidak dapat menghentikan langkah kaki Roni. Pria itu bersikap seolah-olah ia tuli saat ini, hal itu membuat Olivia segera berlari untuk mengejar sosok Roni yang juga berani mengabaikan dirinya." RONI TUNGGU. KAU ITU TULI YA, AKU SEDARI TADI MEMANGGILMU KENAPA KAU SEAKAN TIDAK MENDENGARNYA." Olivia mencegah langkah kaki Roni dengan cara menahan pengelangan tangannya. Bahkan Olivia tanpa kata malah membentak Roni di depan umum dengan wajah galaknya.
Roni mengepalkan kedua tangannya menatap tajam sosok wanita dewasa yang ada di depannya itu.
"Jika aku adalah pria b******n, mungkin sedari tadi kedua tanganku ini sudah melayang di wajah sok cantikmu itu!" Desis Roni." JANGAN PERNAH BERANI MEMBENTAK ATAU MEMERINTAH AKU. KARENA AKU BUKAN BAWAHANMU, BAHKAN BIAR AKU PERJELAS SEKALI LAGI. AKU DAN KAU ITU BERBEDA, AKU LEBIH TINGGI DARIMU. KAU HANYA SEORANG SEKERTARIS YANG BERANI MEMERINTAH SEORANG DIREKTUR. DIMANA SOPAN SANTUNMU ITU, b***h?" Ucapan pedas Roni sukses membungkam bibir Olivia. Wajah Olivia memerah menahan malu saat ia menyadari bahwa seluruh Staf perusahaan tengah menatap dirinya dengan begitu rendah. Hal itu membuat Olivia semakin menyimpan dendam pada Roni.
"Dan satu lagi. Jangan pernah berani ikut campur akan urusanku ini. Kau hanya sebatas bawahan jadi bersikaplah sebagai seorang bawahan." Sinis Roni yang melangkah meninggalkan Olivia yang masih bungkam disana. Beberapa staf yang melihat kemunculan Roni di depan pintu masuk segera menunduk hormat.
Marvin dan Roni memiliki posisi yang hampir sama tingginya. Hanya saja bedanya jika Roni berhadapan dengan seorang Marvin mungkin akan sedikit berbeda, karena Marvin adalah pemilik terbesar di perusahaan Archelaus.
Olivia menatap punggung lebar Roni penuh kebencian.
"Kau berani mempermalukan aku di depan umum seperti ini? Lihat saja akan aku buat kau hancur suatu hari nanti." Janji yang Olivia ucapkan akan wanita itu ingat sampai hari itu tiba.
Olivia menatap tajam pada para Staf yang masih menatap dirinya.
Melihat tatapan tajam Olivia pada akhirnya mereka memilih pergi karena tidak ingin mengambil resiko apapun.
"Eh. Kak Oliv disini? Ngapain?" Fenia yang baru saja datang tentu tidak melihat kejadian tadi. Tadinya Fenia ada sedikit urusan itulah sebabnya ia kembali meminta izin untuk pergi sebentar dan baru tiba setelah pertengkaran itu usai.
"Bukan urusanmu!" Sinis Olivia yang melangkah pergi mengabaikan pertanyaan Fenia.
Melihat kemarahan Olivia tentu Fenia merasa bingung dibuatnya.
Tapi sekali lagi Fenia harus diingatkan bahwa ini bukanlah urusannya.
Fenia melangkah masuk ke perusahaan Archelaus untuk kembali menjalankan rutinitasnya sebagai seorang manager.
"Hai princess. Tumben baru datang?" Tanya Roni dengan wajah manisnya, hal itu membuat Fenia menerbitkan senyuman manisnya itu.
"Eh, Kak Roni. Sebenarnya Fenia sudah datang sejak tadi, cuman tadi Fenia keluar sebentar buat ketemu sama Kak Fenny. Kebetulan Kak Fenny ada di dekat sini makanya tadi Fenia keluar sebentar." Ujar Fenia tanpa ada kebohongan apapun.
Anggukan dari Roni membuat Fenia merasa lega, setidaknya ia tidak mendapat kemarahan Roni karena pergi di jam kerja seperti tadi.
Lagian. Fenia gak peka sih, mana mungkin seorang Roni tega memarahi pujaan hatinya sendiri.
"Oh begitu. Ya sudah Fenia kembali kerja sana," Kata Roni di balas anggukan patuh dari Fenia.
Fenia dengan cepat melangkah pergi meninggalkan Roni yang tengah tersenyum tipis melihat kepergiannya.
Roni kembali menoleh dan saat itulah ia menemukan Lydia yang baru saja tiba.
"Lydia tunggu?" Panggilan Roni menghentikan langkah kaki terburu-buru wanita itu.
Lydia menoleh dan sedikit meringis karena ketahuan telat sedikit.
"Eh, Bapak," Lydia berusaha untuk memasang senyum termanisnya demi menghindari ocehan Roni pada dirinya.
"Gak perlu sok manis padaku. Sekarang beritahu aku kenapa bisa terlambat masuk?" Roni memulai interogasinya. Hal itu membuat Lydia memasang wajah cemberutnya.
"Giliran Fenia yang terlambat sok manis, giliran akunya yang terlambat di omelin. Apes banget sih akunya," Oceh Lydia yang membuat Roni menatap Lydia dengan senyum gelinya. Ya, Roni sadar ini memang gak adil untuk bawahannya yang lain. Tapi mau gimana lagi cintalah yang membuat Roni membedakan Fenia dengan Staf lainnya.
"Itu urusanmu. Lagian. Fenia itu sudah datang sedari tadi cuman izin keluar saja tidak seperti dirimu yang memang terlambat masuk." Ujar Roni meluruskan semuanya. Karena memang itu yang terjadi.
"Iya-iya. Apalah aku yang cuman kacang polong yang bisanya cuman disalahi doang," Kesal Lydia. Melihat wajah kesal Lydia entah kenapa Roni jadi tidak tega mengingat Lydia adalah sahabatnya sejak SMA hal itu yang membuat Roni begitu mengenal seorang Lydia luar dalam.
"Ya sudah. Hari ini kau aku bebaskan dari interogasiku, tapi ingat cuman khusus hari ini saja," Peringatan Roni membuat Lydia memekik bahagia.
"AAAA. Makasih Ron. Loe emang sahabat terbaik gue," Lydia tanpa kata memeluk Roni begitu erat membuat sang pemilik tubuh sampai dibuat sesak nafas.
"Astaga. Lepasin gue, sesak ini," Roni berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan super erat Lydia pada dirinya.
Lydia segera melepaskan pelukannya dengan wajah menahan malu.
"Hehehe. Maaf Ron cuman respek tadi," Kekeh Lydia sambil berlari menjauh setelah menepuk punggung Roni sekilas.
Melihat interaksi Lydia dan Roni sudah menjadi hal biasa bagi para Staf, mereka jelas sudah tahu hubungan baik antara Roni dan Lydia.
Memang hubungan keduanya sudah diketahui oleh semua Staf disini, hal itulah yang membuat mereka tidak ambil pusing atau merasa dibedakan oleh direktur mereka itu.
Roni menatap kepergian Lydia dengan nafas yang ia hembuskan. Entah mengapa Roni bisa mengenal seorang Lydia, gadis yang begitu barbar baginya.
Roni segera melangkah masuk menuju ruangannya sendiri.
Disisi lain Fenia tengah menyiapkan beberapa file yang akan ia berikan pada Roni. Tentunya, file ini juga akan sampai ke tangan Marvin.
Itu yang Fenia tahu.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu menghentikan gerakan Fenia.
"Masuk!" Perintah Fenia hingga seorang wanita masuk kedalam ruangannya. Fenia mendongakkan kepalanya menatap wanita dewasa yang tengah berdiri disisinya." Kak Sinta ada apa?" Fenia menatap wanita yang tengah berdiri di hadapannya. Yang tidak lain adalah Sinta, Sekertaris Roni di perusahaan Archelaus.
"Oh ini. Aku cuman mau menyampaikan bahwa Pak direktur meminta kamu menyerahkan file yang ia minta langsung ke tangan Pak direksi. Ingat langsung ke Pak direksi kita, Itu saja sih," Ujar Sinta dengan nada bersahabatnya.
"Oh. Oke." Jawab Fenia membuat Sinta melangkah keluar, disisi lain Fenia yang baru menyadari satu hal seketika dibuat terkejut akan permintaan tiba-tiba Roni.
Sebenarnya Fenia tidak masalah untuk menjalankan perintah atasannya, cuman satu hal yang membuat Fenia enggak untuk melakukannya. Karena jika Fenia melakukan perintah Roni itu berarti ia akan bertemu dengan Marvin, sebenarnya itu adalah tujuan Fenia berada disini. Tapi. Mengingat sikap Marvin jelas hal itu membuat Fenia cemas, takut jika sampai Marvin melihatnya mungkin pria itu akan murka nantinya.
Tapi kembali lagi pada dirinya. Fenia tetap harus bersikap profesional, ia harus tetap melakukan perintah Roni karena bagaimanapun itu memang pekerjaannya.
Fenia segera mengumpulkan semua file yang akan ia berikan pada Marvin sang DIREKSI, setelah merasa bahwa semuanya telah siap Fenia segera melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lantai teratas dimana ruangan Marvin berada.
Sedari tadi jantung Fenia tidak henti-hentinya berdetak, bahkan wajah gadis itu nampak sangat pucat tidak seperti biasanya.
Sesampainya Fenia di meja Olivia, Fenia dengan wajah gugupnya menatap Olivia.
Membuat kedua gadis berbeda usia itu saling menatap satu sama lain.
"Pak direksinya ada Kak?" Tanya Fenia ramah.
"Ada. Memangnya ada urusan apa kamu sama Pak direksi?" Tanya Olivia dengan wajah dinginnya.
"Ini. Fenia cuman diminta sama Kak Roni buat memberikan file-file ini langsung ke tangan Pak direksi." Kata Fenia tanpa ada nada kebohongan sedikitpun.
Disisi lain tanpa Fenia sadari jika Olivia tengah mengepalkan kedua tangannya. Wanita itu amat sangat tahu bagaimana sikap Roni terhadap dirinya, setiap ada urusan atau ada berkas tidak pernah sekalipun Olivia dibiarkan untuk menyentuh berkas atau file milik lelaki itu. Entah mengapa Roni begitu membenci dirinya, setahu Olivia ia tidak pernah sekalipun mencari masalah pada lelaki itu. Tapi sayangnya. Roni begitu dingin terhadap dirinya.
Olivia membuang muka ke arah lain membuat Fenia menghela nafas. Ia merasa heran pada sikap dingin Olivia terhadap dirinya.
"Kak Oliv jadi gi...!!
"Ya sudah, masuk gih." Usir Olivia menatap kesal pada punggung kecil milik Fenia. Entah mengapa Olivia merasa bahwa kehadiran Fenia seakan membawa bencana baginya. Tapi lagi-lagi Olivia membuang perasaan itu, sebab yang ia lihat Fenia hanyalah gadis kecil yang lemah. Jadi tidak mungkin Fenia bisa melakukan hal yang tidak disukai oleh Olivia.
Suara ketukan pintu dengan suara dari dalam yang menyuruh dirinya masuk membuat detak jantung Fenia semakin berdetak saja.
Fenia melangkah masuk dan tidak lupa menutup pintu ruangan Marvin dengan pelan. Fenia menundukkan kepalanya tanpa berani membuka suaranya.
"Ada perlu a...!!!
Marvin membungkam mulutnya saat ia menemukan sosok gadis kecil yang tengah menundukkan kepalanya.
Marvin bahkan harus menahan nafas saat melihat kehadiran Fenia yang secara tiba-tiba ini.
Marvin mengusap wajahnya menahan kemarahan yang berusaha pria itu tahan.
"Ada perlu apa?" Suara Marvin memecahkan keheningan di dalam ruangan. Hal itu membuat Fenia memberanikan diri untuk menatap wajah tampan Marvin.
"Begini Kak a...!!!
"Jangan pernah bersikap seakan-akan kau mengenalku. Cukup sekali ini saja aku terkecoh akan kehadiranmu di sini." Suara dingin Marvin membungkam Fenia. Gadis itu mendongakkan kepalanya menatap seduh pada wajah yang amat ia rindukan selama ini.
"Kak. Fenia gak bermaksud u...!!
"CUKUP. JANGAN BERBICARA LAGI!" Bentak Marvin membuat Fenia tersentak kaget dibuatnya. Untung saja ruangan ini kedap suara jika tidak entah apa yang akan terjadi. Mungkin saja, Olivia juga staf lainnya akan mengetahui masa lalu mereka." Aku benar-benar tidak percaya bisa-bisanya kau melamar pekerjaan di perusahaan ini. Sedangkan kau tahu bahwa hubungan di antara keluarga kita sudah tidak ada lagi. Sebenarnya dimana otakmu itu Fenia?" Desis Marvin tetap saja tidak dapat meruntuhkan niat terbesar dihati seorang Fenia.
Meskipun berulang kali ia dibentak bahkan dicaci maki, sampai kapanpun Fenia tidak akan pernah mundur meskipun hatinya berdarah-darah sekalipun.
"Meskipun hubungan keluarga kita tidaklah baik-baik saja. Tapi Fenia yakin suatu hari nanti, hubungan kita pasti akan membaik, hanya satu permintaan Fenia. Berikan Fenia kesempatan untuk mengubah jalan takdir kita Kak." Ucapan Fenia membuat Marvin mengelengkan kepalanya.
"Sampai kapanpun kamu tidak akan bisa mengubah jalan takdir kita Fenia. Takdir kita sudah berakhir sejak 10 tahun yang lalu."
"Kata siapa sudah berakhir? Justru saat ini kita baru akan memulainya." Perkataan Fenia membuat Marvin mengepalkan kedua tangannya. Hal itu tidak membuat Fenia mundur sedikitpun.
"Jangan gila Fenia. Hidupmu dan hidupku itu berbeda. Di dalam hidupku tidak ada lagi cinta sedikitpun. Hatiku sudah terlalu hancur bahkan kau pun harus tahu, bahwa aku tidak akan pernah mencintai siapapun lagi." Tekan Marvin.
"Jika Kakak tidak mau mencintai seseorang lagi. Maka biarkan Fenia yang mencintai Kakak hingga akhir hayat Fenia." Perkataan Fenia dengan kedua mata yang sudah memerah membuat Marvin tetep saja tidak peduli.
Lelaki itu kembali membuang muka ke arah lain, hingga ekor matanya menatap layar CCTV yang menampakkan satu sosok yang ingin Marvin jauhkan dari Fenia. Sosok itu tidak lain adalah Alex yang tengah melangkah menuju lift yang akan membawanya keruangan Marvin tentunya.
"Celaka!" Marvin menoleh ke arah Fenia yang masih berdiri menatap dirinya. Marvin mengepalkan kedua tangannya.
Tanpa kata Marvin segera menarik Fenia menuju kamar private yang sering Marvin gunakan untuk beristirahat. Fenia yang ditarik oleh Marvin jelas tidak paham akan maksud lelaki itu.
Marvin menyembunyikan Fenia di dalam kamar private miliknya.
"Kak. Kita ngapain di...!!!
"Diam disini dan jangan pernah kemana-mana. Ingat, jangan keluar sebelum aku memerintahkan mu." Kata Marvin yang segera keluar dan mengunci kamar yang berada di dalam ruangannya. Ya. Marvin memang memiliki kamar private yang memang sengaja Marvin persiapkan untuk dirinya. Karena Marvin tahu ia pasti membutuhkan kamar tidur untuk dirinya jika ia sedang lembur.
TBC,