Belva ikut pulang bersama Virgo. Dia takut, tapi juga lega karena keluar dari sarang para lelaki haus belaian. Melihat tato dan wajah sangar mereka saja dia memilih mundur. Sekarang, dia menggantungkan nasibnya pada belas kasih Virgo. Laki-laki dingin dengan wajah tampan, namun sangar. Banyak tato di tubuhnya. Bagaimana dia bisa tahu? Itu karena tadi Virgo sempat melepaskan bajunya.
"Berapa usiamu?"
Belva terkejut, karena Virgo tiba-tiba bertanya saat dia sedang melamun. Dia menoleh, melihat Virgo yang sama sekali tidak melihat padanya.
"Tahun ini enam belas!" jawab Belva.
Dia jadi berpikir, sepertinya tahun ini adalah kehidupannya yang paling berat. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan saat perjalanan bisnis, kehidupan baiknya diincar oleh pamannya sendiri, yang paling tragis adalah kejadian yang menimpanya saat ini.
Waktu selalu punya rahasia, dan kadang rahasia itu menyesakkan. Belva benci karena dia sekarang ini sendirian. Takdir mengambil semua yang dimiliknya. Semoga takdir masih mau mengasihaninya.
"Aku lapar!" Belva beralasan, dia tidak bisa menahan isakannya. Menangisi hidupnya yang malang.
"Sebentar lagi sampai. Jangan menangis, atau aku akan membuangmu di jalanan!" ancam Virgo galak.
Belva menutup mulutnya karena tidak mau dibuang di jalanan. Dia tidak mengenal daerah ini, bagaimana bisa dia membiarkan dirinya semakin menderita.
Dia culik di Jakarta, dan tiba-tiba sudah ada di kota Palembang. Kota asing yang mungkin akan menjadi saksi kelanjutan hidupnya.
Semakin dia menahan, dadanya semakin sesak. Isakannya juga tidak bisa dia tahan lagi, Belva menangis meskipun tahu Virgo sedang menatapnya tidak suka.
Belva melihat suasana rumah Virgo. Sepi dan dikelilingi banyak pepohonan. Rumahnya berukuran kecil, dan sangat sederhana. Tapi yang membuat Belva agak speechless adalah, ada dua mobil sport terpampang di garasi.
Melirik Virgo yang sudah lebih dulu keluar dari mobilnya. Laki-laki itu meninggalkannya begitu saja. Belva cukup tahu diri, jika dia hanya tahanan. Tangannya membuka pintu mobil dan turun. Mengamati sekitarnya, sepi tapi menenangkan.
"Kalo gak mau masuk, aku kunciin di luar!" Virgo berteriak sambil memegang daun pintu akan menutupnya.
Belva langsung berlari, dia bahkan menghela nafas lega saat sudah berhasil masuk ke rumah. Dan lagi, dia dibuat terkejut dengan keadaan rumah yang sangat rapi dan bersih. Bahkan debu mungkin enggan menempel karena malu.
Lihat saja semua tata letak benda di sana sangat simetris, tidak ada yang miring atau berdebu sekalipun.
"Jangan sentuh apapun! Jangan jorok, atau kau akan kubuang di sungai Musi. Lagi, jangan sampai aku melihat ada benda yang bergeser sediktpun!" Virgo memperingatkan dengan suara tegas dan wajah garangnya.
Belva mengangguk, saat akan duduk saja dia berjalan sedikit-sedikit agar tidak menyenggol mejanya. Dia melirik Virgo yang masih menatapnya. Tidak jadi duduk, dia menegakkan lagi badannya. Karena merasa, jika Virgo tidak mengijinkannya duduk di sofa juga.
"Pakaianmu kotor. Jangan duduk. Mandi dulu sana!" tunjuk Virgo ke arah kamar mandi dekat pantry.
Belva melongo tak percaya. Sekotor itukah dia? Duduk saja tidak boleh. Sangat pelit!
"Tapi aku kan gak punya baju ganti!" Belva melirik seragamnya, dan melihat Virgo yang terlihat kesal.
"Mandi saja dulu. Ada handuk di dalam kamar mandi?"
Virgo meninggalkan Belva menuju kamarnya. Dia lelah juga ingin segera mandi. Tubuhnya sudah sangat risih dengan keringat yang terasa lengket di badannya.
Dia menghampiri lemarinya, mencari baju untuk dikenakan oleh Belva. Meskipun sebenarnya dia tidak rela bajunya dipakai oleh orang lain. Dia memiliki baju ukuran kecil. Jadi bajunya kalau dipakai mungkin sampai lutut. Dia juga tidak memiliki celana dengan pinggang kecil. Juga ... Virgo menepuk keningnya. Dia tidak memiliki celana dalam dan teman-temannya untuk Belva.
Segera berjalan keluar dari kamarnya. Dia berdiri di depan kamar mandi dengan ragu. Apakah dia harus bilang tentang itu. Mengacak rambutnya kesal.
"Belva?" panggil Virgo pelan.
Tidak ada sahutan dari dalam. Dia memutuskan untuk mencoba lagi. Kali ini disertai ketukan. Tapi tiba-tiba pintunya terbuka, dan yang diketuknya adalah bibir Belva.
Keduanya membeku. Virgo melihat tangannya yang menyentuh dinginnya bibir Belva. Segera saja dia menarik tangannya. Mengusapkan di bajunya.
Belva cemberut, bibirnya kan tidak kotor. Kenapa Virgo terlihat jijik. Di merasa bibirnya yang masih suci telah dihina.
"Kamu pake lagi dalamannya. Aku hanya akan meminjamkan baju saja, celana juga gak ada. Jadi—," belum juga dia menyelesaikan ucapannya, matanya melirik seonggok baju kotor di lantai.
Dia menahan kesal, karena tidak suka dengan kamar mandinya jadi terlihat jorok. Virgo menyesali keputusannya membawa Belva kerumahnya.
"Kakak, aku kedinginan. Apa boleh pinjem bajunya sekarang?" Belva memeluk tubuhnya yang hanya dililit handuk.
Virgo baru menyadari itu, dia malah jadi memperhatikan tubuh Belva. Kulit putih, mulus, tapi bagian yang seharusnya menonjol tidak terlihat. Terlalu kecil!
Belva mengetahui arah mata Virgo. Dia langsung menyilangkan tangannya di sana. Sikap defensif yang menurut Virgo sangat tidak perlu. Apa yang dilindungi, terlihat saja tidak!
"Ya udah sana masuk. Pakai saja baju yang aku taruh di atas tempat tidur. Bajunya akan menutupi sampai ke paha. Jadi, jangan berkeliaran, tetap di tempat tidur saja!" Virgo memperingatkan. Dia merasa aneh saja, jika melihat Belva akan berkeliaran di rumahnya tanpa dalaman.
Belva mengangguk, dia segera berlalu masuk ke kamar Virgo. Satu-satunya kamar di rumah ini. Dan kembali gadis itu dibuat takjub dengan kerapian kamar itu, bahkan kamarnya yang selalu dibersihkan setiap hari saja masih kalah rapi.
Di kamar mandi, Virgo memunguti pakaian Belva dengan jijik. Tangannya mencubit ujung pakaian dan memasukkannya ke mesin cuci. Apalagi saat menyentuh dalaman Belva. Dia merasa sangat marah, harga dirinya jatuh, karena harus mencucikan dalaman gadis kecil yang baru dikenalnya.
Dia akan ditertawakan anak buahnya, jika mereka melihat ini. Dia mulai menyalakan mesin cucinya. Meninggalkan masalah cuci-mencuci dan beralih untuk memasak.
Virgo pandai memasak. Dia sudah biasa hidup sendiri sejak usia remaja, hingga kini usianya sudah menginjak dua puluh enak tahun, dia selalu memasak makanannya sendiri. Dia tipe orang yang tidak akan mempercayainya masalah perut pada orang lain. Dia tidak yakin dengan kebersihannya. Kecuali kalau terdesak.
Dia melihat bahan masakan di kulkas. Di sana hanya tersisa telur dan beberapa potong daging ayam. Mengeluarkannya, dan mulai mengolahnya menjadi masakan.
Belva yang sedang merebahkan badannya mencium aroma enak. Dia turun dari tempat tidur. Mengintip dari balik pintunya. Melihat Virgo sedang menghidangkan makanan di meja pantry.
Perutnya kembali berbunyi melihat ayam yang sudah terbumbui di atas piring. Kakinya melangkah mendekat dan duduk di salah satu kursi. Menunggu jatahnya.
"Jangan sentuh!" Virgo memperingatkan, membuat Belva jadi cemberut.
"Tunggu aku selesai mandi. Sampai ada yang berkurang sedikit saja. Aku akan memotong tanganmu sebagai gantinya!" ancam Virgo sambil menunjuk-nunjuk dengan garpu.
Belva hanya bisa menelan ludah saja. Menatap sedih kepergian Virgo menuju kamarnya.
Saat ingin mencicipi sedikit saja. Rupanya Virgo masuk hanya untuk mengambil handuk bersih. Dan matanya menyorot tajam seakan memperingatkannya, agar tidak melanjutkan tangan yang ingin menyentuh sedikit saja.
"Sabar Belva. Nanti juga makan kok!" ucap Belva pada dirinya sendiri.