Belva kembali ke sekolah, tapi itu sudah hampir waktunya Jam pulang.
"Makasih, pak!" Belva tersenyum tidak enak pada polisi yang telah repot-repot mengantarkannya.
"Lain kali, kalau ada yang mengajakmu bolos, jangan mau. Mengerti!" Polisi itu sebenarnya sedang memperhatikan kulit Belva yang memerah.
"Iya, pak. Maaf!" Belva buru-buru pergi ke tempat yang lebih dingin. Karena kulitnya bisa lebih merah dan akan terjadi iritasi.
Polisi itu langsung kembali bertugas. Dia sebenarnya agak heran, karena komandan tidak menahan remaja barusan. Karena seharusnya pihak kepolisian menghubungi pihak sekolah dan orangtua, karena membiarkan anak mereka berkeliaran di jalanan saat jam sekolah.
Belva berjalan menuju kelasnya, tapi dia tidak akan masuk. Karena sudah terlambat. Dia menunggu di pagar pembatas lantai dua. Melihat ada beberapa anak yang baru selesai olahraga. Padahal matahari sedang terik-teriknya.
Aahhmmmh!
Tiba-tiba ada yang menariknya dari sana menuju tangga naik melewati lantai tiga menuju roof top. Dia melihat tiga kakak kelasnya itu sedang melihat dengan sinis.
"Kau b***k yang itu kan?" tanyanya galak.
Belum juga Belva merespon, ada anak lain yang tiba-tiba menarik rambutnya. Belva kesakitan, dia tidak berani berteriak, hanya bisa menangis saja.
"Kenapa kulitnya?" tanya seorang pada temannya.
"Dak tahu. Tapi tetep cantik kan?" jawabnya dengan pertanyaan yang diangguki kompak. Mereka tertawa.
"Lepas!" Belva berusaha melepaskan rambutnya dari cekalan tangan anak laki-laki bertubuh tinggi, dia yang terlihat paling menakutkan dengan wajah galak.
"Kau buat temen-temen kami diskors. Kau ngadu kan ke anak-anak kelas dua belas itu!" bentak orang itu, membuat Belva semakin takut.
Kemudian Belva didorong hingga terduduk di lantai. Dia berusaha mundur, meskipun terdapat memar pada sikunya, karena terjatuh barusan.
"Maaf!" Belva tidak berani menatap mata anak-anak itu. Suaranya bahkan bergetar.
Ada tangan yang memegang dagu Belva, agar melihat ke arahnya. Belva melihat tatapan matanya, dia tidak mengenal anak itu atau yang lainnnya. Tapi Belva tahu kalau mereka kakak kelasnya.
"Sialan, cantik nian dio ni!" umpatnya setelah memperhatikan dari dekat, bukan hanya cantik, Belva seperti barang mahal yang langka, kecantikannya tidak sama dengan anak-anak yang pernah dia lihat.
"Maaf, aku gak bilang apa-apa. Aku gak niat bikin temen kalian kena skorsing!" Belva tidak begitu mengerti semua ucapan mereka, tapi ada beberapa yang dia pahami. Dia berharap anak-anak itu mengerti, kalau dia tidak mengadu pada siapapun.
Ketiganya diam, karena fokus mereka jadi ke kulit Belva yang semakin memerah. Dari kulit tangan, kaki, leher dan wajahnya.
"Kulitmu merah!" Melepaskan tangannya dari dagu Belva, tapi malah jadi menelusuri kulit lehernya.
Belva sangat takut. Dia menutup matanya, berharap seseorang datang menyelamatkannya. Saat itulah dia mendengarkan teriakan dari arah tangga.
"Woi, nak apo kalian!"
Belva membuka matanya, dia melihat ada lima anak lagi, mereka dari kelas dua belas. Terlihat wajah-wajah galak, tapi bukan padanya. Dia ingin bersyukur ada yang datang, tapi dia tidak tahu apakah mereka ingin menolongnya atau tidak.
"Kami nak beri dio pelajaran, karena dio temen-temen kami bermasalah Samo Kai!" jawab seseorang dengan nada kesal.
Lima orang itu melihat pada Belva yang sudah bercucuran air mata. Juga kulitnya yang memerah. Ada satu anak perempuan di antara mereka, dia teman dekat Kaisar.
"Terus? Kau nak apokan dio? Kau galak Kai hajar kalian!" ancam salah satu anak kelas dua belas.
"Apo hubungannya? Emang dio ini siaponyo Kai?" tanya anak kelas dua belas sambil terkekeh.
Mereka sengaja memprovokasi Ratni. Karena tahu Ratni sudah menyukai Kai sejak lama. Dan benar sekali, Ratni jadi agak kesal.
Teman-temannya sendiri tidak begitu memperhatikan ekspresi Ratni, karena mereka tidak menganggap sama seperti yang mereka pikirkan. Kai tidak menyukai siapapun.
Lima orang kelas dua belas, berhadapan dengan tiga orang kelas sebelas. Mereka adalah anak-anak nakal karena tidak masuk kelas jam pelajaran terakhir. Sedangkan Belva jadi takut kejadian pertengkaran waktu itu terulang lagi. Dan lagi-lagi karenanya.
"Maaf, tapi temen kalian yang kunciin aku di kamar mandi! Bukan salahku jika mereka kena hukuman. Dan aku gak ngadu, karena yang bukain pintu kamar mandi itu Kai. Dia tahu sendiri, bukan karena aku mengadu. Dan perkelahian waktu itu, aku gak tahu apa-apa! Jika mereka diskorsing, itu salah mereka sendiri!" Belva berteriak sambil menangis. Dia berusaha membela dirinya sendiri.
Kakak kelasnya itu melihat ke arahnya. Belva takut. Dia memejamkan matanya, kemudian melanjutkan ucapannya, "Aku minta maaf, kalau itu bikin mereka jadi kena skorsing. Aku udah minta maaf ke Kai, aku juga akan minta maaf ke kakak kelas yang lain."
Belva menangis lebih keras. Karena dia tidak ingin disalahkan. Dia sudah menanggung beban mental dengan merasa bersalah, tapi dia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
"Belva, kenapa di sini?" Aldo datang dari arah tangga, menghampiri Belva sambil memperhatikan orang-orang di sana. Dia mulai menebak apa yang terjadi.
"Hei jangan nangis!" Aldo membantu mengusap air mata di pipi Belva. Dan kasihan melihatnya.
"Kalian menyalahkannya, tapi tidakkah kalian melihat kalau mereka memang salah. Apa hanya salahnya kalau mereka berkelahi? Lihat dari akar masalahnya, kalian menyalahkannya karena dia anak baru!" Aldo berteriak, dia sebenarnya takut karena hanya sendirian, tapi dia merasa harus membela Belva.
"Kapan kau minta maaf sama Kai?" Ratni bertanya pada Belva, karena merasa kalimat Belva yang itu sedikit mengganggu perasaannya.
Belva melirik Aldo, kemudian menjawab, "Barusan, aku ke apartemennya. Dia udah nyelamatin aku, tapi jadi harus kena skorsing karena perkelahian itu!"
Anak-anak kelas dua belas itu jadi tidak lagi marah, karena ternyata Belva tidak mengadu, tapi keinginan Kai sendiri yang ingin memberikan pelajaran pada anak-anak kelas sebelas yang telah menguncikan Belva. Tapi Ratni jadi sedikit cemburu pada Belva.
"Masalahnya udah berlalu kan? Bukan sepenuhnya salah Belva, jadi tolong kakak-kakak yang terhormat untuk tidak menyalahkannya!" Aldo sedikit sinis dalam ucapannya. Karena dia merasa senioritas memang tidak terelakkan di sekolah tersebut.
Aldo membantu Belva berdiri. Dia melihat ada luka di sikunya. Dan hanya menghela nafas berat, karena terlambat datang menolongnya.
Mengabaikan tatapan anak-anak itu, keduanya langsung menuju tangga untuk turun. Aldo merangkul Belva sebagai perlindungan.
"Kok gak telepon gue sih?" Aldo bertanya kesal.
"Mana kepikiran, Al. Gue tadi kaget, mereka langsung narik gue gitu. Lagian, gue tahu mereka pasti benci dan marah!" Belva bisa apa jika sudah begitu.
Aldo mengerti, Belva agak berbeda. Dia belum bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini. Jadi anak-anak lain juga tidak bisa mengenalnya. Padahal Belva adalah anak baik. Plusnya dia cantik.
"Setelah ini, mereka pasti bakalan ngerti. Lo tenang aja. Mereka cuma salah paham, karena belum ngenalin Lo!" Aldo membawa Belva menuju UKS.
"Sakit, Al!" Belva menunjukkan luka memar di tangannya.
"Iya, mereka keterlaluan!" Aldo menatap Belva, dia bersyukur masih terus mencarinya, kalau tidak bagaimana bisa dia menemukannya di roof top.
"Lo beneran dateng ke apartemen Kai?" Aldo penasaran.
"Iya, habisnya gue bingung!" jawab Belva tanpa melihat mimik wajah Aldo.
Dia sudah mencarinya sejak pagi. Dan Belva ternyata pergi menemui laki-laki itu. Menutupi rasa kecewanya, dia masih menunjukkan senyum.
"Lain kali tolong, hubungi gue. Biar gue bisa jagain Lo!" Aldo melihat Belva mengangguk.