Pulang bersama Kai

1000 Words
Belva hanya mengikuti langkah laki-laki di depannya. Tangannya memperhatikan tangan yang menggenggam pergelangannya. Dia merasa tidak terlalu akrab dengannya, tapi kaki-kaki tanpa canggung menyentuhnya. Bahkan memarahinya tadi. Tiba di halaman depan, Kai belum juga melepaskan tangannya. Dia jadi terpaksa terus mengikuti hingga sampai di dekat sebuah motor sport bewarna biru gelap. "Aku, akan pulang sendiri!" Belva tidak berani melangkahkan kakinya, saat Kai memberinh tatapan tajam. "Naik!" Kai memerintah tanpa penolakan. Belva agak bingung dengan sikap Kai. Dia naik dengan susah payah, karena motornya tinggi. Dia sudah naik, tapi tidak diberikan helm. "Aku tidk memakai helm?" Belva bertanya dengan mendekatkan bibirnya ke samping telinga Kai. Kau terdiam, dia menoleh hingga wajah mereka hampir bertabrakan. Dia dapat melihat mata gadis itu melebar. "Aku tidak membonceng orang, apa kau mau pakai ini?" Kai menunjukkan helm besar padanya. Dia berpikir Belva tidak akan menerimanya. Karena dia hanya berniat untuk memberitahukan tidak ada helm lainnya. Dia tidak suka membonceng dengan motornya. Baik laki-laki maupun perempuan. Jikapun balapan, dia tidak menggunakan motornya sendiri untuk membonceng wanita di belakangnya. Jadi, Belva adalah yang pertama. Belva mengangguk, membuat Kai terdiam. Kemudian menyerahkannya. Meskipun akan aneh, yang depan tidak memakai helm, tapi yang belakangan memakai dan itupun kebesaran. "Ayo!" ujar Belva yang sudah berpegangan erat di pinggang Kai. Kai mengingat saat kemarin melihat Belva melakukan hal yang sama pada Aldo. Dia juga memeluknya seerat ini. Tapi sekarang dia mengetahui alasannya. Menjalankan motornya, Kai dapat merasakan pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Padahal dia menjalankan motornya sangat pelan. Dengan motor besar 600cc dia menjalankan di bawah kecepatan 40km/jam. Rumah Belva sangat dekat dengan sekolah. Sehingga tidak butuh Waktu lama untuk sampai. Belva langsung turun. Dia melepaskan helm yang terlalu besar di kepalanya. Belva memegang kepalanya karena merasa sedikit pusing. Dia seperti baru saja mengangkat beban dari kepalanya. "Terimakasih!" Belva melongo karena laki-laki itu mengabaikan ucapan terima kasihnya, dan pergi begitu saja. Dia tidak mengerti dengan orang-orang di sekolahnya. Padahal dia tidak pernah membuat masalah, tapi beberapa orang langsung tidak menyukainya. Termasuk kejadian di toilet tadi. Dia agak kapok dengan kejahilan mereka. Belva pulang tanpa membawa tasnya. Dia akan membuka pintu dengan kunci dari kantung roknya, saat dia menyadari sesuatu. Berbalik, Belva menatap kearah kepergian Kai. "Bagaimana dia bisa tahu rumahku?" Dia memiringkan kepalanya, dan melanjutkan untuk membuka pintu rumah. Karena Virgo belum juga pulang, Belva memilih untuk mendi sebelum tidur siang. Dia sebenarnya lapar, tapi dia tidak bisa memasak. Dia takut untuk menyalakan kompor sendiri. Untuk itu, dia memilih tidur agar tidak merasa terlalu lapar. _ [Igo, kau dimana?] tanya Bian yang baru saja sampai markas. [Kantor. Kenapa?] Virgo baru saja pulang dari tugas pengejaran buronan di sekitaran sungai Musi. [Tidak, kupikir kau di rumah. Aku nak numpang makan!] ujar Bian sambil tertawa. Virgo sudah hafal dengan b******n miskin itu. Meskipun dia adalah pengurus keuangan di markasnya, tapi temannya itu selalu saja tidak memiliki uang. Tidak tahu kemana uang itu pergi. [Datanglah ke rumah. Ajak Belva makan di luar. Dia mungkin masih memiliki uang!] Virgo jadi teringat dengan gadis itu. Bian sebenarnya malas, tapi dia tahu Virgo akan memakinya, jika dia menolak sarannya. Virgo adalah pemarah akan semua hal. Bian mengendarai mobilnya menuju ke rumah Virgo. Dan menemukan pintunya terkunci. Dia mengambil kunci yang Virgo sembunyikan di bawah keset, dan dengan mudah membukanya. Mungkin itu ada tempat paling umum untuk menyimpan kunci, tapi tidak ada yang akan menyangka seorang komandan meletakkan kuncinya di sana. Hanya Bian yang tahu. Dia masuk dan menemukan kalau rumah itu kosong. Dia berjalan menuju kamar, dan menemukan Belva yang tertidur lelap. Tidak tega membangunkannya, dia keluar lagi dari rumah. Tidak jadi meminta uang dari Belva, dia memilih berhutang lagi. Berjalan kaki, dia menuju warung mie ayam yang berada tidak jauh dari rumah Virgo. Penjual itu sudah hafal kalau Bian akan menghutang. Tapi dia masih melayaninya. Karena tahu kalau laki-laki itu adalah teman komandan Virgo. Dia tidak tahu identitas Bian sebagai preman. Membawa pulang dua bungkus mie ayam bersamanya, Bian masuk ke dalam rumah. Dan belum melihat ada tanda-tanda kehidupan. Dia membangunkan Belva. Gadis itu agak sudah dibangunkan, tapi akhirnya bangun. "Kakak kenapa di sini?" tanya Belva tidak menemukan keberadaan Virgo. "Kau harus mengunci pintu kamar itu, saat kau tidur. Ayo makan, Virgo belum pulang!" Bian lebih dulu keluar, dia menyiapkan dua mangkuk dan menuangkan mie ayam ke dalamnya. Belva duduk di kursi depan Bian, dia melihat mie yang tersaji di depannya. "Kakak bikin spaghetti?" Bian melongo, sejak kapan mie ayam jadi spaghetti. Memberikan sumpit padanya, "Coba saja, apa itu spaghetti atau bukan!" Bian tidak tahu dimana sebelumnya Belva tinggal. Banyak hal di sekitar yang tidak dia tahu. Dan itu agak aneh. Seperti alien dari angkasa luar. "Rasanya beda, ada ayamnya!" ujar Belva agaknya menyukai makanan tersebut. Gian tersenyum, dia memberikan kerupuk pangsit sebagai pelengkap. Gadis itu terlihat sangat menyukainya. "Kakak, sebenarnya apa pekerjaan kak Virgo?" Belva sangat penasaran, karena laki-laki itu selalu pergi dan pulang di waktu yang berbeda. "Kau melihatnya sebagai preman bukan?" Bian menyeringai, membuat Belva jadi tidak jadi bertanya lagi. Menghabiskan makanannya, Belva sampai kekenyangan. Dia senang, setidaknya ada Bian yang menemaninya. "Hei mau kemana?" Belva menoleh, "Mau mengerjakannya tugas sekolah!" "Bereskan ini. Cuci piringnya, Virgo akan marah kalau piringnya tidak dicuci!" Bian menunjuk pada dua piring kotor dan seperangkat sendok garpu. Belva merengut, Virgo bahkan tidak pernah menyuruhnya mencuci piring. Dia juga belum pernah melakukannya. "Kenapa? Jangan malas, ayo cuci. Lian saja bisa, masak kau tidak!" ejek Bian menunjuk piring agar segera dibawa ke tempat cuci. "Kakak bahkan menyuruh anak kecil!" protes Belva, karena Bian memang sering agak kejam pada anak kecil tampan tersebut. Bian cukup puas melihat Belva mulai membawa piring itu bersamanya. Dia menyalakan televisi, dan mulai memindahkan chanelnya. "Kakak! Aku tidak mau mencuci!" rengek Belva dari pantry. Bian yang baru saja mengangkat kaki ke atas meja, dan bersiap bersantai, tapi Belva sudah merengek saja. "Hei, itu pekerjaan mudah. Kenapa kau tidak bisa. Kau kan sudah SMA!" Bian mengomel, dia menghampiri Belva dan melihat banyaknya sabun yang dituangkan ke wadah. "Kau hanya akan mencuci dua piring, kenapa sabunnya banyak nian!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD