9

841 Words
Yoan kembali merebahkan tubuhnya dan mneutup sebagian tubuhhnya dengan selimut. Yoan baru selesai makan dan minum obat sesuai petunjuk dokter. Kedua matanya mencari sosok Ridho yang sama sekali tak terlihat sejak meletakkan mangkok ke dapur. Yoan semakin menarik selimutnya ke atas hingga menutup sedikit wajahnya. Yoan itu sangat penakut dan manja Suasana dirumah besar Yoan itu sedikit horor kalau tidak ada orang seperti ini. Terasa mencekam karena sunyi. Suara jangkrik dari arah taman samping juga terkadang membuat bulu kuduk berdiri. AC kamar yang sedikit bergemuruh juga bisa membuat pikiran Yoan menjadi berpikir yang tidak -tidak. Yoan berusaha memejamkan kedua matanya. Namun, tetap saja tak kunjung terpejam. Sudah minum obat pun kenapa malah tidak merasa ngantuk. Umpat Yoan kesal. Sudah setengah jam lebih, Yoan hanya membolak -balikkan tubuhnya ke arah kanan dan kiri sambil mendekap gulingnya di dalam selimut. "Uh ... Kenapa gak bisa tidur sih? Ini pak Dosen juga gak muncul lagi batang hidungnya," umpat Yoan yang akhirnya memilih bangkit dari tidur ayamnya. Yoan menurunkan kaki ke lantai dingin dan berjalan menuju ke arah luar kamar. Kepalanya menengok ke arah kiri dan kanan mencari sosok dosen killer yang kini sudah menjadi tunangannya. Ke arah kiri melihat ruang tamu yang sudah tertutup dan gelap karena lampunya sudah dimatikan. Ke kanan arah ruang tengah memang masih menyala lampunya. Kemungkinan, Ridho ada disana. Sayup terdengar suara orang bicara membuat Yoan semakin yakin kalau itu adalah suara Ridho. Langkah Yoan semakin dipelankan bahkan berjingkat seperti maling yang takut ketahuan oleh pemilik rumah. Ternyata Ridho berada diambang pintu yang menghubungkan antara ruang tengah dengan taman yang ada disamping. Pintu kaca itu dibuka hingga udara malam masuk menembus kulit Yoan. Cukup dingin tapi agak segar. Posisi Ridho berdiri dengan ponsel menempel ditelinga dan satu tangannya lagi masuk ke dalam saku celana. Suaranya pelan dan lembut. Sedang bicara dengan siapa? Yoan begitu penasaran. Yoan semakin mendekat dan berdiri dekat pot besar dengan tanaman hias yang cukup tinggi hingga bisa menutup tubuh mungil Yoan agar tak terlihat Ridho. Yoan memasang telingannya dengan tajam untuk mendengar Ridho. "Hem ..." "Itu dulu, Hany." "Sudahlah ... Aku males bahas hal ini terus sama kamu." "Pasti enak dong." Yoan bergidik ngeri sambil mengangkat bahunya sedikit. Pembicaraan macam apa itu? Pasti enak? His ... Dasar dosen m***m. Umpat Yoan berulang kali sambil mengelus dadanya. Jangan sampai, Yoan menjadi korban enak sang dosen. Parah ini dosen. Ganteng sih, tapi kalau m***m. Gak worth it, banget. "Heh! Pak dosen kileer yang m***m!" teriak Yoan dari arah belakang membuat Ridho terkejut lalu melepas ponselnya yang sejak tadi menempel dtelinganya smabil menoleh ke arah Yoan dan menatap lekat. "Sejak kapan kamu ada disana?" tanya Ridho pada Yoan. "Sejak kapan kek. Suka-suka Yoan. Dasar dosen playboy. Yoan bakal bilang sama Mamakalau Pak dosen itu tukang selingkuh. Baru aja tunangan, udah berani ketemu perempuan dengan alasan urusan bisnis. Sekarang telepon perempuan juga, mana manggil honey? Bilang pasti enak. Duh serem banget," ucap Yoan penuh dengan tuduhan yang selalu merusak pikirannya. Ridho mematikan ponselnya dan memasukkan ke dalam saku celananya. Ridho berjalan menuju tempat diaman Yoan berdiri. "Kamu nguping pembicaraan saya?" tanya Ridho dengan tatapan tajam. "Iya! Memang kenapa? Inget pepatah Pak, bangkai yang disimpan rapat pasti akan tercium juga. Kalau dasarnya tukang selingkuh bakal selingkuh terus. Selingkuh itu penyakit!" ucap Yoan dengan suara meninggi dan kasar. "Saya gak selingkuh, Yoan," jelas Ridho dengan wajah serius. Raut wajah Ridho memang tidak terlihat panik atau pun cemas. Bahkan Ridho begitu santai dan tenang menghadapi kelabilan Yoan. "Hah? Apa? Yoan gak denger Pak," ucap Yoan mengejek sambil tertawa keras lalu berbalik arah menuju kamar tidurnya. "Ish ... Dasa bocil labil!" umpat Ridho sedikit kesal. Baru juga jalan beberapa angkah. Tiba -tiba lampu rumah mati total. Padahal tidak ada hujan atau petir yang menyambar. Sungguh menyebalkan sekali disituasi seperti ini. "Mama!" teriak Yoan spontan. Yoan langsung bjongkok sambil menunduk menutup kedua matanya dengan kedua telapak tangannya. "Yoan! Kamu disebelah mana?" teriak Ridho panik. Ridho berjalan ke arah depan terus menuju ke arah diaman Yoan tadi berada. Suara tangis sesegukan emmbaut Ridho tahu keberadaan Yoan. "Yoan? Kamu gak apa -apa? Sini," bisik Ridho lirih. Ridho sangat tahu kalau Yoan itu penakut dan sangat manja. Yoan takut gelas, takut hantu, takut sepi, tapi gak takut sama calon suami. Ridho memegang bahu Yoan yang tak mau bergerak. Ridho menyalakan senter dari ponselnya. "Pegang ini," titah Ridho berbisik. Yoan tetap diam dan tak bicara. Sepertinya Ridho harus menggunakan cara lain. Rido langsung menggigit ponselnya dan membopong Yoan menuju kamar tidur. Yoan sempat meronta dan berteriak keras. Namun, Ridho tak peduli dengan pemberontakan Yoan hingga ponselnya malah terjatuh ke lantai. PYAR! Suara ponsel yang terjatuh keras hingga lampu senter itu mati. Sepertinya ponsel itu pecah dan rusak parah. Ridho tak peduli dan tetap masuk ke dalam kamar sambil berusaha membwa Yoan yang mendadak diam. Sampai dikasur Ridho lagsung merebahkan Yoan. "Pak ... Jangan pergi. Yoan takut," bisik Yoan sambil memegang tangan Ridho. "Saya mau ambil ponsel saya," jawab Ridho datar. "Ma -maaf kalau ponselnya rusak. Nanti, Yoan ganti," ucap Yoan merasa tak enak. "Tidurlah ..." titah Ridho pada Yoan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD